Setiap tahun bangsa Indonesia memperingati dua hari besar yang sama-sama berhubungan dengan dunia pendidikan: Hari Guru Nasional (25 November) dan Hari Santri Nasional (22 Oktober). Namun, di antara dua hari itu, hanya satu yang berakar kuat pada tradisi keislaman lokal, yakni Hari Santri.
Menariknya, tidak pernah ada “Hari Kiai Nasional”. Padahal, secara historis, kiai-lah yang menjadi penggerak utama dalam pembentukan jaringan pendidikan Islam dan moral bangsa. Maka wajar jika muncul pertanyaan: mengapa Hari Santri, bukan Hari Kiai? Bukankah di instansi pendidikan umum yang dikenang justru Hari Guru, bukan Hari Murid?
Jawaban atas pertanyaan ini tidak sekadar historis, tetapi menyentuh inti spiritual dunia pesantren itu sendiri: bahwa pesantren bukan lembaga feodal, melainkan lembaga pendidikan yang menumbuhkan ke-tawadhu-an, kesetaraan, dan pengabdian.
Table of contents [Show]
Pesantren dan Tuduhan Feodalisme
Sebagian kalangan di luar pesantren menilai relasi kiai dan santri bersifat feodal: santri tunduk, patuh tanpa kritik, bahkan mencium tangan kiai wolak-walik. Sekilas, relasi itu tampak hierarkis dan elitis. Namun, di balik gestur penghormatan itu tersembunyi makna etis yang jauh lebih dalam: ta’dzim, bukan feodalisme; tawadhu’, bukan penaklukan.
Santri menghormati kiai bukan karena kiai lebih tinggi secara sosial, melainkan karena ia mewakili ilmu dan keberkahan. Hormat kepada kiai sejatinya adalah bentuk penghormatan kepada ilmu yang bersumber dari Allah. Maka di pesantren, hierarki bukanlah alat kuasa, tetapi tangga spiritual menuju adab.
Kiai yang sejati tidak pernah mendidik santrinya menjadi penurut buta, melainkan menjadi pribadi beradab, berpikir kritis, dan berjiwa merdeka. Pesantren membangun kesetiaan, bukan ketundukan buta.
Hari Santri: Simbol Kesetaraan Ruhani
Penetapan Hari Santri pada 22 Oktober 2015 oleh Presiden Joko Widodo adalah bentuk pengakuan negara terhadap kontribusi pesantren dalam sejarah bangsa. Tanggal itu merujuk pada Resolusi Jihad yang difatwakan oleh KH M Hasyim Asy’ari di Surabaya tahun 1945, yang menyerukan jihad membela tanah air dari penjajahan.
Namun, yang turun ke medan perang bukan hanya para kiai, melainkan para santri dan masyarakat yang tergerak oleh seruan itu. Mereka berperang, berkorban, dan banyak yang gugur dengan tekad suci.
Dari sinilah, makna “Hari Santri” menjadi terang. Ia bukan bentuk pengabaian terhadap peran kiai, melainkan penegasan bahwa pesantren menghormati pengamal ilmu, bukan hanya pemilik ilmu. Hari Santri adalah penghormatan terhadap gerak kolektif, bukan figur tunggal.
Dengan kata lain, Hari Santri adalah bukti nyata bahwa pesantren tidak dibangun atas logika feodalisme, tetapi atas logika spiritualitas yang egaliter—di mana kiai dan santri terikat bukan oleh kuasa, melainkan oleh sanad keilmuan dan ikatan ruhani.
Testimoni Nyata: Mukani dan Ketulusan yang Membantah Feodalisme
Pemahaman bahwa dunia pesantren tidak feodal dapat dilihat secara konkret dalam pengalaman hidup para alumninya. Salah satunya datang dari Mukani, dosen STIT UW Jombang. Dalam wawancara dengan penulis, Mukani menceritakan pengalamannya ketika nyantri di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Seblak, asuhan KH Luqman Hakim.
Hal ini juga dibenarkan oleh Fery Sriafandi, Kepala SMK Plus Khoiriyah Hasyim Tebuireng yang merupakan teman sekamarnya dulu. Mukani menuturkan bahwa saat itu ia berasal dari keluarga yang tidak mampu. Bahkan, sering kali biaya mondok dan uang saku sehari-hari berasal dari kemurahan hati sang kiai.
“Saya merasa semua keberkahan hidup saya sekarang ini berasal dari Kyai Luqman. Kalau ada amanah dari beliau, atau dari keluarga beliau (dzuriyyah), saya akan berusaha menjalankan dengan sungguh-sungguh. Misalnya ketika dahulu saya diberi amanah untuk mengajar di Seblak, alhamdulillah dapat saya lakukan sampai sekarang.” ungkapnya.
Mukani bercerita, dahulu ia sering mencari-cari cara untuk membalas kebaikan sang kiai—entah dengan menyapu halaman, menyiram tanaman, atau membantu hal-hal kecil di sekitar pesantren. Semua dilakukan tanpa paksaan, bahkan dengan rasa syukur yang mendalam.
“Tidak pernah saya merasa terpaksa. Apalagi karena tuduhan feodal yang sering dilontarkan para influenser di luar sana. Kami melayani karena cinta, bukan karena takut,” ujarnya.
Kisah ini membantah tuduhan bahwa hubungan santri–kiai bersifat hierarkis atau eksploitatif. Justru sebaliknya, pesantren mengajarkan relasi kasih dan ketulusan di mana (dalam kisah Mukani) kiai menanggung hidup atau pendidikan santri, dan santri berkhidmah tanpa pamrih. Relasi itu bukan relasi kelas atau strata, melainkan relasi ruhani.
Tidak Ada Istilah Mantan Santri
Salah satu ciri khas dunia pesantren adalah ketiadaan istilah “mantan santri.” Sekali seseorang pernah nyantri, maka identitas itu melekat selamanya. Bahkan para kiai besar pun tetap menyebut dirinya “santrinya Mbah Yai A” atau “santri pondok B.”
Identitas santri bukan sekadar status akademik, tetapi penanda kontinuitas spiritual. Ia menandakan hubungan ruhani yang tak terputus antara guru dan murid. Di sekolah formal, hubungan guru–murid biasanya berakhir setelah ujian terakhir. Namun di pesantren, hubungan itu terus hidup melalui doa, ziarah, dan tabarukan. Hemat penulis, hal ini disebabkan interaksi yang terbangun penuh dalam 24 jam setiap harinya. Kiai sebagai guru sekaligus orang tua di pesantren, murabbi para santri.
Inilah wajah egalitarianisme khas pesantren: santri tetap menjadi santri meskipun dalam praktiknya sudah menjadi ulama, dosen, atau pejabat. Tidak ada sekat sosial, karena ukuran kemuliaan bukanlah status, melainkan ketakwaan dan kesetiaan terhadap ilmu (QS Al-Hujurat: 13 dan QS Al-Mujadalah: 11).
Kiai Tidak Butuh Peringatan Seremonial
Teman saya pernah berujar: “Bukankah yang memfatwakan jihad itu KH. Hasyim Asy’ari, seorang kiai besar? Kenapa tidak Hari Kiai saja?”
Pertanyaan itu justru membuka rahasia spiritual paling dalam dari dunia pesantren. Kiai tidak membutuhkan hari khusus karena setiap hari bagi kiai adalah pengabdian. Kiai sejati tidak menuntut pengakuan, sebab kemuliaan mereka terletak pada keberhasilan santri mengamalkan ilmu, bukan pada penghormatan seremonial.
Maka, “Hari Kiai” tidak pernah lahir bukan karena dilupakan, melainkan karena ketawadhuan. Kiai menolak diabadikan dengan formalitas, sebab mereka hidup dalam kesunyian amal dan doa. Dengan demikian, “Hari Santri” justru menjadi perpanjangan penghormatan kepada kiai melalui pengabdian murid-muridnya.
Epilog: Hari Santri dan Jiwa Egalitarianisme Bangsa
Hari Santri menegaskan bahwa pesantren adalah lembaga moral, bukan lembaga kekuasaan. Ia tidak menuhankan posisi, tetapi menuhankan pengabdian—jika boleh diredaksikan demikian. Pengabdian yang utama pun bukan pengabdian kepada kiai atau pesantren, tetapi kepada Tuhan. Dalam pesantren, hormat kepada guru tidak berarti kehilangan daya kritis, dan taat kepada ulama tidak berarti kehilangan kemandirian berpikir.
Tidak adanya Hari Kiai bukanlah bentuk pengabaian, melainkan penghormatan yang lebih tinggi. Kiai tidak dimuliakan melalui tanggal, tetapi melalui amal para santrinya. Maka, setiap 22 Oktober, bangsa Indonesia sebenarnya sedang merayakan anti-feodalisme dalam bentuk paling luhur: penghargaan kepada ilmu, kepada ketulusan, dan kepada pengabdian. Pesantren tidak mengajarkan kultus individu, tetapi ukhuwah ilmu ikatan ruhani yang membuat manusia rendah hati di hadapan Allah dan sesama. Hari Santri adalah bukti bahwa pesantren bukan menara hierarki, tetapi taman kesetaraan spiritual. Di sanalah, guru dan murid sama-sama belajar menjadi hamba.
Penulis: Hari Prasetia (Alumnus PP Haji Ya’qub Lirboyo)