Pesantren.id – Urgensi terkait fikih perempuan menjadi sebuah diskursus tersendiri yang terus berkembang seiring dengan problematika yang dijumpai pada zaman ini. Moh. Habibulloh selaku penulis buku “Fikih Perempuan: Keadilan dan Kesetaraan dalam Islam” berkolaborasi dengan Dunia Santri Community untuk membedah bukunya. Buku tersebut dibedah oleh para pakar seperti KH. Husein Muhammad, Ning Hj. Imas Fatmah Zahro, dan Dr. Amin Mudzakkir via Zoom Meeting. (19/03/2024).
Bedah buku yang yang mengangkat isu-isu penting seputar fikih dalam konteks perempuan di buka oleh Dr. Abdulloh Hamid selaku Direktur Dunia Santri Community. Beliau menyampaikan bahwa acara ini bertujuan untuk menjelajahi konsep-konsep keadilan dan kesetaraan dalam Islam.
Selanjutnya Buya Husein Muhammad selaku pembicara pertama mengapresiasi akan hadirnya buku ini sebagai diskursus studi gender. Namun, beliau memiliki banyak catatan dalam pandangan-pandangan yang tertuang dalam buku tersebut. Salah satunya, tentang keunggulan kecerdasan laki laki, sedangkan beliau menulis buku tentang ulama perempuan dalam panggung sejarah yang membahas fakta bahwa dalam beberapa kesempatan ada perempuan yang kecerdasannya mengungguli laki-laki pada zamannya.
Pada kesempatan berikutnya penulis buku menyampaikan bahwa buku ini ditulis karena merasa resah dengan fakta bahwa ketidakadilan yang terjadi kepada perempuan didasarkan karena kesalahfahaman terhadap teks keagamaan. Hal ini dikarenakan ada hadis yang menjelaskan bahwa Rasulullah tidak pernah sama sekali memukul perempuan dan hamba sahayanya.
“Begitu juga dalam kasus Ijbar (pemaksaan) seorang wali terhadap anak perempuannya yang merupakan pemahaman fikih yang disalahfahami. Karena menurut hasil diskusi para ahli fikih menjelaskan bahwa Ijbar memiliki definisi membimbing dengan kasih sayang. Fikih juga menjelaskan bahwa seorang wali meminta persetujuan kepada anak perempuan agar sesuai dengan kebahagiaannya.” ujar Habibulloh.
Hal menarik juga diungkapkan oleh Dr. Amin Mudzakir. Beliau menjelaskan bahwa buku ini merupakan bagian dari Islamic Feminisme. Uniknya para pemikir tentang Gender justru adalah laki-laki. Hal ini menjadi pertanyaan besar, kenapa perempuan tidak terlibat dalam kepenulisan buku ini?. Tentunya ketika perempuan terlibat akan jauh lebih relate dengan tantangan yang dihadapi perempuan.
“Ulama abad 20 mulai banyak pakar yang menulis tentang fikih perempuan karena menjawab tantangan dari Barat yang mengatakan bahwa fikih Islam sudah tidak relevan dengan zaman modern. Buku ini berhasil mengemban tugasnya untuk menjelaskan bahwa fikih selalu relevan dengan isu-isu kontemporer namun buku ini kurang berani untuk bersinggungan langsung dengan pemikiran yang sedang dikritisi.” imbuh beliau sembari menyampaikan kritik terhadap buku Habibulloh.
Ning Imaz selaku pembicara dari unsur perempuan yang juga konsen membahasan isu gender mengapresiasi kehadiran buku ini. Terutama dalam tatanan bahasanya karena selama ini beliau selalu membaca karya santri Lirboyo sejak 2009.
Beliau juga menyampaikan bahwa santriwati masih terus berjuang untuk pengembangan intelektual. Beliau berharap kedepannya ada kolaborasi antara santri dan santriwati dalam rangka pengembangan intelektual. Buku ini hadir bagaikan mata air segar karena pada faktanya masih banyak santri yang memiliki pemahaman kurang tepat tentang relasi sosial perempuan dan rumah tangga.
“Pemahaman yang komperhensif menjadi hal yang berimplikasi terhadap pemahaman masyarakat. Karena itu, ketika feminisme muncul ke permukaan lalu Islam disalahkan, bisa jadi hal tersebut disebabkan karena banyaknya santri yang tidak selesai pendidikannya sehingga tidak utuh dalam memahami relasi perempuan.” tutur beliau.
Beliau juga mengimbuhkan bahwa ketika perempuan dibatasi pergerakannya maka akan terjadi kejumudan potensi mereka. Padahal sebelumnya mereka begitu cerdas dan berdaya ketika di pesantren.
Sebagai penutup bahwa diskursus fikih perempuan tentang isu-isu keadilan dan kesetaraan menjadi sebuah urgensi yang terus berkembang serta harus dicari solusinya. Perlu ada konsep-konsep yang matang terkait keadilan dan kesetaraan gender. Sehingga perempuan tidak lagi dianggap rendah dari pada laki-laki dan perempuan bisa lebih dihargai dan dimuliakan. [HW]