Ibadah haji adalah salah satu rukun Islam yang paling mulia, memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan seorang Muslim. Setiap tahun, jutaan umat Islam dari seluruh penjuru dunia berkumpul di tanah suci Mekkah, untuk menjalani rangkaian ibadah yang tidak hanya melibatkan tubuh, tetapi juga spiritualitas yang mendalam. Haji bukan hanya sebuah perjalanan fisik menuju tempat yang mulia dan penuh berkah, tetapi juga perjalanan batin yang mendalam. Namun, di tengah arus modernitas yang terus berkembang, kita sering kali lupa untuk menjaga esensi spiritual dari ibadah ini. Bahkan, dalam beberapa kasus, perkembangan zaman malah berisiko mengalihkan perhatian dari tujuan utama ibadah haji.
Sebagaimana yang kita ketahui, kemajuan teknologi dan globalisasi telah membawa perubahan dalam kehidupan kita, tak terkecuali dalam pelaksanaan ibadah Haji. Dulu, haji merupakan perjalanan yang sangat berat, penuh tantangan, dan membutuhkan persiapan yang sangat matang. Namun kini, dengan adanya kemajuan transportasi dan teknologi, perjalanan haji menjadi lebih mudah dan lebih cepat. Keberadaan fasilitas yang semakin canggih, mulai dari sistem penerbangan yang lebih efisien hingga berbagai aplikasi digital yang membantu jamaah dalam melaksanakan ibadah, tentu membawa dampak positif. Tetapi kemudahan-kemudahan ini juga membawa tantangan tersendiri, yakni potensi hilangnya esensi spiritual dari ibadah ini. Sebagaimana firman Allah Swt. :
اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى الْحَجِّۗ وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ يَّعْلَمْهُ اللّٰهُۗ وَتَزَوَّدُوْا فَاِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوْنِ يٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ
"(Musim) haji itu (berlangsung pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Siapa yang mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, janganlah berbuat rafaṡ, berbuat maksiat, dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala kebaikan yang kamu kerjakan (pasti) Allah mengetahuinya. Berbekallah karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat" (QS. Al-Baqarah: 197)
Ayat ini mengingatkan kita tentang pentingnya menjaga kesucian niat dan perilaku selama ibadah haji. Haji bukan hanya soal sampai di Tanah Suci, tetapi tentang bagaimana kita menjaga sikap dan niat, serta bagaimana proses ibadah itu untuk mendekatkan kita kepada Allah. Alih alih demikian, pada kenyataannya, dengan semakin berkembangnya teknologi, beberapa jamaah justru terjebak dalam kesibukan duniawi, seperti berfokus pada status sosial atau konsumsi. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ibadah haji menjadi lebih mudah dengan kecanggihan yang ada, tantangan untuk menjaga esensinya pun juga ada.
Dalam dunia yang serba cepat dan canggih ini, kita sering kali melihat fenomena jamaah haji yang berlomba-lomba menunjukkan kemewahan perjalanan mereka, seperti menampilkan foto-foto yang "instagramable" dari Tanah Suci, atau bahkan memamerkan kemewahan fasilitas yang mereka nikmati selama haji. Padahal, esensi dari haji itu sendiri adalah tentang kesederhanaan, ketulusan hati, dan pengabdian sepenuh hati kepada Allah. Rasulullah Saw berdawuh:
مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
"Barang siapa yang menunaikan haji, lalu tidak berkata kotor dan tidak berbuat fasik, maka ia akan kembali seperti hari ia dilahirkan oleh ibunya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa inti dari ibadah haji adalah perubahan lahiriyah dan batiniyah yang mendalam, di mana seseorang kembali kepada fitrahnya sebagai hamba Allah yang bersih dari dosa. Bukan tentang bagaimana haji itu dipandang oleh orang lain, tetapi bagaimana ia membawa perubahan positif untuk dirinya dan masyarakat setelah kembali.
Haji mengajarkan kita untuk bersikap tawadhu (rendah hati), menyadari bahwa di hadapan Allah, kita semua sama, tanpa memandang latar belakang, suku, bangsa, atau status sosial. Semua jamaah, baik yang kaya maupun yang miskin, berdiri di Arafah dengan pakaian ihram yang sama, menunaikan rukun haji dengan cara yang serupa, dan memohon ampunan serta rahmat Allah. Inilah esensi sejati dari haji yang harus kita pertahankan, meskipun kehidupan di sekitar kita terus berubah.
Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur'an:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti” (QS. Al-Hujurat: 13)
Ayat ini mengingatkan kita bahwa nilai kita di hadapan Allah tidak tergantung pada harta, status sosial atau asal-usul kita, melainkan pada ketakwaan yang kita miliki. Ibadah haji, dengan segala ritus dan simbolismenya adalah salah satu cara untuk menguji dan memperkuat ketakwaan kita. Oleh karena itu, meskipun teknologi dan modernitas membawa banyak kemudahan, kita harus selalu kembali kepada tujuan utama haji yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menjadi pribadi yang lebih baik, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan sosial.
Perubahan zaman yang pesat seharusnya tidak membuat kita melupakan nilai-nilai yang terkandung dalam ibadah haji. Sebaliknya, perubahan ini dapat dimanfaatkan untuk semakin memperkaya makna haji itu sendiri. Teknologi, umpamanya, bisa digunakan untuk meningkatkan kesadaran jamaah akan pentingnya menjaga esensi spiritual haji. Melalui media sosial, kita bisa menyebarkan pesan tentang makna sejati dari ibadah haji, yaitu kesederhanaan, pengorbanan, dan persaudaraan antar sesama umat islam.
Setelah kembali dari haji, jamaah diharapkan membawa perubahan positif bagi dirinya dan masyarakat. Mereka harus menjadi contoh dalam menjaga nilai-nilai ketakwaan, kesederhanaan, dan persatuan. Haji tidak hanya mengubah satu individu menjadi lebih baik, tetapi juga bisa membawa dampak positif bagi komunitas yang lebih luas. Haji tidak hanya menjadi perjalanan fisik menuju Tanah Suci, tetapi juga perjalanan batin yang membawa dampak bagi masyarakat. Jika kita dapat menjaga esensi tradisional haji dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, maka haji akan tetap menjadi sarana untuk memperkuat solidaritas sosial, mempererat persatuan umat, dan menjadi contoh kesederhanaan di tengah dunia yang semakin materialistis ini.
Wallahu a'lam bish-shawab
Penulis: Agus Nu'man