Sudah mafhum, bahwa perjalanan panjang kaum perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya sekaligus tuntutan menikmati kesetaraan dan keadilan tanpa diskriminasi sudah didengungkan dalam beberapa dekade (menurut beberapa versi), telah melahirkan berbagai macam teori mulai dari teori yang ekstrem sampai kepada teori yang sangat liberal.
Tentu saja, teori-teori tersebut intinya menuntut kesetaraan dan keadilan gender. Namun, dalam mengemukakan argumen teoritisnya tentang gender, para feminisme bersandar pada idealisme mereka dan melihat struktur kemasyarakatan yang terjadi dalam lingkungan sosialnya. Di antara ide-ide itu ada yang sangat positif untuk dijadikan bahan pertimbangan, ada pula yang sifatnya menjurus ke arah negatif bahkan menyalahi ajaran etika religius.
Syahdan. Hal-hal yang sifatnya negatif adalah munculnya perasaan superioritas dari masing-masing penganut teori, sehingga terjadi saling tuding dan menyalahkan di antara mereka. Ini dikarenakan ada di antara mereka yang menyimpang dari tujuan awal dalam menuntut kesetaraan dan keadilan. Mereka terjerumus dalam persaingan untuk mengatasi kaum laki-laki.
Mereka juga tidak mempunyai standar moral yang dapat dijadikan dasar dalam menjelaskan ide-idenya, sehingga ada di antara aliran (feminisme radikal) menganggap institusi keluarga harus ditiadakan karena termasuk dari bagian pelanggengan ketidakadilan.
Teori ini bertentangan dengan teori fungsional struktural yang sangat menekankan pentingnya institusi keluarga. Dengan sendirinya, dapat dikatakan bahwa, mereka sendiri menjerumuskan kaumnya dalam kebebasan seksual tanpa batas dan ikut serta mendorong perempuan untuk melakoni bidang apa saja, tanpa potensi yang bersemayam pada diri perempuan, yang semestinya dikembangkan untuk diaplikasikan dalam melakoni peran sosial yang memang layak.
Feminisme Sosial
Penganut feminisme sosial yang mempunyai pengaruh sangat besar pada awalnya muncul di Rusia dan Jerman. Aliran ini berpendapat bahwa kaum perempuan jika ingin memperoleh kesetaraan dan keadilan gender maka dikotomi sektor domestik dan publik harus dihapuskan.
Wanita harus dilibatkan langsung dalam urusan produksi dan rumah tangga yang ditransformasi menjadi industri sosial. Sistem kerja tanpa upah bagi perempuan dalam lingkungan rumah tangga menjadikan perempuan mempunyai rasa ketergantungan yang tinggi terhadap laki-laki, dan membuat perempuan tidak berdaya sekaligus memberi dukungan pelanggengan kekuasaan kaum laki-laki.
Feminisme sosial dalam perjuangannya tidak mempermasalahkan pelenyapan lembaga rumah tangga sebagaimana feminisme radikal. Namun, yang menarik untuk dicermati adalah, adanya istilah industri keluarga, yaitu segala kegiatan yang dilakukan oleh istri dianggap sebagai bagian yang dari public service yang harus dinilai dengan rupiah.
Jika hal tersebut terjadi, maka mahligai rumah tangga yang dibentuk atas dasar saling pengertian, saling percaya dan tolong menolong runtuh menjadi puing-puing digantikan oleh bangunan sosialis yang over. Bagaimana bisa, sebuah rumah tangga dijadikan sebagai industri yang pada saat itu laki-laki berperan sebagai “pengorder” dan perempuan sebagai pelaksana order tersebut.
Setelah semua pesanan dikerjakan maka akan berkonsekuensi finansial. Feminisme sosial telah mengajarkan juga sistem kapitalis meskipun secara teoritis menentang sistem kapitalis. Lembaga keluarga yang diharapkan menjadi tulang punggung dalam mewariskan nilai-nilai luhur kepada generasi yang datang berikutnya ternyata berubah menjadi rumah industri.
Perempuan atau istri setiap selesai melaksanakan tugasnya, ia dapat meminta upah kepada laki-laki atau suaminya sebagai konsekuensi industri rumah tangga. Tempat untuk menanamkan nila-nilai moral tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya karena telah beralih fungsi menjadi tempat bisnis
Feminisme Liberal
Sementara itu, feminisme liberal yang tampil dengan beberapa ide yang agak moderat mempunyai dasar pikiran bahwa, semua manusia itu sama, meskipun ada saja hal-hal yang membedakan antara laki-laki dan perempuan. Baik laki-laki dan perempuan masing-masing mempunyai kekhususan-kekhususan yang tidak dimiliki oleh salah satu di antaranya, meskipun hak dan kedudukannya tetap sama.
Oleh karena itu, untuk mendapatkan posisi yang setara dengan laki-laki dan perempuan serta mampu bersaing dengan laki-laki yang sudah terlanjur maju beberapa langkah, maka perempuan harus diberi pendidikan semaksimal mungkin melalui institusi pendidikan dan ekonomi.
Teori ini mempunyai kemiripan dengan teori fungsional struktural yang melihat pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan. Semakin tinggi pendidikan perempuan, maka semakin tinggi pula status sosialnya yang berimplikasi pada income perempuan tersebut, dan semakin memacu untuk meningkatkan kinerja kerja. Namun, teori ini sangat melestarikan status quo dan mengabaikan perubahan-perubahan yang sifatnya revolusioner.
Teori feminisme liberal yang memperjuangkan hak-hak pendidikan perempuan agar setara dengan laki-laki bukan hanya sampai di situ saja, tetapi meneruskan usaha untuk memperoleh kebebasan sebagaimana yang dirasakan oleh laki-laki. Mereka menganggap bahwa pekerjaan sektor domestik sebagai pekerjaan yang tidak rasional, emosional dan menjadi tirani bagi perempuan untuk maju dan berkembang.
Dengan demikian, perlu diberlakukan marriage contract (kawin kontrak) dengan melakukan perjanjian perkawinan yang dilakukan oleh kedua belah pihak melalui pengacara sehingga laki-laki tidak lagi menjadi kepala keluarga karena istilah tersebut mempunyai bias kepada ketidaksetaraan.
Sebenarnya, teori ini mengajak perempuan kepada penggampangan sektor domestik dan menyerukan untuk meninggalkan sektor tersebut karena merupakan penjara yang legitimate. Perempuan berhak untuk tidak melahirkan baik melalui alat kontrasepsi maupun dengan jalan aborsi.
Pemikiran tersebut merupakan ungkapan-ungkapan ide yang meletup-letup yang didasari oleh perasaan emosional dalam menuntut kesetaraan dan keadilan. Menganjurkan perempuan untuk tidak melahirkan berarti akan memotong generasi yang berimplikasi pada maju mundurnya suatu bangsa dan kondisi pendidikan.
Padahal, secara de facto masih banyak perempuan yang menginginkan anak dan perempuan masih menjadi figur dominan dalam pemeliharaan. Mengizinkan dan memberlakukan kawin kontrak secara sah, justru akan membawa penderitaan bagi perempuan, karena perceraian akan semakin rawan terjadinya bahkan laki-laki bisa saja melakukan kawin cerai beberapa kali dalam sehari berdasarkan kontrak yang mereka buat bersama.
Sebuah catatan akhir
Seiring dengan banyaknya kritikan terhadap para feminisme akibat ketidakpuasan terhadap arah gerakan feminisme dan bobroknya perkembangan ekologi dunia, muncul gerakan baru yang disebut ekofeminisme. Golongan ini merasa tidak puas setelah perempuan masuk ke dunia maskulin, karena para perempuan tidak menunjukkan kualitas feminimnya tetapi ia tampil sebagai male colone (laki-laki tiruan) yang masuk dalam sebuah sangkar sekaligus memenjarakan dirinya dalam sistem hirarkis maskulin.
Perempuan pada saat itu tampil berebut dengan pria terhadap materi dan status yang sangat terbatas. Akibatnya, muncul kompetisi yang kurang sehat sehingga terabaikanlah aspek-aspek lainnya, seperti seorang ibu harus menyusui anaknya, dan membiarkan keluarganya hancur dalam reruntuhan kesibukan berpacu mengejar peluang yang terbatas itu.
Tampaknya, kaum ekofeminisme rindu untuk kembali melestarikan feminimnya agar dunia ini menjadi lebih berimbang dan segala kerusakan yang terjadi dapat dikurangi. Hal seperti ini, harus disadari oleh para pejuang kesetaraan dan keadilan gender agar ayunan langkah mereka bisa sejalan dan seiring.
Kaum feminis harus kembali melakukan review teori manajemen modern, bahwa semua usaha atau tindakan tidak akan bisa berjalan sebagaimana mestinya jika para pelakunya itu hanya mengerjakan aktivitas sejenis saja.
Tentunya, ada yang harus mengerjakan kegiatan lainnya. Demikian pula decision maker tidak boleh banyak. Karena akan menimbulkan kekacauan jika semua pelaku dalam sistem manajemen itu berperan sebagai decision maker. Prinsipnya, keragaman aktivitas itu dilakukan untuk menuju kepada satu tujuan sehingga tidak ada yang merasa diisolasi atau dilecehkan.
Ketidakadilan gender dalam konteks pendidikan Islam, sama sekali tidak dikenal, justru kesetaraan tampak dengan jelas. Jika menganalisis definisi pendidikan Islam, yaitu berusaha menyeimbangkan potensi-potensi yang dimiliki oleh manusia melalui usaha pengajaran yang didasarkan pada nilai-nilai Islam.
Dari sini sudah diketahui bahwa, yang ingin dikembangkan adalah potensi yang dimiliki oleh siapa saja tanpa memilih merek kelamin biologis. Sehingga langkah awal pendidikan Islam (mulai dari definisi) sudah mencerminkan kesetaraan dan keadilan gender. Siapa saja diberi kesempatan untuk mengembangkan potensinya melalui proses belajar mengajar yang didasarkan pada nilai yang dikembangkan oleh Islam. Wallahu a’lam bisshawaab