Fenomena yang terjadi selama lebih dari dua tahun belakangan ini yaitu pandemi Covid-19 membuat segala aspek aktivitas keseharian manusia sangatlah terbatas. Dimulai dari sektor perekonomian yang semrawut tidak karuan, pembelajaran pendidikan yang terpaksa via online, kasus pidana yang meningkat, angka perceraian keluarga yang melonjak, bahkan rutinitas pengajian di kampung-kampung juga terpaksa ditiadakan.
Fenomena ini juga mengakibatkan banyak korban berjatuhan, setidaknya sampai saat ini angka kasus secara global menyentuh angka 224,117,770, dengan total angka kematian menyentuh angka 4,622,503 (10/09/2022). Bisa dikatakan virus Covid-19 membuat semua orang kehilangan segalanya, karena virus ini menyebar hampir kesuluruh dunia dan mempengaruhi sendi-sendi kehidupan.
Kendati demikian, sampai saat ini masih ada saja sebagian masyarakat yang meragukan eksistensi Covid-19 itu sendiri, bahkan sampai ranah ke sumber asal Covid-19, dan cara mengatasinya. Alhasil, terdapat sekolompok masyarakat yang menyakini Covid-19 itu benar adanya, dan sekolompok masyarakat yang tidak mempercayainya. Lebih lanjut, kedua kelompok tersebut saling berdebat dan membangun narasi yang diyakininya benar demi menarik simpati perhatian masyarakat sekitar.
Tidak jarang juga narasi yang mereka bangun memunculkan hate speech yang menyinggung, menyakiti, dan melukai perasaan orang lain. Perdebatan seperti ini, mengingatkan kita pada discourse yang mempertentangkan antara agama dan sains -mengenai subjectivitas dan objektivitas-, sehingga mampu mendikotomi suatu paradigma berfikir. Bagaimana tidak, narasi yang dikemukakan oleh kedua kelompok tersebut ternyata mampu mempengaruhi paradigma berfikir masyarakat dan memunculkan sikap yang berbeda.
Antara Siksa, Wabah, dan Ujian
Hadirnya Covid-19 ternyata memunculkan berbagai respon dan tanggapan dari kelompok-kelompok masyarakat. Setidaknya terdapat 3 tanggapan mengenai esensi dari Covid-19; Pertama, kelompok yang merepresentasikan Covid-19 sebagai siksa atau azab dari Tuhan. Kedua, kelompok yang merepresentasikan Covid-19 sebagai wabah produk sains. Ketiga, kelompok yang merepresentasikan virus tersebut sebagai ujian.
Pada awal munculnya virus Corona, beberapa orang dari kalangan agamawan merespon virus Corona sebagai azab dan siksa yang telah Tuhan turunkan kepada orang-orang yang berbeda keyakinan dengan mereka. Anggapan ini disampaikan memang ketika virus tersebut menyebar didaratan yang notabenya mayoritas non-muslim. Biasanya, kelompok agawaman yang mengklaim covid-19 sebagai sisksa merupakan kelompok yang cenderung tekstualis dan subjektif, karena cenderung meniadakan realitas.Argumentasi yang mereka bangun yaitu dengan menganalogikan Covid-19 dengan tentara-tentara Allah yang diambil dari cuplikan ayat al-Qur’an, yakni surat al-Ahzab (33): 9, dan al-Muddastir (74): 31.
Kendati demikian, anggapan bahwa Covid-19 sebagai siksa perlahan memudar, mengingat anggapan tersebut tidak bisa dipertanggung jawabkan. Bagaimana tidak, saat ini orang yang terinfeksi virus corona tidak hanya orang non-muslim saja, bahkan pemuka-pemuka agama -kyai, pendakwah, pastor, pendeta, bhikku- banyak sekali yang terinfeksi oleh virus ini, tidak banyak juga yang gugur akibatnya. Apakah masih relevan jika kita katakan ini sebagai tentara Allah yang siap menyiksa hambanya? Tentu saja tidak. Tetapi mungkin saja masih ada yang beranggapan seperti itu, karena konstruk pemikiran yang kolot dan sudah mendarah dengan keyakinan (system of belief).
Kalangan yang mengkaim corona sebagai wabah yang berupa produk sains merupakan para saintis supernaturalistis yang memusatkan rasio pengetahuanya saja, tanpa melibatkan kredo agama sedikit pun. Mereka merefleksikan virus Covid-19 sebagai sesuatu yang diperoleh melalui observasi, research, validasi, dan trials. Wilayah domain saintis terletak pada rasionalistik ilmiah teknologis yang mereka konstruk melalui dimensi known atau unknown. Tentu saja objektivitaslah yang menjadi supremasi dalam meligitmasi kebenaran, karena saintis hanya menyakini sesuatu yang dapat dikaji dan dibuktikan secara ilmiah, bukan sesuatu yang abstrak dan ilusi.
Akibat dari hal itu, kritik dilontarkan kepada para saintis karena melepaskan kungkungan subjektivitas dirinya. Seperti halnya yang dikatakan oleh Jurgen Habermas bahwa penerimaan sains yang bersifat objektifitas sebagai preskripsi ilmiah merupakan suatu pembakuan proses, karena mengalihkan subjektifitas. Kritik juga dilontarkan oleh Sayyed Hosen Nasr dikarenakan saintis saat ini telah kehilihangan rujukan transendelnya sebagai makhluk yang memiliki dimensi spiritualitas-subjektifitas dan cenderung lebih menguatkan aspek antroposentris yang terlalu memusatkan pada kemampuan manusia dalam menangkap realitas.
Selanjutnya terdapat kalangan yang bersikap moderat, adalah kalangan yang mempunyai struktur pemikiran yang integratif dalam menanggapi suatu realitas. Dikatakan integratif karena mampu mendialogkan antara subjektivitas dan juga objektivitas, sehingga tidak arogan dalam memahami virus corona. Hal demikian ini dikarenakan orang moderat selalu mencari pandangan yang bijak, mashlahat, dan tidak mengeluarkan statement yang menimbulkan kontroversi. Lebih lanjut, Buya Husein Muhammad juga menambahkan bahwasanya orang yang memiliki pemikiran yang moderat tidak mau mengabsolutkan kebenaran yang tunggal
Mereka merespon realitas dengan modal kekayaan khazanah pemikiran yang telah mereka dapatkan, dalam kasus ini mereka menganggap bahwa virus corona merupakan ujian yang telah tuhan kepada para hambanya melalui berbagai sebab atau akibat yang melatar belakanginya. Konstruksi pemahaman yang dibangun yaitu berdasarkan teks dan realitas sosial yang terjadi, pemahaman teks melalui teks al-Qur’an surat al-Mulk (67): 2, Muhammad (47): 31, al-Anbiya’ (21): 35, al-Baqarah (2): 155, yang memuat satu esensi makna yang sama, yaitu mengutarakan Allah akan senantiasa memberikan cobaan kepada hambanya dengan tujuan mengukur sejauh mana tingkat resiliensi seorang hamba.
Bukan hanya teks, kelompok ini juga melihat secara luas (world view) realitas konteks yang ada di masyarakat. Virus covid merupakan suatu yang nyata dan pastinya terdapat kausalitas yang melatar belakanginya yang memang perlu untuk diteliti lebih lanjut. Akan tetapi di satu sisi juga terdapat makna dan nilai tertentu yaitu sebagai bagian dari ujian yang sengaja Tuhan berikan kepada hambanya untuk mengupgrade kualitas pemikiran, spiritual, dan kehidupan. Mungkin inilah yang dimaksud dengan haqqul yaqin sebagai spriritualize nature, yaitu upaya sinkrosinansi antara agama dan ilmu pengetahuan.
Propaganda Antara Takut Tuhan atau Takut Virus
Terdapat propaganda yang mempertentangkan takut terhadap Tuhan dan Takut terhadap virus, karena keduanya bukan sesuatu yang perlu di justifikasi. Propaganda ini berawal dari penolakan terhadap peraturan pemerintah dan perintah para ahli berupa himbauan larangan ke rumah ibadah, melaksanakan ibadah secara berjamaah, dan kegiatan kegamaan, sedangkan selain kegiatan yang tidak ibadah diperbolehkan. Hasilnya logika yang terbangun pun mencuat menjadi manusia hanya perlu takut kepada tuhan, bukan takut kepada selain-Nya.
Takut kepada virus bukan secara otomatis menandakan tidak takut kepada tuhan, karena hakikat dari takut kepada makhluk yang telah Tuhan ciptakan -virus- juga termasuk bagian konsekuensi dari takut kepada Tuhan. Tidak bisa kita hanya takut kepada makluk (virus) saja, begitupun sebaliknya. Perumpamaanya, seperti pensyariaatan sholat khauf yang tercantum dalam Q.S an-Nisa’ (4): 101-102, motif alasan syariat ini adalah karena kaum muslimin sedang dalam situasi berperang dan melaksanakan hendak melaksanakan sholat karena suatu kewajiban. Akhirnya turunlah ayat tersebut yang memuat esensi memertemukan takut kepada Tuhan dan Takut kepada sesuatu yang bisa mengancam jiwa dan keselamatan.
Transformasi Menuju Hidup Yang Sehat
Terlepas dari diskursus pemahaman Covid-19, yang sepantasnya kita sadari adalah pandemi Covid-19 memaksa manusia untuk segera bertransformasi menuju kehidupan yang lebih baik (tranformation to a better life). Salah satu upaya agar mampu bertranformasi menuju hidup yang sehat yaitu memalui internalisasai paradigma kesehatan dalam ritinitas sehari-hari. Penegakan protokol secara ketat melalui program 5 M + 1 D yaitu memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menghindari mobilitas sosial, menghindari kerumunan, dan doa perlu sekali dihayati dan diejawentahan dalam kehidupan sehari-hari.
Transformasi menuju hidup sehat ini sering sekali diistilahkan dengan new normal, yaitu pembiasaan hidup yang adaptif dengan lingkungan yang bersih dan sehat. Untuk mewujudkan hal seperti ini maka pemerintahan Indonesia secara perlahan telah memasukan paradigma kesehatan melalui berbagai macam peraturan yang telah dibuat, seperti adanya PP Nomor 21 Tahun 2020 Tentang PSBB, KMK No. 01.07/MENKES/382/2020 Tentang Protokol Kesehatan Di Tempat Dan Fasilitas Umum, Inmedagri Nomor 24,24,26 Tahun 2021 Tentang PSBB, dan tidak lupa juga SE Nomor: P-001/DJ.III/Hk.007/07/2021 Tentang Teknis Pelayanan Nikah. Munculnya paradigma kesehatan dalam peraturan menandakan adanya progres untuk hidup yang transformatif, hukum sebagai tool of social engineering berperan penting dalam merubah nilai-nilai sosial dan perilaku warga masyarakat. Dalam konteks ini mampu membangun habbit yang baru, sehingga menjadi suatu kebiasaan dalam hidup yang sehat. [BA]