Sesaat setelah aqad nikah adik saya selesai, dan para kiai bergantian untuk berdoa, saya meneteskan air mata bahagia disela amin yang terucap bersama. Saya merasakan betul bagaimana bahagianya saya sebagai kakak, dan terharu dengan semua perjuangan yang telah dilakukan oleh adik saya sebelumnya.
Saya banyak belajar dari pernikahan adek saya ini, tentang bagaimana berjuang menggapai impian, bagaimana cara menjaga impian agar tetap mengembang, dan kemudian bagaimana menjaga agar impian yang berupa perasaan cinta ini tetap terjaga menjadi kebaikan.
Salah satu hal yang saya dapatkan dari pernikahan ini adalah satu peristiwa penting sebelum berangkat aqad nikah, bapak memanggil saya untuk ditugasi mendampingi adek saya disana. Menyerahkan beberapa keperluan aqad, dan juga memesan untuk selalu sedia membantu segala keperluan nanti. Sesaat setelah menyampaikan tugas saya, kemudian bapak memanggil adek saya mendekat. Bapak ingin berpesan kepada adek saya secara pribadi. Pesan bapak kepada dek idris sesaat sebelum berangkat menuju lirboyo untuk melaksanakan aqad nikah adalah:”gak usah nyawang ayune, sugihe. Seng disawang golek ridlone Gusti Allah(jangan memandang kecantikan wajahnya, atau kekayaannya. Tapi yang dicari adalah ridlo dari Gusti Allah)”.
Sebuah pesan sederhana, namun sangat mendalam menurut saya. Karena saya sudah sering mendengar pesan yang melangit, dan pesan ini menerjemahkan pesan ‘langit’ itu menjadi pesan yang membumi. Yang mudah diterima oleh sifat kemanusiaan saya yang masih sangat sederhana ini dalam memahami ketuhanan.
Kita sering mendengar dalam forum resepsi pernikahan, atau ngaji kitab yang membahas masalah pernikahan, sebuah maqolah:
من نكح لله وأنكح لله إستحق ولاية الله
(Barang siapa yang menikah dan atau menikahkan karena Allah, maka ia berhak menjadi kekasih Allah).
Sebuah keagungan yang tersimpan dibalik pernikahan manusia, yaitu bisa menjadi wasilah atau jalan untuk menjadi kekasih tuhan. Siapakah hamba yang tidak ingin menjadi kekasih tuhannya? Namun keagungan potensi ini diselimuti oleh sebuah misteri besar. Bagaimana caranya agar ketika kita menikah, atau ketika kita menikahkan, semua itu murni karena Allah?
Akan semakin bingung, bila dawuh diatas disandingkan dengan maqolah:
تنكح المرأة لأربع: لمالها، ولحسبها، ولجملها، ولدينها، فاظفر بذات الدين تربت يداك
(Wanita dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena nasab atau kedudukannya, karena kecantikannya, atau karena agamanya. Maka memilihlah karena agamanya, maka niscaya engkau akan beruntung).
Dawuh yang kedua ini menjelaskan tipologi kita, manusia pada umumnya, dalam memilih pasangan. Kita bisa memilih karena melimpah hartanya, karena tinggi kedudukan atau nasab keluarganya, karena elok rupanya, atau karena baik agamanya. Namun ditutup dengan saran: meskipun banyak sekali kriteria dalam memilih, tapi pilihlah yang baik agamanya. Karena sesiapa yang baik agamanya, maka akan baik selainnya.
Dawuh ini menjelaskan dengan baik bahwa memang secara natural kita menikah karena sebuah alasan yang bersifat ‘manusiawi’. Dan tidak ada dawuh yang menyalahkan ini.
Lalu dimana keterangan menikah karena Allahnya?
Ini sama dengan ketika kita ngomong: “saya tak mengharapkan apapun dari amalan saya ini, saya murni melakukannya semua lillahi ta’ala”. Kata ini mudah diomongkan, namun sulit dinyatakan. Saya pribadi masih lebih mudah melakukan ibadah apapun bila dijanjikan pahala setelahnya. Untuk murni hati, tanpa mengharapkan imbalan, saya belum mampu.
Jadi, apa yang dipesankan oleh bapak saya adalah keterangan tambahan yang saya butuhkan untuk mengurai pemahaman ini. Sebelum mampu untuk tulus mencintai, kita bisa belajar untuk teguh menaati.
Mungkin kita belum sepenuhnya tulus mencintai, dan melakukan semuanya hanya karena Allah. Namun kita bisa mengajari diri untuk akhirnya tulus mencintai, dengan cara belajar menaati apa yang menjadi kehendak Allah yang kita cintai. Ketika yang engkau cintai sudah ridlo(rela, menerima), karena kita mau menaati kehendakNya, maka segalanya tidak ada yang lebih berharga lagi melebihinya. Dan perlahan, kita akan dicintai oleh Allah.
Dan dicintai oleh Allah adalah hakikat dari menjadi wali Allah. Kekasih tuhan.
Jadi, meskipun pada awalnya kita memilih pasangan karena hal-hal yang bersifat duniawi, sebelum menjalankan ikatan suci, kita harus meniatkannya untuk mencari keridloan Allah. Dengan harapan, niat baik ini akan menutupi semua kekurangbaikan yang ada sebelumnya.
Semoga kita selalu mampu menemu titik baik, sebelum menentukan titik balik dalam kehidupan.