Dalam kurun satu Minggu terakhir beredar foto disertai twit beberapa pemuda. Isinya, bangga karena setelah diremehkan guru BK beberapa tahun silam, kini mereka membuktikan dirinya bisa “sukses”. Ada yang cumlaude, padahal dulu dianggap siswa gagal. Ada yang sukses begini begitu padahal dulu dinilai anak yang bermasalah, dan seterusnya. Intinya, anak muda yang bisa melampaui penilaian negatif orang lain. Anak muda yang membuktikan dirinya bisa, mampu, dan sukses. Saya suka optimismenya.
Oke, banyak yang suka gaya mereka, juga tak sedikit yang sewot, dianggap tak tahu etika. Suul adab kepada guru, dst. Bagaimana seharusnya kita bersikap sebagai murid maupun guru?
Saya ingat, ada guru saya yang selalu berkata “Madesu” alias masa depan suram kepada muridnya yang tampak bodoh, atau nakal. Saya cekikikan saja mendengar cara beliau memotivasi para muridnya. Saya anggap angin lalu, saja. Tapi tidak dengan seorang sahabat saya. Tahun 2005 silam, sahabat saya (ia pasti membaca status saya ini), curhat. Dia tidak kuliah, memilih bekerja di Surabaya.
Dia sambat, apa benar ya kutukan dari Pak A, kalau diriku ini MADESU? Sungguh, saya kaget. Saya tidak menyangka jika dia punya pikiran demikian dan ucapan dari guru kami benar-benar menjadi beban dirinya. Saya bilang, lupakan saja. Pak A itu suka becanda, meski keterlaluan. Mungkin itu cara beliau memotivasi kita. Tidak, sergahnya. Aku selalu kepikiran dengan teror kata-katanya, jangan-jangan itu kutukan, lanjutnya. Sahabat saya ini teman saya dalam hal kenakalan dan kekonyolan ketika mondok, dia punya mental kukuh, tapi pada waktu itu, kepercayaan dirinya ambrol.
Saya mikir. Betapa dahsyat kekuatan kata-kata. Kalimat pesimistik dan merendahkan murid membuat kepercayaan dirinya hancur, dan sebaliknya, kekuatan opmitisme akan tumbuh menjadi tenaga pembangkit yang luar biasa. Coba lihat Arthur Fleck di film Joker (2019) yang mengalami perundungan brutal di masa kecilnya, lalu bandingkan dengan sosok unik yang diperankan Tom Hanks dalam Forrest Gump (1994). Keduanya hancur dan bangkit melalui kata-kata orang terdekatnya.
Malam itu, saya dan sahabat yang sedang galau ini ngobrol panjang lebar ditemani secangkir kopi dan beberapa sigaret. Menenangkan batinnya, meringankan pikirannya, membangkitkan mentalnya. (Tetap semangat yo luuuuur! Ayo ngakak bareng! Hahaha)
***
Saya nggak begitu paham wayang. Tapi saya suka beberapa ceritanya, baik carangan maupun pakem. Di antaranya, carangan berjudul Bimasuci alias Dewaruci, kisah pencarian hakikat jatidiri yang dilakoni Bima; serta tentang Ekalaya, salah satu pakem Mahabarata.
Baik Bima maupun Ekalaya adalah tipikal murid yang taat kepada gurunya. Apesnya, keduanya sama-sama punya guru yang kharismatik namun culas. Namanya Guru Durna alias Resi Drona.
Dengan licik, menjelang Baratayudha, Resi Durna meminta agar Bima mencari air kehidupan, baik di gunung maupun menyelam ke dasar samudera. Perintah ini hanya akal-akalan Resi Durna agar Bima tewas dalam melaksanakan titahnya. Sebuah konspirasi jahat, tentu saja. Tujuannya, agar kekuatan Pandawa susut karena Bima telah berkalang tanah. Sayang, siasat licik ini gagal. Bima selamat. Bahkan Sang Werkudara ini berjumpa dengan dewa kerdil, Dewaruci, seukuran telapak tangannya. Liliput yang berwajah dirinya, dan sebenarnya merupakan hakikat dari jatidiri Bima yang sebenarnya. Dialog antara Bima dengan Dewaruci ini yang menjadi titik tumpu cerita. Silahkan cari di YouTube, saya suka sekali bakti Bima sebagai murid, maupun dialog “berat”nya bersama Dewaruci.
Murid lain, Ekalaya, adalah jagoan yang punya kemampuan memanah yang baik. Dia bersaing dengan Arjuna. Sayang, Resi Durna lebih memilih Arjuna, yang berasal dari kaum priyayi, dibanding dengan Ekalaya, yang berasal dari kasta rendahan.
Ekalaya terusir, tapi dia tetap berlatih memanah. Dia membuat patung serupa Resi Durna. Setiap kali berlatih memanah, dia menyembah patung itu. Ekalaya juga meminta restu kepada patung yang dia buat dari jejak tanah Resi Durna itu. Baginya, ini adalah wujud ketakziman seorang murid kepada guru.
Di kemudian hari, Resi Durna terkejut mengetahui kemampuan memanah Ekalaya yang semakin baik. Khawatir bakal menyaingi kemampuan murid kesayangannya, Arjuna, Guru Durna kembali bersiasat licik. Dia tahu jika Ekalaya senantiasa menghormatinya sebagai guru, walaupun dia pernah mengusirnya. Karena itu, Resi Durna meminta bukti loyalitas Ekalaya sebagai murid. Caranya, harus memotong jari telunjuknya. Bukti kepatuhan murid kepada guru. Ekalaya taat. Dia memotong jemarinya. Hilang sudah kemampuan memanahnya, sebab mustahil dia melesatkan anak panah tanpa jari telunjuk. Talenta Ekalaya hancur, karier Arjuna semakin melesat. Semua gara-gara kelicikan Resi Durna.
*
Bima dan Ekalaya adalah para murid yang ingin membuktikan cintanya. Sehormat-hormatnya. Namun sang guru, Resi Durna, malah berniat mencelakakannya.
Sebagaimana Bima dan Ekalaya, banyak murid bertalenta harus “patah” karena ulah gurunya. Banyak dari mereka yang minder akibat ucapan pesimistik dari gurunya. Ucapan yang merendahkan martabatnya dan menghancurkan kepercayaan dirinya. Kalimat-kalimat teror yang mengguncang psikisnya.
Siswa yang tidak bisa matematika, misalnya, diteror sedemikian rupa karena gagal mengerjakan tugas. Ada pula siswa yang tidak mahir sains disebut tidak punya masa depan (padahal bakatnya di bidang musik). Ada juga yang tidak bisa ilmu nahwu, misalnya, kepercayaan dirinya jatuh karena gurunya bilang, “Madesu” alias Masa Depan Suram. Kutukan-kutukan yang disadari atau tidak bekerja di alam bawah sadar para siswa. Mereka lulus dari sebuah institusi pendidikan sembari membawa beban “kegagalan”, maupun memendam kesumat.
Menjadi murid itu sulit. Apalagi menjadi guru. Karena itu, di dalam Adabul Alim wal Muta’allim, KH. Hasyim Asy’ari memberi beberapa poin petunjuk: tips menjadi santri yang baik, juga tatacara menjadi guru yang baik. Ada 7 poin yang beliau sampaikan.
Di antara hal yang paling penting bagi seorang guru, kata Kiai Hasyim, menata niat sebelum mengajar. Semata-mata hanya untuk mendapatkan ridla Allah. Ini sulit, tentu saja. Tapi harus dilakukan. Perlahan-lahan. Saran lain, guru harus bisa bersabar terhadap murid yang niatnya melenceng. Berat nian, gaes!
Okelah, jadi guru itu berat. Sulit. Tapi cerita Mahabharata di atas mengajarkan, kalau jadi guru harus bisa bersikap adil. Kepada diri sendiri maupun kepada murid. Jangan hanya karena tidak suka, maka murid dicueki. Jangan karena terlalu sayang, murid dimanja. Jangan karena terlalu menganggap diri kita pandai, lantas enggan belajar. Jangan sampai karena merasa telah pintar, akhirnya malah enggan menjawab “saya tidak tahu”. Jika tahu, jawablah. Jika tidak tahu, bilang apa adanya. Toh kalimat ini tidak akan meruntuhkan derajat dan kemuliaan seorang guru.
Menjadi murid juga tidak kalah berat. Sebagaimana Bima dan Ekalaya, mula-mula harus menata hati. Merendah, sebab, sebagaimana watak air, ilmu tidak akan pernah mengalir ke tempat yang lebih tinggi. Bima dan Ekalaya adalah murid yang menundukkan jiwanya di hadapan guru, menata etika terlebih dulu sebelum belajar hal baru, dan senantiasa menata lelaku penghormatan kepada resinya. Karena itu, Bima memperoleh kekuatannya justru ketika hendak dijerumuskan oleh gurunya, dan Ekalanya mengembangkan potensinya justru setelah diremehkan dan diusir oleh gurunya.
Menjadi murid yang baik itu sesulit menjadi guru yang baik. Yang mudah itu menjadi papan tulis.
Wallahu A’lam Bisshawab