Andi dan Budi mengalami disabilitas intelektual dengan kategori disabilitas intelektual yang berbeda. Andi mengalami disabilitas intelektual kategori sedang yang IQ nya berkisar antara 30-50. Sedangkan Budi mengalami disabilitas intelektual kategori ringan yang IQ nya berada pada kisaran lebih dari 70, dan usia mentalnya berkisar paling tinggi 7-10 tahun. Meskipun kedua kakak-beradik ini memiliki problem disabilitas intelektual yang sama namun tingkatan atau kategori disabilitas keduanya tidak berada dalam kategori yang sama. Kategori disabilitas Budi tidak lebih berat dari kategori disabilitas Andi, sehingga dalam hal ini Budi lebih mampu memahami dan mengerti dibandingkan Andi. Jika keadaannya demikian, apakah Andi dan Budi dalam perspektif fikih termasuk orang yang dapat dibebani kewajiban melaksanakan ibadah, seperti melaksanakan kewajiban puasa Ramadan? Apabila keduanya tidak layak dibebani kewajiban melaksanakan ibadah puasa bagaimana hukum puasa mereka? dan apakah perbedaan kategori disabilitas intelektual keduanya menimbulkan konsekuensi hukum yang berbeda?
Jawaban
Budi mengalami kondisi disabilitas intelektual kategori ringan yang natural dengan tingkat IQ pada kisaran 70 dan usia mentalnya berkisar 7-10 tahun yang setara dengan usia anak kecil yang sudah mumayiz, dalam konteks ini ia tercakup ke dalam golongan orang yang terhalang kecakapan tindaknya karena kelemahan akalnya sehingga dalam hal ini termasuk orang yang tidak layak dibebani kewajiban melaksanakan ibadah. Analogi kategori merujuk kepada pendapat Dr. Maha Salim al-Suwaida dalam al-ahkam asy-syar’iyyah al-khassh bi dzawi al-‘i’aqah al-aqliyyah al-basithah :
والإعاقة العقلية تتنوَّع إلى ثلاث درجات، وفقًا لدرجة الإعاقة ودرجة الذكاء والقدرة على التعليم والتدريب، فمنها الإعاقة العقلية الشديدة أو المتوسطة التي يُطلَق عليها عند الفقهاء (العته الشديد)، والإعاقة العقلية البسيطة التي يُطلَق عليها عند الفقهاء (العته الخفيف)، وحيث إنه لا يوجد مصطلح الإعاقة العقلية في كتب الفقه الإسلامي، فمن حيث التأصيل الفقهي للإعاقة العقلية البسيطة، فإنه يُقابلها في الفقه الإسلامي مصطلح العته من حيث الأهلية والأحكام الفقهية، والذي ترجَّح لديَّ في التأصيل الفقهي للمعوق عقليًّا إعاقة عقلية بسيطة، والذي لديه قدرة على التمييز والتدريب، وهو المعتوه عَتَهًا خفيفًا - أن حُكمَه حُكمُ الصبي المميز في الأحكام الفقهية والتصرُّفات، وتتراوح نسبة ذكاء أفرادها بين (50- 70) درجة، كما يتراوح العمر العقلي لهم في حده الأقصى بين (7 - 10) سنوات .
“Disabilitas intelektual dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan tingkat disabilitas, tingkat kecerdasan IQ beserta kemampuannya untuk menerima Pendidikan dan latihan. Kategori yang pertama adalah kategori disabilitas intelektual berat atau sedang yang oleh para fukaha dikatakan sebagai (orang yang sangat kurang akal), dan kategori yang kedua yang disebut sebagai (orang yang kurang akal ringan). Di dalam berbagai literatur fikih islam tidak ditemukan istilah disabilitas intelektual. Meskipun demikian dari sisi penggalian dasar fikih dapat ditemukan padanan istilah tersebut dengan istilah al-atah (kurang akal) dari segi kelayakan dan hokum-hukum fikih. Dengan demikian menurut kami dalam konteks ini, melalui penggalian dasar-dasar hukum mengenai disabilitas intelektual ringan yang memiliki kemampuan memilah dan memilih serta berlatih dapat disamakan dengan orang kurang akal yang berada pada taraf kurang akal ringan dihukumi sama dengan anak kecil mumayiz dalam hukum-hukum fikih dan tindakan transaksional. Mereka ini memiliki tingkat IQ yang berkisar antara (50-70), dan juga berusia mental paling tinggi (7-10) tahun.”
Namun jika ia mengerjakan ibadah semisal puasa, maka puasanya dihukumi sah meskipun puasa itu tidak wajib atasnya. Selain itu, jika ia membatalkan puasanya juga tidak wajib menqadanya. Sedangkan mengenai kakak Budi, Andi yang meskipun usia fisiknya telah mencapai dua puluh satu tahun namun keadaannya justru lebih terpuruk dibanding Budi. Tingkat IQ Andi berkisar antara 30-50 dan ia mengalami kondisi disabilitas intelektual kategori sedang yang natural, maka secara implisit dapat ditarik pemahaman bahwa karena Andi memiliki tingkat IQ dibawah Budi tentu usia mentalnya dibawah Budi. Kemungkinan besar Andi lebih dekat dengan keadaan gila dibandingkan keadaan kurang akal. Jika diputuskan demikian maka Andi tidak layak dibebani kewajiban melaksanakan ibadah termasuk puasa, sehingga puasanya dihukumi tidak sah, tidak wajib dan tentu tidak ada kewajiban qada baginya. Hal ini merujuk kepada pendapat Dr. Maha Salim al-Suwaida dalam al-ahkam asy-syar’iyyah al-khassh bi dzawi al-‘i’aqah al-aqliyyah al-basithah :
وأما الصوم فإنه لا يجب عليه، وإذا صام يصحُّ صومُه قياسًا على حكم الصبي المميز، وإذا أفطر لا قضاء عليه، وينبغي على وليِّه أن يأمرَه به إذا كان مُطيقًا له؛ ليتمرَّن عليه ويعتاده.
“Mengenai hukum puasa bagi orang yang kurang akal adalah tidak wajib mengerjakannya, akan tetapi jika ia mengerjakannya maka sah puasanya dianalogikan dengan hukum anak kecil yang mumayiz, dan jika ia membatalkan puasanya, maka tidak wajib menqada atasnya. Seyogyanya walinya menyuruhnya untuk mengerjakan puasa jika ia mampu melaksanakannya; hal itu sebagai bentuk latihan dan pembiasaan baginya”.
Budi yang mengalami kondisi disabilitas intelektual kategori ringan yang natural jika ia mengerjakan puasa maka puasanya sah karena sebagian ulama menentukan syarat sah puasa adalah tamyiz sehingga anak kecil yang mumayiz dan orang yang dianalogikan padanya juga sah puasanya. Selain itu, juga ada syarat wajib puasa yaitu taklif, yang berarti berakal dan balig. Oleh karena kewajiban puasa disyaratkan harus balig maka anak kecil yang mumayiz dan orang yang dianalogikan kepadanya tidak termasuk orang yang ditentukan wajib puasa. Adapun Andi yang mengalami kondisi disabilitas intelektual kategori sedang sebagaimana penjelasan sebelumnya, ia lebih dekat kepada keadaan gila sehingga dalam ketentuan syarat sah puasa yang mensyaratkan tamyiz menggugurkan keabsahan puasa yang dikerjakannya. Begitu juga dengan ketentuan wajib puasa yang mensyaratkan taklif, yaitu balig dan berakal tidak ditemukan pada Andi, karena Andi yang mengalami disabilitas intelektual kategori sedang tidak memiliki sifat tamyiz dan tidak juga memiliki sifat berakal, oleh karena itu Andi tidak masuk kategori orang yang diwajibkan mengerjakan ibadah puasa. Hal ini merujuk kepada perbedaan antara konsekuensi orang gila dan mumayiz menurut Abu Zahra dalam ushul al-fiqh :
الجنون والعته : وكلا هذين العارضين يذهب بسلامة الإدراك وتقدير الأمورتقديرا صحيحا، والعته قد يكون معه تمييز، فيكون المعتوه مميزا، وقد يكون غيرمميز، أما المجنون فإنه لا يكون مميزا.وبعض العلماء يعتبر العته حالا من أحوال الجنون، فإن المجنون قد يستفيق في بعض الأوقات إذا كان جنونه مطبقا، ويستمر يأخذ حكم الجنون حتى في حال استفاقته الوقتية، إلى أن يثبت شقاؤه تماما، ويكون في حال استفاقته معتوها.والجنون المطبق هو الجنون الذي يستمر شهرا. ولكن الأول وافق عليه أكثر العلماء، وهو أن الجنون نوع غير العته، والفرق بينهما أن الجنون مرض يستر العقل، ويحول بينه وبين الإدراك الصحيح، ويصحبه هيجان واضطراب، والعته مرض يستر العقل، ويمنعه من الإدراك الصحيح ويصحبه هدوء، وقد يكون معه تميبز، وربما لا يكون معه تمييز، فالأول كالصبي المميزوالثاني كالصبي غيرالمميز، والمجنون دائما كالصبي غير المميز.........وأن المجنون تسقط عنه التكليفات البدنية كلها فلا يخاطب بالصلاة، ولابالحج،ولابالصوم، ولابالكفارات،ولكن تثبت في ماله المغارم المالية، فيضمن من ماله ما يتلفه، وتجب الزكاة في ماله عند جمهور الفقهاء،ولاتجب عند الحنفية كالصبي غير المميز،ولايسأل عن الجنايات التى يرتكبها إلا في ماله،ولاتقام عليه الحدود وإذا ارتكب ما يوجبها. ومثل ذلك المعتوه فاقد التمييز،لأنه فاقد الأهلية تماما، فباتفاق الفقهاء تسقط عنه التكليفات البدنية، وتثبت في ماله المغارم المالية على النحو الذي بيناه. ومثله المعتوه المميز،بيد أنه يفترق عنه في أمرين............. ثانيهما أن المعتوه فاقد التمييزوالمجنون لا يخاطبان بالعبادات البدنية كما قررنا، أما المعتوه المميز فقد قال بعض العلماء إنه خاطب بالعبادات البدنية ، إذ قال هذا الفريق من الفقهاء إنه لا تسقط عنه هذه العبادات احتياطا، ولكن خطأه الأكثرون من الفقهاء وقرروا أن العته مرض كالجنون أوهو منه، فيمنع قيام التكليف الشرعي، فهو كصبي ظهر فيه قليل عقل، ولما أثرنقصان العقل في سقوط الخطاب في الصبي أثر كذلك في المعتوه الذي يشبهه، وإن صحة التكليف مبني على القدرة وآله القدرة هو العقل.
“Gila dan kurang akal: Keduanya merupakan penghalang yang menghilangkan daya kemampuan memahami dan menentukan sesuatu secara benar. Orang yang kurang akal terkadang masih disertai kemampuan memahami, sehingga orang yang kurang akal pada suatu waktu dianggap mumayiz dan pada waktu yang lain tidak. Sedangkan orang gila tidak dianggap mumayiz. Sebagian ulama menganggap kurang akal adalah bagian dari keadaan gila. Pada suatu waktu orang gila terkadang sadar walaupun ketika itu keadaan gilanya terjadi terus-menerus, sehingga pada keadaan sadar sementaranya sampai kegilaannya kembali sepenuhnya ia tetap dianggap gila, dan keadaan antara ini disebut keadaan kurang akal. Sedangkan gila terus menerus itu berlanjut selama sebulan. Dalam konteks ini, pandangan yang pertama adalah pandangan yang disetujui kebanyakan ulama, yaitu pandangan yang menyatakan bahwa gila berbeda dengan kurang akal. Perbedaan keduanya adalah gila merupakan penyakit yang menutupi akal dan menghalangi pelakunya memperoleh pemahaman yang benar dan disertai gejolak dan kekacauan sedangkan kurang akal merupakan penyakit yang menutupi akal dan mencegah pelakunya dari pemahaman yang benar disertai ketenangan. Orang yang kurang akal ini terkadang dapat memahami sesuatu dan terkadang tidak. Bagi yang dapat memahami sesuatu dianggap seperti anak kecil yang mumayiz sedangkan bagi yang tidak paham dianggap anak kecil yang tidak mumayiz, dan orang gila yang berkelanjutan dianggap tidak mumayiz sama sekali. Seluruh kewajiban badan orang gila itu digugurkan sehingga tidak ada perintah untuk melaksanakan salat, haji, puasa atau kaffarah. Akan tetapi hartanya dapat dibebani kewajiban ganti rugi kebendaan, sehingga ia harus mengganti benda yang ia rusak dengan hartanya, dan wajib menunaikan zakat dari harta bendanya menurut mayoritas ahli fikih dan tidak wajib menurut golongan Hanafiyyah karena dianggap seperti anak kecil yang tidak mumayiz. Ia juga tidak dapat dimintai pertanggung jawaban atas tindakan kriminal yang dilakukannya, melainkan tanggung jawab kebendaan. Selain itu juga ia tidak dikenai had apabila ia melakukan suatu tindakan yang memicu ditegakkannya hukum had. Begitu pula orang kurang akal yang tidak tamyiz sama dengan orang gila, karena ia tidak cakap sama sekali. Oleh karena itu, ahli fikih sepakat bahwa seluruh kewajiban badannya digugurkan, namun tanggungan yang bersifat harta tetap berlaku sebagaimana yang telah dijelaskan di awal. Dan bagi orang kurang akal yang mumayiz pun demikian kecuali dalam dua perkara yang kedua mengenai orang kurang akal yang tidak tamyiz dan orang gila. Mereka berdua tidak diperintah mengerjakan ibadah-ibadah sebangsa badan sebagaimana ketetapan kami sebelumnya, sedangkan orang kurang akal yang mumayiz dalam pandangan sekelompok ahli fikih adalah tidak gugur kewajiban mereka dalam mengerjakan beberapa ibadah sebangsa badan ini dalam rangka kehati-hatian. Akan tetapi mayoritas ahli fikih menganggap pandangan ini keliru, karena mereka memutuskan bahwa kurang akal itu seperti gila atau bagian dari gejala dalam gila, oleh karena itu, penunaian kewajiban syar’i tidak dapat dilakukan. Orang kurang akal itu seperti anak kecil yang memperlihatkan kekurangan akal dalam dirinya kekita kekurangan akalnya berpengaruh kepada menggugurkan perintah pada anak kecil, begitupula yang terjadi pada orang kurang akal yang serupa dengannya. Sebab keabsahan taklif (pembebanan) itu berdasarkan kemampuan memahami dan alat memahami itu adalah akal.”
Perbedaan keadaan Budi dan Andi tentu mengakibatkan konsekuensi hukum yang berbeda. Budi yang mengalami kondisi disabilitas intelektual kategori ringan natural tidak dibebani kewajiban mengerjakan puasa. Namun apabila Budi mengerjakan ibadah puasa maka puasanya dianggap sah meskipun tidak ada kewajiban qada puasa baginya jika ia membatalkan puasanya. Sedangkan Andi yang mengalami kondisi disabilitas intelektual kategori sedang dan natural tidak dibebani kewajiban mengerjakan puasa, dan jika ia puasa pun tidak sah karena statusnya bukan mukallaf. Selain itu karena statusnya bukan mukalaf maka tidak dapat disematkan sifat-sifat hukum seperti wajib, boleh, haram atau makruh untuk mengqada puasa baginya. Hal ini merujuk kepada kitab kasyifatu as-saja :
..........وثانيها تكليف، اى بلوغ وعقل، فلا يجب الصوم على صبي ومجنون ومغمى عليه وسكران. أما القضاء، فيجب على السكران سكرا مستغرقا، والمغمى عليه مطلقا، اى : سواء تعدى بالإغماء أولا، لكن على الفور عند التعدى، وعلى التراخى عند عدمه، بخلاف الصلاة، لا يجب عليه قضاؤها إلا إذا كان متعديا بإغمائه ; ويجب على المجنون عند التعدى........
“….. Syarat wajib puasa yang kedua adalah taklif, yaitu baligh dan berakal, sehingga puasa tidak wajib dikerjakan oleh anak kecil, orang gila, pingsan dan mabuk. Dalam hal mengqada puasa bagi pemabuk sepanjang hari, dan orang pingsan secara mutlak, baik ia teledor dalam pingsannya atau tidak, hanya saja ketika pingsan karena keteledorannya maka ia harus mengqada puasanya segera, dan boleh diundur jika pingsannya tidak disebabkan keteledorannya, berbeda halnya dengan salat, dalam persoalan ini ia tidak wajib menqada salatnya kecuali jika ia teledor dalam pingsannya; begitu pula orang gila karena keteledorannya……”
Referensi
Dr. Maha Salim Al-Suwaida’, al-ahkam asy-syar’iyyah al-khassh bi dzawi al-‘i’aqah al-aqliyyah al-basithah , https://www.alukah.net/social/0/129607/%D8%A7%D9%84%D8%A3%D8%AD%D9%83%D8%A7%D9%85-%D8%A7%D9%84%D8%B4%D8%B1%D8%B9%D9%8A%D8%A9-%D8%A7%D9%84%D8%AE%D8%A7%D8%B5%D8%A9-%D8%A8%D8%B0%D9%88%D9%8A-%D8%A7%D9%84%D8%A5%D8%B9%D8%A7%D9%82%D8%A9-%D8%A7%D9%84%D8%B9%D9%82%D9%84%D9%8A%D8%A9-%D8%A7%D9%84%D8%A8%D8%B3%D9%8A%D8%B7%D8%A9-1-4/ , diakses 17 Maret 2025.
Dr. Maha Salim Al-Suwaida’, al-ahkam asy-syar’iyyah al-khassh bi dzawi al-‘i’aqah al-aqliyyah al-basithah , https://www.alukah.net/social/0/129607/%D8%A7%D9%84%D8%A3%D8%AD%D9%83%D8%A7%D9%85-%D8%A7%D9%84%D8%B4%D8%B1%D8%B9%D9%8A%D8%A9-%D8%A7%D9%84%D8%AE%D8%A7%D8%B5%D8%A9-%D8%A8%D8%B0%D9%88%D9%8A-%D8%A7%D9%84%D8%A5%D8%B9%D8%A7%D9%82%D8%A9-%D8%A7%D9%84%D8%B9%D9%82%D9%84%D9%8A%D8%A9-%D8%A7%D9%84%D8%A8%D8%B3%D9%8A%D8%B7%D8%A9-1-4/ , diakses 17 Maret 2025.
Muhammad Abu Zahroh, Usul al-Fiqh , (t.t.: t.p, t.th), 339-341
Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi al-Bantani al-Tanari al-Syafi’I, Kasyifatus saja , (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2011), 454.