Di dalam klaim ketiga ini Asy’ariyah mengatakan bahwa Tuhan bisa menimpakan penyakit kepada satu hewan yang tidak melakukan kejahatan apapun. Inilah salah satu aspek penting dalam teodisi akidah Asy’ariyah.
Kita tahu bahwa teodisi adalah argumen satu pandangan filosofis untuk menjawab alasan dari Tuhan yang Maha Baik mengizinkan adanya kejahatan di dunia, sehingga mampu menyelesaikan isu dari masalah kejahatan.
Jika ditelisik lebih jauh, sebenarnya istilah ini dicetuskan pada tahun 1710 oleh filsuf Jerman bernama Gottfried Leibniz di dalam karyanya yang berjudul “Theodicee”, walaupun sebelumnya berbagai solusi untuk masalah kejahatan telah diajukan.
Filsuf Britania John Hick menyatakan bahwa terdapat tiga tradisi utama dalam teodisi: teodisi Plotinus, teodisi Agustinus, dan teodisi Ireneus. Sementara filsuf lain menyatakan bahwa teodisi adalah disiplin modern karena Tuhan dalam kepercayaan dunia kuno biasanya tidak sempurna.
Sekali lagi, kata Gus Ulil, dalam akidah Asy’ariyah Tuhan bisa saja memberikan penderitaan kepada hewan, termasuk manusia, yang tidak melakukan kejahatan apapun. Dan, Tuhan tidak wajib memberikan pahala kepada hambanya yang telah berbuat kebaikan. Pertanyaannya sekali lagi apakah ini tidak merupakan pandangan ketuhanan yang sadis?
Tentu kita tidak akan bisa memahami hal ini dengan tepat, bahkan mungkin bisa terjatuh pada kesalahpahaman jika tidak kembali pada pandangan Asy’ariyah. Dikatakan, dalam akidah Asy’ariyah, seluruh tindakan-tindakan Tuhan sifatnya jaiz (boleh).
Dengan kata lain, Tuhan melakukan tindakan apapun bukan karena adanya faktor deterministik (dikondisikan), proses mekanistik atau suatu kewajiban, melainkan karena kehendak bebas-Nya.
Misalnya seorang hamba yang beramal shaleh lalu dimasukkan ke dalam surga itu bukan karena kewajiban Tuhan. Sebab, Tuhan bisa saja memasukkan hamba yang shaleh ke dalam neraka. Akan tetapi, Tuhan tidak mungkin melakukannya. Jelasnya, bukan karena kewajiban, melainkan karena kehendak-Nya.
Tuhan tak seperti hewan Pavlov dalam behaviorisme, yang jika diberikan stimulus A maka akan melakukan tindakan B sehingga bisa diprediksi. “Oh jika orang berbuat begini dan begitu, maka Tuhan responnya pasti begini juga.” Tidak. Karena Tuhan akan menjadi objek dari kondisioning.
Dikatakan, di dalam eksperimennya, Pavlov menggunakan suara sebagai stimulus netral dan air liur anjing sebagai refleks alami terhadap makanan. Pavlov memasangkan stimulus netral (suara) dengan stimulus tak terkondisi (makanan) secara berulang-ulang. Hasilnya, anjing belajar mengasosiasikan suara tersebut dengan makanan, sehingga akan mengeluarkan air liur setiap kali suara itu terdengar.
Sekali lagi, pandangan Asy’ariyah mengenai Tuhan bahwa Tuhan tidak seperti hewan Pavlov. Itu sebabnya, di dalam klaim yang pertama dikatakan, Tuhan boleh dan tidak menciptakan alam raya. Tidak ada kewajiban.
Kemudian, setelah menciptakan alam raya, termasuk manusia, Tuhan boleh memberikan taklif (beban moral) kepada manusia dengan diwajibkannya tindakan-tindakan tertentu, lalu dilarang untuk melakukan tindakan-tindakan yang lain.
Artinya, kata Gus Ulil, menurunkan syariat melalui nabi-nabi dan kitab suci boleh-boleh saja, namun tidak wajib. Kenapa demikian? Karena Tuhan bisa saja menciptakan manusia tanpa ada kewajiban moral apapun. Sekali lagi, boleh saja. Akan tetapi, jika Tuhan mengganjar manusia itu bukan karena kewajiban, melainkan karena kasih sayang-Nya.
Argumentasi Muktazilah
Tentu saja hal ini semua berbeda dengan pandangan Muktazilah yang mengatakan bahwa Tuhan tidak mungkin melakukan demikian (menyiksa hewan tanpa alasan apapun), karena hal seperti ini adalah tindakan kejahatan. Mana mungkin Tuhan berbuat kejahatan?
Artinya, Tuhan wajib berbuat kebaikan terhadap hewan apapun, termasuk manusia. Tuhan tidak boleh menyiksa tanpa alasan yang jelas. Tidak mungkin juga Tuhan menimpakan penyakit kepada hewan yang tidak salah.
Kata Gus Ulil, sekedar renungan saja, jika Muktazilah mengatakan bahwa semuanya mustahil, namun pada kenyataannya terjadi. Ada orang-orang yang baik, dalam hal ini tidak berbuat kejahatan seperti Nabi Ayyub as. justru mendapatkan cobaan luar biasa dari Tuhan. Lalu bagaimana mereka Muktazilah menjelaskannya?
Jika anda orang atheis, maka anda tidak akan kesulitan menjelaskan. Karena baginya, hidup di dunia ini tanpa makna. Nihilisme. Ya namanya penderitaan bisa terjadi pada siapa saja dan ini juga bagian dari fenomena alam. Dan tidak ada apapun di baliknya.
Namun jika anda orang beriman dan percaya Tuhan, kemungkinan anda akan kesulitan dalam menjelaskannya. Pertanyaannya, jika Tuhan ada lalu kenapa ada penderitaan yang diderita manusia? Bukankah manusia yang menderita itu sebagian darinya adalah yang shaleh dan selalu melakukan ibadah?
Menurut Muktazilah (yang menggunakan penalaran rasional) bahwa Tuhan tidak mungin tidak melakukan hal itu. Namun, nyatanya ada banyak dari mereka yang tidak berdosa justru menderita. Padahal Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang.
Menyikapi hal ini, kata Gus Ulil, pendapat Asy’ariyah lebih masuk akal. Tentu saja penjelasan Asy’ariyah tidak mudah untuk dipahami secara sederhana. “Kok Tuhan yang katanya Maha Pengasih malah menyiksa hamba-Nya?”
Hal ini tidak masalah bagi Asy’ariyah. Sebab, Tuhan boleh saja menyiksa hamba yang tidak berbuat salah, termasuk yang shaleh, dan tidak wajib mengganjarnya. Memang kelihatannya, pendapat Asy’ariyah ini tidak masuk akal. Namun jika direnungkan, pendapat Asy’ariyah jauh lebih konkrit.
Pertama, kerangka besarnya Tuhan bertindak bukan karena proses mekanistik-deterministik. Tuhan bukan mesin. Karena jika seperti mesin, maka Tuhan tidak mempunyai kehendak bebas. Tidak independen.
Gus Ulil mengatakan bukankah cara pandang yang murni rasional pada akhirnya irasional. Kenapa? Karena rasionalisme akibatnya bisa menimbulkan cara berfikir mekanistik. Bahwa salah satu ujung dari rasionalisme adalah ketika memandang sesuatu bisa terjadi karena disebabkan oleh sesuatu yang lain. Jadi, jika A maka B, dan jika B maka C dan seterusnya.
Ia mekanistik seperti mesin yang jika dihidupkan maka akan berputar dan bergerak sesuai dengan hukumnya. Tidak ada kemungkinan yang lain, dalam hal ini kehendak bebas hilang, dan yang terjadi adalah determisnisme. Setelah determinisme manusia akan kehilangan kemanusiaanya. Apakah ini tidak irasional?
Doktrin Mazhab Frankfrut
Ini persis seperti Mazhab Frankfurt (teori kritis yang berasal dari Institut Penelitian Sosial di Universitas Goethe Frankfurt, Jerman). Anda tahu! Salah satu doktrin Mazhab Frankfurt adalah bahwa masyarakat modern terjebak kepada tindakan-tindakan irasional.
Padahal, bukankah mereka mendaku-daku sebagai manusia yang rasional, dan mewarisi peradaban atau pencerahan yang rasinonal, akan tetapi ujung-ujungnya irasional. Tentunya ini terjadi karena rasional ujungnya adalah teknologi (sains-teknologi), dan basisnya adalah hukum dan sebab-akibat.
Sesuatu yang bersifat kausalitas (sebab-akibat), jika diterapkan pada konteks yang tidak memiliki roh, maka kemungkinan masuk akal karena mereka bekerja dengan hukum kausalitas yang deterministik. Tetapi, manusia bukan hanya fisik, melainkan di dalam dirinya ada dimensi roh dan jiwa. Di sinilah lokasinya kebebasan (iradah).
Penting untuk dikatakan bahwa di dalam diri manusia ada iradah, karena manusia memiliki sepercik dari unsur ketuhanan; karena Tuhan mempunyai sifat iradah, maka manusia juga mempunyai sifat iradah. Dengan kata lain manusia tidak bisa deteministik.
Pemenang hadiah hadiah Nobel Fisiologi atau Kedokteran 1912 yang bernama Alexis Carrel (yang dilahirkan di Sainte-Foy-les-Lyon, daerah pinggiran kota Lyon, Prancis.) pernah menulis buku yang berjudul “Man, the Unknown” atau “Al-Insan Dzalik Al-Majhul” bahwa manusia sebagai makhluk yang tidak sepenuhnya dipahami.
Secara garis besar buku ini menunjukkan bahwa manusia itu tidak sepenuhnya bisa dipahami dan dijelaskan dengan proses-proses fisikal-kimiawi. Ia tidak sepenuhnya makhluk biologis seperti benda-benda tak bernyawa. Tidak.
Melainkan, dalam diri manusia ada roh yang serba mengandung misteri. Dan Tuhan adalah al-Ghaib (Maha Misteri). Tanpa disadari, jika Anda menggambarkan Tuhan seperti mesin, maka Tuhan seperti mesin yang bisa diprediksi; robot.
Anda boleh kagum dengan robot atau artificial intelligence, namun jangan lupa kepada penciptanya. Pernahkah anda berfikir siapa di balik adanya artificial intelligence? Pernahkah anda berfikir bahwa yang hebat adalah manusianya bukan artificial intelligence?
Kata Gus Ulil, di dalam masyarakat yang sudah dikendalikan oleh teknologi, ada banyak orang yang terkagum-kagum kepada mesin, namun lupa pada penciptanya. Ia lupa bahwa semua ada yang menciptakan. Ini persis seperti orang atheis yang takjub dengan adanya alam, namun lupa kepada penciptanya.
Komentar Hassan Hanafi
Hassan Hanafi pernah mengatakan (kritik) bahwa teologi Asy’ariyah adalah teologi yang tidak berpihak kepada manusia; terlalu berpihak kepada Tuhan. Dalam hal ini, kata Hassan, Asy’ariyah tidak antroposentrik, melainkan teosentrik (al-markaziyah al-ilahiyah). Kata Gus Ulil ini keliru.
Dikatakan keliru karena sesungguhnya akidah Asy’ariyah ternyata berpihak kepada manusia. Jika anda menggambarkan Tuhan secara mekanistik seperti mesin (kalau manusia berbuat baik maka Tuhan wajib mengganjarnya), maka pada akhirnya anda menggambarkan manusia juga secara mekanistik. Tidak kehendak bebas dalam dirinya.
Padahal, dengan berpandangan bahwa Tuhan memiliki iradah dan tindakan-Nya tidak mekanistik, dan karena manusia ada unsur ketuhanan dalam dirinya, maka manusia juga mempunyai kehendak bebas. Jadi, sejatinya, Asy’ariyah membela manusia, dalam hal ini ada dimensi humanisme di dalam padangan Asy’ariyah. Wallahu a’lam bisshawab. [RZ]