-Melalui buku “kiai Sahal & Nyai Nafisah, beriringan saling mendukung dan menguatkan”.
Hari jumat kemarin saya ikut hadir dalam acara launching sekaligus bedah buku : “kiai Sahal & Nyai Nafisah, beriringan saling mendukung dan menguatkan” yang ditulis oleh Bunyai Tutik N. Janah. Acara ini sekaligus menyambut Haul Mbah Sahal yang ke-8.
Saya sangat berbahagia karena Bunyai Tutik mau dan berhasil membuat satu buku memoar tentang sinergi antara Mbah Sahal dan Nyai Nafisah. Kehadiran buku ini adalah selayak mata air yang mampu menjadi sumber bagi inspirasi saya dalam mengikuti tindak lampah beliau berdua. Karena diungkap oleh orang dalam, maka keabsahan cerita juga ketepatan datanya pasti sahih. Juga, banyak hal yang mungkin baru bisa terungkap melalui buku ini.
Saya akhirnya bisa belajar banyak tentang laku keseharian dari dua tokoh idola saya.
Sekali lagi, karena memang keterbatasan saya dalam memahami dan mengaji pada Mbah Sahal, maka praktis baru ada dua hal mendasar yang bisa saya usahakan untuk meniru dari beliau dalam keseharian saya saat ini, yaitu tepat waktu dan terus belajar. Tentang ketepatan beliau akan waktu ini, sudah sangat masyhur sejak sebelum saya mondok. Saya masih ingat betul, disetiap acara yang mengundang beliau, harus dimulai tepat sesuai dengan waktu yang tertera diundangan. Bila tidak, maka beliau yang selalu hadir tepat waktu pasti akan pulang dahulu, bahkan sebelum acara dimulai. Dan pasti tidak akan kembali ke acara tersebut.
Selain tepat waktu, satu hal lain yang sangat menonjol dan menurut saya sangat patut ditiru dari beliau adalah kemampuan akan istiqomah, dan kemauan yang kuat untuk tetap belajar. Keistiqomahan belajar ini tak peduli tempat dan waktu. Seingat saya, dalam interaksi langsung saya yang sangat terbatas dengan beliau, sangat jarang sekali beliau dalam keadaan tidak sedang membaca. Kapanpun.
Tak hanya waktu, belajar beliau juga tak mengenal batas tempat, dimanapun. Tidak dikamar, diruang tv, atau di serambi ndalem. Bahkan dalam perjalanan pun beliau pasti membaca. Tak hanya waktu dan tempat yang tak terbatas, namun yang beliau pelajari juga apapun. Saya sering melihat sendiri beliau membaca kitab kuning. Namun juga tak jarang saya melihat beliau membaca koran, majalah, buku-buku umum atau kitab putih. Sebuah keistiqomahan yang patut kita tiru.
Saya sendiri selalu mengingat kebiasaan Mbah Sahal ini ketika sedang malas membaca, beliau yang sudah menyamudera kelimuannya saja masih terus belajar, bagaimana bisa saya yang belum bisa apa-apa ini justru malas belajar.
Dalam buku ini tak hanya bercerita tentang Mbah Sahal, namun juga tentang Nyai Nafisah yang selalu jadi pendamping yang mensupport segala kebutuhan dan menemani dalam perjalanan. Peran penting Nyai Nafisah sangat kentara dalam cerita tentang ketokohan Mbah Sahal. Karena jalan sunyi seorang pendekar keilmuan seringkali disalah arti oleh banyak orang, dan tidak banyak orang yang akhirnya memahami. Butuh pendamping sejati yang menciptakan lingkungan kondusif untuk belajar, dan menjaga prinsip tetap terjaga. Juga, terutama sabar menekuni proses panjang pembentukan keilmuan dan jatidiri ketokohan.
Hanya orang hebat, yang mampu menjadi pendamping orang hebat.
Bunyai Nafisah sendiri ternyata adalah seorang yang visioner. Terutama dalam bidang pendidikan. Karena membaca buku ini juga akhirnya saya tahu, bahwa kevisioneran Bunyai Nafisah ini adalah hasil dari didikan keluarga. Yaitu ayah-ibu dan kakek-nenek beliau.
Pada akhirnya, dengan membaca biografi tokoh hebat kita bisa meniru laku keseharian yang penuh dengan dasar ilmu. Dari cerita hidup tokoh besar ini pula, kita bisa meniru langkah dasar menuju kesuksesan besar. []
#salamKWAGEAN