Bagaimana Peran Santri untuk Kemerdekaan Republik ini
Mengapa diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945?

Dalam biografinya yang ditulis oleh Cindy Adams, Bung Karno menuturkan apabila dirinya percaya mistik dan hal-hal yang irasional. “Saya seorang yang percaya pada mistik. Saya tidak dapat menerangkan secara pertimbangan akal mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan kepadaku. Hari Jumat ini Jumat Legi. Jumat yang berbahagia. Jumat suci. Dan hari Jumat adalah tanggal 17. Al-Qur’an diturunkan tanggal 17. Orang Islam sembahyang 17 rakaat dalam sehari. Mengapa Nabi Muhammad memerintahkan salat 17 rakaat, mengapa tidak 10 atau 20 saja? Ini karena kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia,” kata sang proklamator kepada Cindy Adams, dalam “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”.

Sejak kapan nasionalisme relijius terpupuk di kalangan ulama tanah air?

Perlawanan sudah berlangsung berabad-abad, namun semakin mengkristal pasca Perang Dunia I. Di antaranya melalui pengorganisiran ide kemerdekaan, keislaman, dan kebangsaan. Di era 1910-an, para ulama Indonesia memilih melekatkan istilah Wathan (tanah air) dalam organisasi maupun madrasah yang didirikan. KH. A. Wahab Chasbullah mendirikan Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air), Far’ul Wathan (Elemen Tanah Air), dan Hidayatul Wathan. KH. Ahmad Dahlan menamakan gerak kepanduan Muhammadiyah dengan nama Hizbul Wathan, KH. Masjkoer (kelak menjadi Panglima Barisan Sabilillah di era revolusi fisik) merintis madrasah Misbahul Wathan (Pelita Tanah Air) di Malang, yang kemudian menjadi cabang dari Nahdlatul Wathan Surabaya yang didirikan oleh Kiai Wahab. Bahkan, perkenalan dengan Kiai Wahab dilakukan melalui mimpi (baca tulisan saya https://www.halaqoh.net/2016/08/kh-wahab-chasbullah-dan-rekrutmen-kader.html?utm_source=twitterfeed&utm_medium=twitter&m=1).

Bersama KH. Abdullah Ubaid dan KH. Thohir Bakri, Kiai Wahab juga mengorganisir para pemuda pada era 1920-an dalam organisasi Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air), yang kelak menjadi GP Ansor.

Di era 1930-an, di berbagai Cabang Madrasah Nahdlatul Wathan (Malang, Jombang, Semarang, dan bebeapa kecamatan di Surabaya), Mars Syubbanul Wathan yang kita kenal sekarang dengan mars Ya-hlal Wathan, dikumandangkan seminggu sekali, diiringi dengan lagu Indonesia Raya secara sembunyi-sembunyi.

Baca Juga:  Sumbangsih Santri untuk Bangsa

Kelak, kaderisasi yang dilakukan oleh Kiai Wahab dipanen pada saat revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan RI, karena para santri yang beliau bina di Nahdlatul Wathan banyak yang menjadi anggota Laskar Hizbullah, Barisan Sabilillah, hingga birokrat pasca pengakuan kedaulatan RI, 1950.

Di kemudian hari Tuan Guru Zainuddin Abdul Madjid, mendirikan organisasi Nahdlatul Wathan pada 1 Maret 1953 yang punya basis kuat di NTB. Termasuk KH. Hasbiyallah (Mertua Kiai Enha), sahabat KH. A. Wahid Hasyim, yang mendirikan Ponpes Al-Wathoniyah di Jakarta yang berkembang dengan varian cabangnya di berbagai daerah.

Bagaimana upaya ulama menopang republik Indonesia?

Setelah kemerdekaan diproklamirkan dan disampaikan secara rahasia— karena Jepang meskipun secara de-jeure menyerah kepada Sekutu, namun secara de-facto masih memiliki kekuatan penuh dalam mengontrol rakyat–, kabinet juga belum efektif, maka Bung Karno membutuhkan legitimasi secara fikih atas kemerdekaan sebuah negara bernama Indonesia. Konon, Bung Karno mengirim kurir kepada Hadratussyekh Hasyim Asy’ari mengenai status membela tanah air. Yang, dijawab dengan mengeluarkan Fatwa Jihad, tepat sebulan setelah proklamasi, tepatnya pada 17 September 1945. Isinya: wajib membela kemerdekaan Indonesia, siapapun yang merintangi dan bekerjasama dengan musuh wajib dibunuh, siapapun yang gugur mempertahankan kemerdekaan berstatus mati syahid.

Fatwa Jihad ini kemudian dikukuhkan melalui Resolusi Jihad, 22 Oktober 1945, yang meledakkan “Aksi Massa” dalam istilah Tan Malaka, hingga menyulut pertempuran 10 November 1945 hingga beberapa bulan berikutnya.

Dari sini jelas, sejak proklamasi, alur berjalan dalam kurun waktu “sebulan” karena keterbatasan komunikasi pada saat itu. Inilah 4 bulan (Agustus-November) yang menentukan nasib Indonesia.

Mengapa harus ke Kiai Hasyim Asy’ari?

Sebab, secara keilmuan nyaris semua ulama di Jawa, Madura, dan Sunda pernah beristifadah kepada beliau. Secara politik, beliau juga memiliki pengaruh yang kuat di kalangan politisi muslim karena posisinya di Majelis Syuro Muslimin Indonesia. Secara jaringan, juga kokoh karena posisinya sebagai Rais Akbar NU dan jejaring para ulama yang mengakar hingga ke desa, melalui jejaring alumni Tebuireng. Termasuk para pendiri NU Cabang Kencong adalah para murid Kiai Hasyim Asy’ari.

Baca Juga:  Santri; The Agent Of Love, Life and Learn
Mengapa ada pekik takbir dalam pidato Bung Tomo yang menggelegar itu?

Bung Tomo mengenal Kiai Hasyim pada saat dirinya menjadi wartawan Domei, kantor berita propaganda Jepang, dan beberapa kali sowan ke Tebuireng. Beberapa bulan setelah Pertempuran 10 November 1945 itu, Bung Tomo menjadi penasehat Jenderal Sudirman bersama KH. A. Wahid Hasyim. Jelas, ya?

Allah menganugerahkan lidah dan suara yang kharismatik kepada 3 orang terbaik: Haji Omar Said Tjokroaminoto, Bung Karno, dan Bung Tomo. Suaranya membius massa, intonasinya mempesona, dan menggerakkan. Bung Tomo, dalam memoarnya, belajar pidato secara tidak langsung kepada Bung Karno di radio maupun pada saat Sukarno berpidato di alun-alun Surabaya, pada suatu waktu. Sedangkan Sang Proklamator berguru teknik orasi kepada mentor utama sekaligus mertuanya, Haji Omar Said Tjokroaminoto.

Apakah hormat bendera dan menyanyikan lagu Indonesia terlarang dan kategorinya syirik?

TIDAK. Keduanya adalah bagian dari rasa syukur kita semua atas anugerah kemerdekaan. Bahkan Sayyid Idrus al-Jufri, pendiri organisasi al-Khairat yang berbasis di Palu, menyusun syair berbahasa Arab yang Indah dalam rangka mensyukuri kemerdekaan ini. Sayyid As’ad Syihab, salah satu wartawan Indonesia, juga menyusun sebuah kitab yang bagus. Judulnya, al-‘Allamah Muhammad Hasyim Asy’ari: Awwalu Waadhi’i Labinaati Istiqlaal Induunisiyya (K.H. Hasyim Asy’ari: Peletak Batu Pertama Kemerdekaan Indonesia), yang meneguhkan pengaruhnya dalam kemerdekaan Indonesia.

Hal ini sudah dicontohkan para ulama kita saat ini, dimana beliau-beliau semakin sepuh usianya semakin sering menyampaikan pentingnya rasa cinta tanah air dalam berbagai ceramahnya, silahkan lihat Mbah Kiai Maimoen Zubair, Habib Lutfi bin Ali bin Yahya, dan sebagainya. Menjadi muslim yang baik, sekaligus menjadi warga negara yang baik. Tidak bisa dipisahkan. Inilah ajaran ulama-ulama kita.

Baca Juga:  Hari Kemerdekaan Menurut KH Maimoen Zubair

Bahkan, ada cerita, Kiai Malik Ilyas, Purwokerto, Mursyid Tarekat Naqsyabandiyah pernah mengajak Habib Lutfi bin Yahya, yang masih muda, dalam sebuah perjalanan. Tiba-tiba, beliau minta kepada Pak Sayuti, sopirnya, untuk menghentikan kendaraan. Setelah itu, beliau menggelar tikar, sembari menunggu pukul 10.00 WIB. Habib Lutfi penasaran atas apa yang dilakukan oleh gurunya itu. Ternyata, tepat pukul 10.00 WIB, Kiai Malik mengajak Pak Sayuti dan Habib Lutfi berdoa untuk para syuhada dan khususiyah kepada arwah para pahlawan: dari Pangeran Diponegoro, Sentot Alibasya Prawirodirjo, Kiai Mojo, Bung Karno, Bung Hatta dan para ulama-pahlawan lain difatehahi satu persatu. Ternyata, saat itu tepat pada tanggal 17 Agustus. Pukul 10.00 diambil oleh Kiai Malik sebagai awal mula prosesi doa karena puluhan tahun silam Bung Karno-Bung Hatta, atas nama rakyat Indonesia, memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Inilah peringatan Agustusan ala ulama Indonesia. Sederhana namun penuh makna. Keren sekali…..

*

Beberapa poin yang saya sampaikan dalam Peringatan Kemerdekaan RI ke-75 di Ponpes Assunniyah Kencong Jember, pagi tadi. Saya susun pakai pola Q&A, agar lebih ringkas. Wallahu A’lam Bishshawab. [HW]

Rijal Mumazziq Zionis
Pecinta Buku, Rektor INAIFAS Kencong Jember, Ketua LTN NU Kota Surabaya

    Rekomendasi

    2 Comments

    1. […] dalam perang Diponegoro. Perang Diponegoro merupakan bentuk riil dari kepedulian para Ulama dan santri dalam kedaulatan dan kemerdekaan bangsa ini. Perang tersebut bukan se sederhana tentang tradisi […]

    2. […] dihilangkan dari catatan sejarah. Padahal setiap perjuangan dalam membela tanah air, Ulama dan Santri tidak pernah absen. Maka dari itu Alquran menekankan kepada kita, wal tandhur nafsun ma qaddamat li […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Pengajian