Opini

Bagaimana Menyikapi Perbedaan Pendapat Para Sahabat Nabi?

Ketika para sahabat bahu membahu membangun Masjid Nabawi,  Rasulullah melihat Ammar bin Yasir membawa batu bata lebih banyak dari para sahabat lainnya. Rasul bertanya mengapa begitu bersemangat. ‘Ammar menjawab dirinya menginginkan pahala.

Sejurus kemudian Rasulullah melangkah mendekati Ammar lalu membersihkan debu yg mengotori bahu Ammar bin Yasir, Rasulullah pun berkata :
“Bergembiralah, kau akan dibunuh oleh kelompok pembangkang,”.

Saat Perang Shiffin pecah, Ammar bin Yasir berada disisi Ali bin Abi Thalib sampai akhirnya “Nubuwah” Nabi terbukti ??.

Kita awali, Muawiyah ra masuk Islam ketika peristiwa Fathul Makkah artinya periode ahir sebelum Rasulullah wafat (sekitar 2 tahun sebelum wafat baginda), namun begitu setelah “daumatul jama’ah” (perdamaian antara sayyidina Hasan ra & Muawiyah ra) keadaan relatif aman dan Islam di bawah khalifah Muawiyah semakin meluaskan wilayah hingga ke Turki, Maroko, Tunisia, dan Khurasan (Iran utara).

Keberhasilan Muawiyah cukup besar jasanya terhadap Islam. Imam Bukhari pun meriwayatkan beberapa hadist sahihnya dari sanad yang sampai ke Muawiyah.

Mu’awiyah ternyata panjang umur dan berkuasa selama 20 tahun. Kemudian ia menunjuk anaknya sendiri, Yazid, sebagai Khalifah. Mundurnya Sayyidina Hasan merupakan berakhirnya periode khilafah, persis seperti yang diindikasikan dalam Hadits Nabi bahwa Khilafah itu hanya berlangsung selama 30 tahun, dan setelah itu yang berkuasa adalah para raja. Nabi bersabda,

الخلافة فى امتى ثلاثون سنة ثم مُلكا بعد ذلك

“Khilafah di tengah umatku selama 30 tahun. Kemudian setelah itu diganti (raja²) kerajaan.”
(Hr Ahmad, Abu Daud, Turmudzi).

Rentang 30 tahun tersebut terhitung sejak masa Abu Bakar ra hingga peristiwa penyerahan kekhalifahan di masa Hasan bin Ali ra kepada Mu’awwiyah ra.

Ibn Katsir dalam Bidayah wan Nihayah mengonfirmasi hal ini. Dengan demikian, masa selanjutnya itu sebutannya saja khilafah tapi sistemnya sudah menyerupai kerajaan. Ini fakta yg seringkali disembunyikan oleh mereka yg kini bekoar-koar hendak “mendirikan” kembali Khilafah.

Ayahnya Muawiyah adalah Abu Sufyan bin Harb, seorang pembenci Nabi Muhammad saw dan akhirnya masuk islam dengan terpaksa diikuti juga dengan istri nya Hindun binti Utbah . Sedangkan ibunya Hindun binti Utbah, seorang pemakan jantung Hamzah bin Abdul Mutholib (Paman nabi Muhammad) karena saking benci nya dengan Islam dan Nabi saw.

Setelah Utsman terbunuh, para sahabat sepakat untuk menghukum qishash pelaku pembunuhan Utsman. Namun, mereka terbagi tiga kelompok tentang hal ini:

Pertama, mereka harus diqishash secepatnya sebelum baiat kepada Ali. Inilah pendapat Muawiyah dan pendukungnya. Muawiyah berpendapat jika qishash ditunda, pembunuhnya akan berbaur di kehidupan sehari-hari kaum Muslimin dan mereka akan sulit dilacak. Lagipula, Muawiyah adalah wali Utsman dan di antara saudara² Utsman yg lain, Muawiyah lah yg kekuatannya paling besar.

Kedua, mereka harus diqishash tetapi setelah Ali bisa mengendalikan keadaan sehingga tenteram kembali. Jika qishash dilaksanakan sekarang juga, maka akan berakibat keadaan makin kacau. Para perusuh akan melipatgandakan tekanannya kepada kekhalifahan. Ini adalah pendapat Ali dan pendukungnya. Mayoritas sahabat Nabi menjadi pendukung Ali.

Ketiga, uzlah (mengasingkan diri). Ada sahabat² Nabi yang tidak mau terlibat dalam permasalahan ini dan mereka pun pindah dari pusat konflik. Mereka tidak mau berperang dengan saudara sesama mukmin. Mereka adalah Abdullah bin Umar, Saad bin Abi Waqqash, Abu Hurairah, Urwah bin Zubbair dan lainnya.

Inti dari permasalahan Ali – Muawiyah adalah perbedaan cara qishash ini. Muawiyah sendiri tidak mengklaim bahwa dirinya khalifah umat Islam dan tidak berniat merebut kekhalifahan. Hanya saja ia dan penduduk Syam tidak mau baiat (sumpah setia) kepada Ali karena permasalahan terbunuhnya Utsman tersebut.

Baca Juga:  Strategi Dakwah Rasulullah Membentuk Masyarakat Baru

Ketika kita melihat kondisi zaman Ali lewat “kacamata” abad modern, kita bisa dengan mudah menilai, tetapi bagi orang yang hidup di zaman itu, situasi pada saat tersebut sangat pelik. Menurut mayoritas ulama, dalam persoalan rumit itu yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat Ali karena bagaimanapun juga perdamaian negara lebih diutamakan.

Muawiyah pernah ditanya, “Apakah kau penentang Ali?”
Muawiyah menjawab, “Tidak demi Allah. Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui bahwa dia lebih utama dariku dan lebih berhak memegang khilafah dariku. Akan tetapi, sebagaimana yang kalian ketahui bahwa Utsman dibunuh dalam keadaan teraniaya dan aku, sepupu Utsman, akan menuntut darahnya. Datanglah kepada Ali dan katakan, ‘serahkan para pembunuh Utsman kepadaku dan aku akan tunduk kepadanya”.

Orang-orang segera menemui Ali dan mengatakan perkataan Muawiyah, tetapi Ali tidak mengabulkannya.

“Karena situasi makin memanas, akhirnya terjadilah Perang Shiffin antara kubu Ali dan Muawiyah. Terbunuhnya Ammar bin Yasir menjadi kunci selesainya perang ini karena Nabi Muhammad pernah mengabarkan bahwa yg membunuh Ammar adalah kelompok pembangkang”. Yang membunuh Ammar bin Yasir ternyata adalah Abu al-Ghadiyah al Juhani dari pihak Muawiyah -ia bukanlah sahabat Nabi.

Terbunuhnya Ammar membuat kedua kelompok terguncang dan sepakat untuk berdamai. Mereka juga mengkhawatirkan perbatasan yang sedang lemah dan kapan saja bisa diserang oleh Persia dan Byzantium. Perjanjian damai ini dibuat berdasarkan Al Quran dan Sunnah dengan kedua hakimnya adalah Amr bin Ash dan Abu Musa al Asy’ari. Menurut buku Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin Karangan Joesoef Sou’yb pasukan Ali bin Abi Thalib berjumlah 95 ribu Prajurit dan yg terbunuh 35ribu, sedangkan dari Pasukan Syam berjumlah 85 ribu dan yg terbunuh berjumlah 45 ribu Prajurit.

Saat kabar tentang Ali oleh yang terbunuh (oleh ibnu Muljam) sampai kepada Muawiyah, ia menangis. Istrinya berkata: “Kamu menangisi orang yang memerangimu?”.

Muawiyah menjawab : “Diam saja lah kamu. Kamu tidak mengetahui berapa banyak manusia kehilangan keutamaan, fikih, dan ilmu karena kematian dia”.

Keponakan Muawiyah yaitu Utbah berkata juga  “Jangan sampai orang-orang Syam mendengar hal itu darimu”.

Muawiyah menghardik, “Kamu juga diam saja lah!”.

Menurut mayoritas ulama, sikap Kaum Muslimin dalam menyikapi konflik Ali ra – Muawiyah ra adalah meyakini bahwa mereka semua sedang berijtihad merespon situasi yang sangat pelik pada masa itu. Di antara mereka ada yang benar dan mendapat dua pahala, tetapi di antara mereka ada yang salah dan mendapat satu pahala. “Kita tidak boleh membicarakan sahabat Nabi dengan perasaan benci”.

Terlepas dari berbagai keberhasilan kepemimpinan Muawiyah serta kontroversi Muawiyah yang “kerap” di tegur Ibnu Umar dan Ibnu Zubbair, keadaan relatif tenang setelah daumatul Jama’ah.

Setelah Muawiyah meninggal digantikan anaknya Yazid I khalifah yang berkuasa pada tahun 680 sampai 683 (di era kepemimpinanya terjadi peristiwa karbala). Dia menggantikan ayahnya dan kemudian diteruskan putranya Muawiyyah bin Yazid (Muawiyyah 2). Wafatnya Khalifah Muawiyah 2 (anak dari Yazid) yang hanya berkuasa kurang dari “dua bulan” membuat masa depan Dinasti Abu Sufyan menjadi suram. Maka, tampillah Marwan bin Hakam dan keturunannya, sehingga gabungan antara dinasti anak cucu Abu Sufyan dan anak cucu Hakam disebut “Dinasti Umayyah”, yang diambil dari nama klan mereka. Marwan bin Hakam adalah sosok kontroversial. Ayahnya, Hakam bin Abi Ash, terhitung sebagai sahabat Nabi yg masuk Islam setelah Fathu Makkah.

Baca Juga:  Kejailan Santri dan Sanadnya Hingga Sahabat Nabi

“Ada riwayat dari Siti Aisyah bahwa Nabi Muhammad telah melaknat Hakam bin Abi Ash dan keturunannya”.
Nabi juga mengusir Hakam keluar Madinah karena tingkah lakunya yang menyakitkan Nabi, meski telah masuk Islam.

Namun, pada masa Khalifah Utsman, Hakam yang merupakan paman sang khalifah, namanya direhabilitasi dan kembali ke Madinah. Bahkan Khalifah Utsman mengangkat Marwan bin Hakam, sepupunya, sebagai sekretaris.

Imam Suyuthi mencatat bahwa Marwan diriwayatkan senang mencaci maki Sayyidina Hasan dan keluarga Nabi lainnya. Saat Muawiyah I berkuasa, Marwan mendapat posisi penting, dan begitu seterusnya sampai Abdullah bin Zubair mengklaim sebagai Khalifah. Marwan memandang suram masa depan Dinasti Abu Sufyan karena Khalifah Muawiyah II, pengganti Yazid, seorang yang masih muda, lemah, dan sakit-sakitan.

Imam Thabari mencatat bagaimana Marwan bersiap diri untuk pindah jalur politik dengan membai’at Abdullah bin Zubair sebagai khalifah di Mekkah. Namun, itu urung dilakukan karena sejumlah kabilah dari klan Umayyah mendatangi Marwan dan memintanya naik sebagai khalifah menggantikan Muawiyah II dan melawan Abdullah bin Zubair. Marwan pun bersedia menerima bai’at sebagai khalifah penerus Muawiyah II.

Sekali lagi kita saksikan panggung sejarah khilafah yang penuh dengan intrik politik. Urusan kekuasaan hanya diputuskan lewat kesepakatan pihak tertentu saja. Umat sama sekali tidka dilibatkan dalam proses pemilihan khalifah. Siapa yang menerima bai’at, apa kualifikasinya, dan bagaimana prosedurnya sangat tidak jelas. Semua tergantung kekuasaan militer dan pengaruh keluarga yang mereka miliki yg dapat memaksa umat di wilayah tertentu mendukung hasil bai’at tersebut.

Akibat tidak ada aturan nash yang jelas soal ini, maka para ulama berdebat, seperti direkam dengan baik oleh imam Mawardi dan Wahbah al Zuhayli, dalam kitab mereka masing² : “Berapa orang yg dibutuhkan untuk membai’at seorang khalifah? Ada yang bilang lima, dengan mengacu pada Khalifah Abu Bakar yang dipilih oleh 5 orang dalam peristiwa Saqifah.

Ada yang bilang cukup tiga orang saja yang membai’at, karena dianalogikan dengan aqad nikah di mana ada 1 wali dan 2 saksi. Bahkan satu saja cukup, kata ulama yang lain, karena Sayyidina Ali awalnya dibai’at oleh Abbas saja.

Kalau aturan ini sekarang hendak diberlakukan untuk dunia Islam yang dihuni lebih dari satu miliar Muslim tentu menjadi problematis.

Mereka yang menyangka politik Islam zaman khilafah itu suci seperti al Qur’an dan Hadits akan terkejut membaca literatur sejarah yang ditulis apa adanya oleh para ulama klasik. Politisasi ayat dan hadits juga terjadi sejak awal. Saya sudah menyebutkan soal riwayat Aisyah di atas. Lengkapnya seperti ini:

Dari Abdullah. Ia berkata: “Aku sedang berada di masjid ketika Marwan berkhutbah. Ia berkata :
“Sesungguhnya Allah telah memberi kepada Amirul Mukminin, Muawiyah, pandangan yang baik tentang Yazid. Ia ingin mengangkatnya sebagai khalifah sebagaimana Abu Bakar dan Umar pernah melakukannya.

Berkata Abdurrahman bin Abu Bakar :
“Sungguh, Abu Bakar, demi Allah, tidak menyerahkannya kepada anaknya atau salah seorang di antara keluarganya. Sedangkan Muawiyah melakukannya karena sayang dan ingin memberikan anugrah kepada anaknya.”

Marwan yang tidak suka dengan reaksi tersebut berkata kepada Abdurrahman: “Bukankah kamu yang dimaksud al Quran sebagai “orang yang berkata kepada orangtuanya “‘cis bagi kalian” dari Qs Al-Ahqaf: 17”.

Abdurrahman membalas berkata: “Bukankah kamu anak orang terkutuk. Rasulullah saw melaknat bapakmu.”

Siti Aisyah yang mendengar perdebatan Marwan dan Abdurrahman bin Abu Bakar (saudara lelakinya Aisyah) berkata :
“Hai Marwan. Demi Allah, ayat itu tidak turun kepada Abdurrahman. Tapi ayat yang ini justru turun untuk ayahmu: “Janganlah kamu menaati setiap tukang sumpah (palsu) yang hina, yang banyak mencela, yang ke sana kemari menyebar fitnah, yang melarang perbuatan baik, melampaui batas dan banyak berbuat dosa.” (Al Qalam 10-12).
Siti Aisyah melanjutkan, “Rasulullah pernah melaknat ayah Marwan ketika Marwan berada dalam sulbinya. Engkau adalah pecahan laknat Allah”.

Baca Juga:  Mengapa Nabi Muhammad yang Dipilih?

Sejumlah kitab tafsir menceritakan kisah di atas dengan berbagai redaksi, seperti Tafsir al Qurthubi, Tafsir al-Razi, Tafsir Ibn Katsir. Semua kitab tafsir yg sebagai rujukan ini adalah dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Masalah akan tambah rumit kalau kita merujuk tafsir kelompok Syi’ah yang haluan politiknya jelas berbeda dengan kelompok Sunni.

Yang “mencengangkan” bagi kita bagaimana kaum “salaf” terdahulu seperti Marwan, Abdurrahman, dan Siti Aisyah menggunakan ayat dan hadits untuk saling membela posisi mereka dan kemudian mencela lawan politiknya. Bahkan sejumlah riwayat yang mencela keluarga Marwan ini berasal dari Abdullah bin Zubair, yang nota bene merupakan lawan politik Marwan, yg jelas kita harus kritis membaca riwayat² seputar peristiwa politik ini yg mencari justifikasi ke belakang pada masa Nabi.

Satu contoh lagi yaitu penafsiran tentang “pohon yg terkutuk” pada surat al Isra ayat 60. Sebagian mufassir mengatakan ini pohon zaqqum di neraka. Namun ada yg menyebutkan bahwa yg dimaksud pohon zaqqum ini adalah Dinasti Umayyah.

Sekali lagi, pada kasus ini, kita membatasi diri hanya mengutip kitab tafsir dari para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Tafsir Ruhul Ma’ani dari Imam al Alusi mencantumkan riwayat Ibnu Murdawaih bahwa suatu saat Aisyah berkata kepada Marwan bin Hakam: “Aku mendengar Rasulullah bersabda pada ayah dan kakekmu: “Kalian adalah pohon yang terkutuk dalam al Qur’an.”

Ya, itulah masalahnya memang. Seringkali politisasi ayat dan hadis untuk melegitimasi kekuasaan atau sebaliknya, mendelegitimasi, lawan² politik seringkali tidak nyambung satu sama lain. Namun imajinasi kekuasaan membuat seolah menjadi tersambung antara peristiwa perebutan politik dengan berbagai riwayat yang ada.

Kalaupun Marwan bin Hakam sosok yang memang dianggap cacat moral sejak lahir karena bapaknya dilaknat dan diusir Nabi, atau sosok yang dianggap melanggar syariat Islam, toh Imam Bukhari meriwayatkan sekitar 20 hadis dari Marwan. Kita tahu bagaimana ketatnya persyaratan Imam Bukhari dalam menerima perawi. Ini saja menambah daftar kebingungan kita: bagaimana seorang yang dianggap tsiqah dan adil dalam meriwayatkan hadis, namun sosoknya tampil sebagai politisi “kotor” dalam panggung sejarah kekuasaan?.

Khalifah Marwan bin Hakam hanya berkuasa kurang dari satu tahun. Dia berhasil merebut wilayah Syam dan Mesir dari tangan pendukung Abdullah bin Zubair. Saat Marwan wafat, Abdullah bin Zubair / Ibnu Zubbair masih berkuasa di Mekkah. Marwan kemudian digantikan oleh putranya, Abdul Malik.

Abdul Malik kemudian berkonfrontasi dengan Ibnu Zubbair bin Awam untuk mengusai Makkah. Dalam peristiwa tersebut Ibnu Zubbair terbunuh dan kemudian jasadnya di “salib” di depan puntu gerbang Madinah oleh al Hajaj (panglima dari Abdul Malik bin Marwan).

Peristiwa tersebut disaksikan Ibnu Umar dan Asma binti Abu Bakar (Ibunda dari Ibnu Zubbair).

Abdul Malik bin Marwan adalah khalifah yg berkuasa pada tahun 685 sampai 705. Dia merupakan salah seorang khalifah Umayyah yang paling lama berkuasa.
والله اعلم

Musa Muhammad
Santri Pondok Pesantern as Syidiqiyah Bumirejo Kebumen.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini