Kita mengetahui bahwa sekularisasi yang terjadi di negara-negara Muslim umumnya tidak sampai menghilangkan orientasi keagamaan masyarakat dan negara. Bahkan adopsi sistem sekuler, seperti sistem demokrasi dan penegakan hak asasi manusia, dalam banyak hal dilakukan dengan pemberian legitimasi keagamaan melalui ijtihad dan penyesuaian-penyesuaian tertentu.
Tanpa legitimasi ini, ide-ide atau “sistem sekuler” itu tidak akan mendapat dukungan sepenuhnya dari warga yang mayoritas beragama Islam. Ijtihad ini merupakan bagian dari modernisasi pemahaman keagamaan (modernisme Islam) agar ajaran-ajaran Islam tetap kompatibel dengan perkembangan masyarakat modern tanpa menyalahi ajaran-ajaran Islam yang bersifat mendasar dan absolut (qath’i).
Menguatnya kembali orientasi keagamaan dan penolakan terhadap sekularisme telah menjadi fenomena di seluruh dunia Islam sejak akhir dasawarsa 1970-an, terutama karena semakin tingginya tingkat pendidikan umat Islam sehingga memunculkan pemahaman dan kesadaran mereka tentang karakteristik ajaran Islam yang memang tidak memisahkan antara agama dan negara. Bahkan sejak dasawarsa 1980-an, kebangkitan agama dalam bentuk desekularisasi politik dan sosial cukup nampak di negara ini sebagai tandingan (counter) terhadap proses sekularisasi politik tersebut.
Kecenderungan desekularisasi ini ternyata tidak hanya terjadi dunia Islam, tetapi juga di banyak negara di dunia, termasuk di Amerika Serikat, karena manusia tetap membutuhkan nilai-nilai spiritual, meski mereka hidup dalam masyarakat modern yang menjunjung rasionalitas. Karena kenyataan itulah sosiolog terkemuka, PeterL. Berger pada akhir dasawarsa 1990-an menolak teori “secularization”, dan sebaliknya mengemukakan teori “desecularization of the world”. Hal ini terjadi karena dalam kenyataannya proses sekularisasi itu menimbulkan reaksi dalam bentuk gerakan-gerakan tandingan sekularisasi yang kuat (poweful movements ofcounter-secularization) (Peter L.Berger et al., The Desecularization, 1999).
Jadi teori ini merupakan revisi terhadap teorinya sendiri tentang sekularisasi yang dikemukakan pada akhir dasawarsa 1960-an. Hanya saja, perlu dibedakan antara desekularasi dalam konteks negara (politik) dan desekulariasi dalam kehidupan masyarakat. Di negara-negara Barat fenomena desekularisasi ini umumnya terjadi dalam konteks kehidupan masyarakat, sementara negara masih tetap mendukung sekularisme, walaupun sebagian warga menuntut penghapusan sekularisme.
Desekularisasi juga terjadi di Indonesia pada akhir 1980-an sebagai counter terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru yang pada masa-masa awal mendukung sekularisasi sejalan dengan proses modernisasi dan pembangunan. Sekularisasi politik itu dilakukan dengan tema “de-ideologisasi politik”, terutama dengan menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas yang berimplikasi pada pelarangan simbol-simbol agama dalam politik. Meski terjadi proses sekularasi politik yang sangat kuat pada saat itu, dalam masyarakat tidak terjadi sekularisasi yang berarti, karena umat Islam tetap memiliki orientasi keagamaan dan melakukan sosialisai ajaran-ajaran agama secara kultural.
Desekularisasi itu antara lain ditandai dengan revisi kebijakan pemerintah dengan mengakomodasi sebagian aspirasi umat Islam, seperti UU Peradilan Agama No. 7 tahun 1989, UU No. 2 Sistem Pendidikan Nasional tahun1989 yang mengakomodasi pendidikan agama dan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang mengakomodasi beroperasinya bank dengan sistem bagi hasil (perbankan syari”ah). (Pippa Norris dan Ronald I, Sekularisasi Ditinjau Kembali).
Berakhirnya masa Orde Baru dan munculnya Era Reformasi pada 1998, yang mendukung kebebasan dan demokrasi,dijadikan sebagai momentum bagi tokoh Islam untuk mempromosikan kembali politik Islam dengan mendirikan partai-partai Islam atau berbasis massa ormas Islam.
Namun belajar dari sejarah perjuangan masa lalu untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara seperti yang terjadi dalam persiapan kemerdekaan pada 1945 dan dalam Konstituante pada 1956-1959, mereka tidak mengulangi lagi perjuangan serupa.
Memang di awal-awal era reformasi sempat muncul gagasan dan perdebatan dalam konteks amandermen UUD 1945 untuk memasukkan semangat Piagam Jakarta atau pelaksanaan syari’at Islam dalam konstitusi, tetapi gagasan atau usulan itu tidak bisa diterima oleh MPR. Meski demikian, hampir semua kelompok Islam mendukung modernisasi politik dan demokratisasi, dan hanya sebagian kecil yang menolaknya.
Dengan demikian, baik dalam konsep sistem ketatanegaraan maupun realitas pada saat ini hubungan antara agama dan negara di Indonesia tetap dalam bentuk yang kedua (intersectional) atau hubungan persinggungan antara agama dan negara, yang berarti tidak sepenuhnya terintegrasi dan tidak pula sepenuhnya terpisah. Dalam hubungan semacam ini terdapat aspek-aspek keagamaan yang masuk dalam negara dan ada pula aspek-aspek kenegaraan yang masuk dalam atau memerlukan legitimasi agama.
Oleh karena itu,seringkali dikatakan bahwa Indonesia bukanlah negara agama dan bukan pula negara sekuler. Negara Indonesia adalah negara yang secara kelembagaan berbentuk sekuler tetapi secara filosofis mengakui eksistensi agama dalam kehidupan bernegara. Bahkan agama sebagai dasar negara secara eksplisit disebutkan dalam pasal 29 ayat 1, yakni “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Berdasarkan sila pertama Pancasila dan pasal 29 inilah sejumlah ahli hukum tata negara, seperti Ismail Suny, mengatakan bahwa sistem ketatanegaraan Indonesia mengakui tiga bentuk kedaulatan, yakni kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum dan kedaulatan Tuhan. (Ismail Suny, Ismail Suny, Mekanisme Demokrasi Kita, 1987)
Beranjak dari itu keberadaan rotasi keagamaan di Indonesia selalu bisa hidup rukun dan damai hingga era millenial saat ini, meskipun ada pihak-pihak tertentu yang mencoba untuk menggantikan dengan label agama dengan menegakkan khilafah di nusantara ini. Kita berharap negeri ini terus damai dan tetap terjaga keutuhannya dalam NKRI. Semoga.
Wallahu ‘alam bishawab. Wallahu Muaffiq Ila ‘Aqwamith Thariq. [HW]
[…] Modernisasi dalam bidang pendidikan adalah bagian terpenting dari modernisasi sosial, ekonomi, dan politik. Hal tersebut bermakna bahwa untuk membangun dan membina masyarakat modern, maka pendidikan adalah bagian yang sangat penting sebagai media tranformasi nilai dan budaya maupun pengetahuan. Pendidikan akan mendorong berkembangnya kecerdasan dan produk budaya masyarakat. Melalui pendidikan pula, muncul banyak pembaharuan di berbagai aspek kehidupan. Asumsi adanya hubungan yang signifikan antara pembaharuan dengan pendidikan yaitu sebagaimana pendapat Syafi’i Ma’arif, bahwa salah satu fungsi pendidikan adalah membebaskan masyarakat dari belenggu keterbelakangan. […]