Jika kita simak lebih jauh dalam prosesnya, interaksi antara Rasulullah dengan para sahabatnya turut mendorong “terjadinya” penetapan hukum. Ini artinya bukan saja proses penetapan hukum Islam berjalan dengan dialogis, tetapi juga keterlibatan manusia, selaku subjek hukum, juga bisa dibenarkan dalam batas tertentu.
Ada Hadits marfu’ (hadist yang di riwayatkan tabi’in langdung kepada Nabi, tanpa meyebut sahabat diatasnya) yang diriwayatkan dalam Musnad Ahmad yang mengisahkan keterlibatan Sahabat Nabi ini. Riwayat ini cukup panjang, saya hanya kutip sebagian saja yang sesuai dengan konteks pembahasan.
Mu’adz bin Jabal, seorang sahabat Nabi yang terkenal cerdas, mengisahkan paling tidak ada dua contoh keterlibatan para sahabat dalam proses penetapan hukum Islam oleh Nabi.
Pertama: kasus Adzan
Berkata Mu’adz bin Jabal: Seseorang dari Anshar bernama ‘Abdullah bin Zaid mendatangi Rasulullah Saw dan berkata: “Wahai Rasulullah! Saya bermimpi melihat sesuatu yang dilihat orang yang tidur. Andai saya berkata saya tidak tidur tentu saya benar, sesungguhnya saat saya berada dalam kondisi antara tidur dan terjaga, saya melihat seseorang mengenakan dua baju hijau, ia menghadap kiblat kemudian berkata; Allahu akbar, Allahu akbar, asyhadu allaa ilaaha ilaallaah, asyhadu allaa ilaaha ilaallaah, dua kali dua kali hingga usai adzan. Kemudian diam sesaat dan berkata seperti yang diucapkan hanya saja ia menambahkan: “Qad qoomatish sholaatu qad qoomatish sholaatu“.
Kemudian Rasulullah bersabda :
فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم علمها بلالا فليؤذن بها فكان بلال أول من أذن بها
“Ajarkan pada Bilal supaya dipakai adzan. Bilal adalah orang pertama yang mengumandangkan adzan dengan kalimat-kalimat itu. Berkata Mu’adz bin Jabal“.
Kemudian ‘Umar bin Khattab datang dan berkata: “Wahai Rasulullah! Saya bermimpi seperti yang ia mimpikan hanya saja ia mendahuluiku.
Itulah sejarah pensyariatan adzan untuk memanggil orang shalat. Berasal dari mimpi para Sahabat Nabi, yang kemudian dibenarkan dan ditetapkan oleh Nabi Muhammad. Nabi tidak mencela atau menganggap lancang para Sahabat yang bermimpi demikian. Nabi membenarkan mimpi yang baik dan benar ini (ar ru’ya as shadiqah).
Kedua: kasus Makmum masbuk/yang datang terlambat
Dahulu makmum yang terlambat, dia bertanya kepada Imam sudah berapa rakaat. imam memberi isyarat 1 atau 2 rakaat, lalu yag terlambat ini shalat sendirian mengejar rakaat yang tertinggal, setelah itu baru gabung dengan jam’ah bersama-sama menyelesaikan sisa rakaat.
Akhirnya suasana jadi kacau, karena yang terlambat itu seolah balapan mengejar ketertinggalan mereka sebelum ikut gabung dengan jama’ah. Mu’adz bin Jabal datang dan Nabi telah shalat beberapa rakaat, ia langsung ikut shalat bersama beliau. Saat Rasulullah usai shalat, Mu’adz berdiri dan mengganti rakaat yang tertinggal.
Lalu Rasulullah bersabda :
فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم إنه قد سن لكم معاذ فهكذا فاصنعوا
“Mu’adz telah menyontohkan untuk kalian, seperti itulah hendaknya kalian melakukannya.”
Kasus yang sangat menarik bagaimana praktek ibadah Mu’adz yang berbeda dari kebanyakan orang saat itu tidak dianggap bid’ah oleh Nabi. Bahkan Nabi memuji dan menetapkan aturan makmum masbuk seperti yang dilakukan oleh Mu’adz.
Nabi Muhammad tidak anti dengan pendapat para Sahabatnya. Bahkan sesuatu yang baik yang dilakukan oleh para Sahabat bisa diterima dan diakomodir sebagai bagian dari Syari’at Islam.
Jadi, pupus sudah bayangan sosok Rasulullah yang seolah kaku dan anti dengan hal-hal baru (bid’ah yang hasanah). Kenyataannya, Nabi Muhammad bukan saja welas asih, tetapi sangat “akomodatif”.
Imam Abu Hanifah berkata:
“Seandainya Rasulullah berjumpa denganku, ia akan mengambil banyak pendapatku. Bukankah agama itu ra’yu yang baik?”.
Ra’yu: salah satu cara untuk berijtihad dlm menetapkan suatu hukum dari permasalahan-permasalahan kontemporer yang belum didapati dlm Al-Qur’an & Hadis. Dan hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang mampu dan memenuhi syarat sebagai Mujtahid.
Kita bahas dari sudut pandang hukum sebuah amaliah. Hukum Islam sudah ijma’ ada Wajib, Sunnah, Mubah, Makruh, Haram. Sampe sini kita akan membahas amaliah berdasar hukum.
Satu case yang umum dan rame di tengah masyrakat baik medsos atau-pun majelis majelis umum di tengah kehidupan kita bermasyrakat.
Sebuah pertanyaan: Tahlil-an itu Bid’ah atau Sunnah?. Kita tahu bid’ah adalah perkara baru dalam agama ini yang sebelumnya tidak ada tuntunanya (seperti bid’ah akidah para fiqroh sesat akidah dengan pensifatan pada yang MAHA AZALI). Berdasar pertanyaan diatas tentu belum menyentuh aspek hukum, yang terjadi distorsi kalau bukan Sunnah berarti Bid’ah.
Imam Baihaqi dalam karyanya maqib imam Safei menyitir qaul sang Imam:
المحْدثات ضربان: ما أحدث مما يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أوإِجماعا فهذه بدعة الضلال وما أُحدث من الخير لا يخالف شيْئا من ذلك فهذه محدثة غير مذمومة
“Sesuatu yang baru (muhdats) itu ada dua, sesuatu yang baru dikerjakan yang bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah, atsar, atau ijma’, maka ini adalah bid’ah yang sesat. Sementara sesuatu baru yang baik yang tidak bertentangan dengan sedikitpun dari hal itu maka ini adalah bid’ah yang tidak jelek.”
Jika berlandaskan hukum tentu bisa kita urai dengan pikiran yang jernih. Dalam Tahlil-an kita membaca surah Yasin yang merupakan Jantungnya al-Qur’an. Allah memerintakan kita membaca kalimah-NYA yang mana setiap hurufnya mendapat pahala.
Dari Abdullah bin Mas’ud ra bahwa Rasulullah bersabda:
“Siapa yang membaca satu huruf dari kitabullah maka baginya satu kebaikan, dan satu kebaikan dengan sepuluh kali lipatnya. Aku tidak mengatakan Alif Laam Miin itu satu huruf, tetapi Alif itu satu huruf dan Laam itu satu huruf dan Miim itu satu huruf.” (Hr At Tirmidzi).
Sedangkan kapan waktunya kita membaca ayat ayat al-Qur’an tidak ada dalil perintah yang dengan tegas, jadi kita yang me-manage/mengatur waktu dan tempat.
Rasulullah menamsilkan orang Islam yang membaca al-Qur’an dengan buah jeruk yang rasanya enak dan harum. Sementara orang Islam yang tidak membaca al-Qur’an seperti buah kurma yang rasanya manis tetapi tidak wangi. (HR. Ibnu Hibban).
Seperti halnya shalat, baca al-Qur’an juga memiliki waktu-waktu tertentu yang sangat dianjurkan membacanya. Menurut An-Nawawi, waktu yang paling utama ialah ketika shalat. Adapun di luar shalat, waktu utamanya adalah pada paruh kedua di malam hari, setelah shalat subuh, dan antara maghrib dan isya. Berkata imam an-Nawawi dalam al-Adzkar :
“Adapun waktu utama baca al-Qur’an di luar shalat ialah pada malam hari. Paruh kedua malam lebih utama dibanding paruh pertama. Disunahkan juga membacanya ketika selang waktu maghrib dan isya’. Sementara waktu siang, yang dianjurkan ialah ketika usai shalat subuh. Pada prinsipnya, kapan pun baca al-Qur’an diperbolehkan. Tidak ada kemakruhan untuk baca al-Quran kapan saja. Bahkan baca al-Qur’an di waktu yang dimakruhkan shalat sekali pun tetap diperbolehkan.”
Berdasarkan penjelasan ini, dapat dipahami bahwa terdapat waktu utama baca al Qur’an baik pada siang maupun malam hari. Pada waktu siang hari, yang sangat dianjurkan ialah setelah shalat shubuh.
Adapun malam hari, paruh kedua malam lebih diutamakan. Andaikan khawatir tidak terjaga di malam hari, usai shalat magrib menjelang isya juga waktu yang sangat baik digunakan untuk baca al-Qur’an.
Namun perlu diperhatikan, tidak ada waktu larangan dan makruh baca al-Qur’an. Jadi kapan pun waktunya diperbolehkan untuk membacanya boleh surah apa saja. Sehingga berdasar hukumnya bisa kita tarik kesimlulan Tahlil-an Sunnah atau wajib?.
Bukan kita disodorkan pilihan Sunah atau bid’ah tentu hukum dasar nya jadi tidak ada. Padahal dengan terang benderang dalam hadist:
الصيام والقرآن يشفعان للعبد يوم القيامة
“Puasa dan al-Qur’an akan memberikan syafaat pada seorang hamba dihari kiamat kelak”. (HR. Ahmad).
Jika pertanyaanya Tahlil-lan itu Bid’ah atau Sunnah nyata hal itu mengaburkan sisi hukum amaliah hanya berdasar hadist كل secara tekstual tanpa ittiba pada pemahaman Mujtahid.
Maka jauh hari sebelum lahir orang jaman sekarang yang hanya meng olok-olok amaliah tahlil maka tepatlah qaul hujjatul Islam:
لِأَجل الجهال كثر الخلف بيْن الناس
ولو سكت من لايدْريْ لقل الخلاف بين الخلْق
“Karena orang-orang dungulah terjadi banyak kontroversi di antara manusia. Seandainya orang-orang yang bodoh berhenti bicara, niscaya berkuranglah pertentangan di antara sesama.”
(Imam Ghazali dalam “Faishilut Tafriqah bainal Islam wal Zindiqah“).
Sungguh mereka yang hanya para mukallid (pengekor) yang hanya kebagian sisa-sisa ulama berlagak seolah mufti fatwa dengan menganulir amaliah umat muslim bukan golonganya.
ولا تقولوا لما تصف أَلسنتكم الكذب هذا حلال وهذا حرام لتفتروا علي الله الكذب إِن الذين يفترون على الله الْكذب لا يفلحون
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta (ini halal dan ini haram), untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntungan.” (Qs an Nahl 116).
والله اعلم