Kita tahu semua tindakannya Tuhan sifatnya serba boleh. Artinya, tidak ada kewajiban bagi Tuhan untuk melakukan sesuatu apapun. Tidak ada yang bisa mengatur Tuhan sekalipun manusia sudah menjadi raja, karena manusia adalah makhluk Tuhan.
Itu sebabnya, Tuhan boleh memerintahkan makhluknya untuk melakukan sesuatu di laur kekuasaannya. Sekalipun Tuhan tidak melakukan hal itu sebagaimana dalam firmanya dalam Q.S al-Baqarah (2): 286 bahwa “Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya.”
Akan tetapi, Tuhan melakukan hal ini bukan karena kewajiban, melainkan karena sayang kepada makhluknya, sehingga tidak akan memberikan beban di luar kemampuannya. Namun, jika Tuhan ingin men-taklif manusia dengan sesuatu di luar kekuasaannya, maka boleh-boleh saja. Tidak ada sesuatu yang mustahil.
Jika ada pertanyaan “Kenapa gusti Allah kok semena-semena?” semena-mena itu maksudnya bagaimana? Anda menggunakan standar apa? Bukankah Tuhan tidak bisa distandari, lalu bagaimana Anda memberikan standar kepada Tuhan?
“Lha kok Allah tidak sesuai dengan hukum yang berlaku pada manusia?” Ini hukum manusia. Bukankah Tuhan tidak terikat dengan hukum apapun? Dan bukankah Tuhan juga beyond conditioning atau tidak bisa dikondisikan?
Baca juga: Gus Ulil Ngaji Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad: Hujjah Akidah Asy’ariyah tentang Taklif
Perdebatan al-Ghazali dengan lawan-lawannya
Perdebatan antara al-Ghazali dan lawannya mengenai argumentasi bahwa “Tuhan memerintahkan sesuatu yang manusia tidak mungkin untuk melakukannya” mengandung tiga klaim.
Pertama, memerintahkan seseorang melakukan sesuatu yang ia tidak mampu melakukannya maka tidak ada gunanya dan faidahnya. Kedua, sesuatu yang tidak ada gunanya adalah termasuk kesia-siaan. Ketiga, kesia-siaan mustahil bagi Tuhan.
Kata al-Ghazali, “Saya tidak setuju dengan argumentasi mereka.” Sebab, karena posisi Tuhan itu boleh memerintahkan apapun sekalipun tidak ada gunanya. Anda mengatakan bahwa Tuhan memerintahkan sesuatu yang hamba tidak mampu melakukannya adalah sesuatu yang tidak ada faidahnya itu salah. Sebab, boleh jadi ada faidah dan kegunaan bagi hamba diperintahkan sesuatu yang ia tidak mampu melakukannya.
Yang jelas, faidahnya bukan supaya ia mampu melakukannya karena ia memang tidak mampu, atau supaya diganjar karena melaksanakan perintah itu. Tidak. Faidahnya mungkin saja hanya diketahui Tuhan atau hamba saja.
Minimal, yang bisa kita ketahui adalah bahwa perintah tersebut diberikan oleh Tuhan hanya sekedar untuk menunjukkan kepada hamba bahwa ia diberikan perintah. Oleh karena manusia adalah objek atau sasaran perintah, sekalipun isinya perintah tidak mampu dilaksanakannya, maka hamba akan mengerti bahwa ia sedang diperintah.
Terkadang, perintah datang lalu kemudian dibatalkan oleh Tuhan. Seperti perintah Tuhan kepada Nabi Ibrahim as. untuk menyembelih anaknya. Alih-alih menyembelih anaknya, justru Nabi Ibrahim diberikan domba sebagai gantinya. Hikmahnya setiap hari raya Idul Adha banyak orang menyembelih domba.
Contoh lainnya, perintah untuk beriman yang diserukan kepada Abu Jahal lewat Nabi Muhammad saw., walaupun Tuhan sudah tahu bahwa Abu Jahal akan menolak perintah tersebut, namun ia tetap diperintahkan agar beriman.
Lalu apakah perintah Tuhan kepada Abu Jahal untuk beriman tidak ada faidahnya? Minimal faidahnya Abu Jahal tahu bahwa ia mendapatkan taklif dan kewajiban untuk beriman kepada Tuhan. Sekali lagi, orang yang bersangkutan paham bahwa ia mendapatkan perintah dari Tuhannya.
Mengenai statemen bahwa “sesuatu yang tidak ada gunanya termasuk kesia-siaan” adalah hanya mengulang-ulang statemen saja. Yang namanya sia-sia ya jelas tidak ada faidahnya. Dan pernyataan ini selain tidak bisa dipahami, juga tidak akan menimbulkan pengertian baru.
Kemudian pernyataan tentang bahwa “kesia-siaan atau tidak ada faedahnya bagi Tuhan adalah mustahil”. Sekilas pernyataan ini benar, akan tetapi mengandung tipuan. Namun, sebenarnya, tiada ada tindakan iradah Tuhan yang sia-sia alias tidak ada faidahnya.
Karena ungkapan sia-sia itu akibat dari tindakan seseorang yang dirinya berharap mendapat faidah-faidah tertentu dan dirinya terus berharap seperti ibarat ucapan seseorang yaitu “tidak ada faidahnya angin menggerakkan dedaunan pohon, itu angin cuma iseng saja.” Tentu saja ucapan ini tidak masuk akal. Sebab, bagaimana bisa angin itu iseng dan berharap pamrih?
Juga ucapan bahwa “tembok itu bisa lupa.” Bukankah tembok tidak memiliki kemampuan mengingat? Lalu Anda mengatakan bahwa Tuhan iseng? Memangnya Tuhan ketika berbuat sesuatu ingin punya pamrih dan mencapai tujuan tertentu sehingga kalau tidak sampai kepada tujuannya Anda menyebut iseng dan tidak berfaidah?
Kata Gus Ulil, iseng itu orang melakukan sesuatu yang tidak berguna dan tidak ada tujuan. Anda bisa mengatakan seperti itu kepada orang yang ketika melakukan sesuatu selayaknya mempunyai tujuan, lalu ia melakukannya tanpa tujuan.
Kepada Tuhan bagaimana bisa Anda mengatakan iseng? Apakah Anda mengetahui tujuan-tujuan Tuhan? Dan menyebut Tuhan bertindak karena sebuah tujuan sangatlah tidak tepat. Namun, jika Anda tetap mengatakan demikian, maka konsekuensinya, secara implisit Anda secara tidak langsung mengatakan bahwa Tuhan mempunyai pamrih ketika melakukan sesuatu.
Kata al-Ghazali, sesungguhnya orang yang demikian adalah orang yang tidak memiliki ilmu. Karena itu argumentasi “angin itu iseng” dan “tembok bisa lupa” yang digunakan oleh orang tersebut sangat tidak tepat. Itu sebabnya, dengan sendirinya argumentasi mereka yang digunakan untuk menyatakan kesia-siaan dari tindakan Tuhan gugur.
Masih dengan tindakan Tuhan. Jika tanya bukankah Tuhan sudah tahu bahwa Abu Jahal tidak akan beriman, lalu kenapa Tuhan menyuruh Nabi untuk mengajaknya beriman? Artinya, kata Gus Ulil, nabi diperintah Tuhan untuk mengajak Abu Jahal beriman karena ia tidak akan beriman.
Yang jelas, tindakan Tuhan yang memerintahkan sesuatu diluar kemampuan hamba-Nya, maka itu adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari siapapun dan ini termasuk perintah kepada Abu Jahal untuk beriman, walaupun Tuhan sudah tahu bahwa Abu Jahal akan menolaknya. Dalam hal ini, perintah Tuhan kepada Abu Jahal adalah sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh Abu Jahal walaupun bagi hamba-hamba lainnya itu sesuatu yang mampu dilakukan.
Abu Jahal bagi dirinya sebagai hamba itu tidak mustahil untuk beriman, walaupun Abu Jahal ditakdirkan untuk tidak beriman dan hal ini sudah diketahui Tuhan. Namun, kewajiban nabi untuk mengajak Abu Jahal beriman tidak akan gugur atau sia-sia, karena Tuhan memerintahkan nabi untuk menyerukan kepada Abu Jahal beriman.
Sebenarnya, pada diri Abu Jahal ada qudrah atau kemampuan untuk bertindak. Akan tetapi qudrah saja tidak cukup, karena dibutuhkan iradah (iradah Abu Jahal posisinya di bawah iradah Tuhan).
Hal ini secara tidak langsung juga membuktikan bahwa pengetahuan Tuhan tentang takdir Abu Jahal yang tidak mau beriman itu tidak salah. Hanya saja, mengenai takdir, ini adalah pengetahuan yang hanya Tuhan saja yang tahu dan karenanya perintah berdakwah serta mengajak beriman berlaku untuk diserukan kepada semua hambanya.
Dengan demikian, jika ada orang yang mengatakan bahwa “Oh orang-orang kafir itu akan kafir selamanya karena sudah ditakdirkan, dan tidak ada gunanya mendakwahi mereka,” maka orang tersebut, kata al-Ghazali sudah mengingkari syiar agama. Kenapa? Karena dakwah mengajak beriman diserukan untuk semua orang, termasuk mereka yang kafir dan dianggap sudah ditakdirkan kafir. Wallahu a’lam bisshawab.