Pak Nadiem, izinkan kami mengingatkan satu percakapan yang mungkin sangat dikenal oleh mereka yang menonton tokoh fiksi ninja, Naruto. Ketika perang dunia ninja terjadi, Sasuke tidak tahu apa yang harus dilakukan setelah membunuh Danzo.
Danzo adalah sang konspirator yang membuat kakaknya Sasuke, yaitu Itachi, untuk memilih jalan tunggal membunuh seluruh klannya sendiri. Yang pertama dilakukan oleh Sasuke dan ini adalah gagasan kuno yang berlaku untuk semua peradaban, yaitu melihat sejarah sebagai jawaban.
Sasuke memanggil Orochimaru. Menuntut penjelasan atas masalah dirinya dan asal usul dendam pada klannya. Orochimaru memanggil semua Hokage (para pemimpin terdahulu) dengan edo tensei. Memanggil mereka dari kematian.
Tahukah pak Nadiem apa pertanyaan pertama Sasuke:
Apa itu Ninja?
Orang-orang yang telah mencapai titik tertinggi dan kebingungan untuk mendefinisikan satu perkara, akan selalu mencari jawaban dari masa lalu. Itulah mengapa selama seratus tahun industri otomotif berkembang, kaca spion tidak pernah dihilangkan. Karena meskipun esensinya kendaraan bergerak maju, namun mereka tetap melihat ke belakang semata-mata untuk terus maju.
Begitupun dengan tulang punggung pendidikan kita yang sebagian besar ditopang oleh kerja-kerja guru dan seluruh tenaga pendidik di negeri ini.
Pernahkah bapak bertanya, apa itu guru?
Mari kita jawab bersama-sama. Sebermulanya adalah sejarah. Sekitar 1,5 juta tahun yang lalu, mengajar hanya dilakukan pada kelompok-kelompok kecil. Keluarga. Orang tua pada anak. Guru sesederhana mereka yang telah hidup lebih dahulu. Mengajarkan apa yang bisa dimakan, apa yang tidak boleh didekati dan bagaimana berburu dan bertahan hidup.
Sekitar 40.000 tahun lalu, kemampuan intelejensi manusia sudah sangat meningkat, entah karena asupan gizi yang cukup atau lingkungan yang mendukung, mendidik mulai berkembang, menjadi pesan yang bisa disalurkan pada benda-benda asing diluar tubuh. Dari simbol di pohon dan batu hingga akhirnya melukis dalam goa-goa. Seperti di Sulawesi, orang-orang kuno disana telah melukis telapak tangan dan binatang buruan seperti babi dan hewan sejenis kerbau.
Disaat yang sama, kelompok-kelompok manusia dibelahan dunia lain masih berjuang untuk lepas dari kelaparan dan tidak punya waktu untuk melukis serta mewariskan ingatan guna mendidik keturunan mereka. Tidak terfikir untuk mengabadikan pesan pada dinding batu. Sebenarnya orang-orang di negeri ini pernah menjadi manusia paling maju di masanya tanpa mengukurnya melalui ukuran bangsa lain (baca: PISA).
Tablet tanah liat yang ditemukan di situs arkeologi disekitar lembah Mesopotamia juga mengandung informasi bahwa menggunakan tablet bukan hanya tradisi zaman digital. Sejak dahulu, Pengajaran sudah sedemikian komplek. Beragam aliran kepercayaan sudah berkembang semakin rumit, dari makhluk halus hingga dewa-dewa yang spesifik mengikuti kebutuhan zaman. Dari roh nenek moyang (Animism) hingga dewa-dewa yang mengurusi jodoh dan keberuntungan (Polytheism).
Pengetahuan yang makin rumit dan sejarah yang panjang ini, serta gagasan spiritual di dalamnya tidak bisa ditransfer dengan cara biasa atau sekedar ngobrol. Sistem pengajaran, mendesak di desain bagi keturunan mereka.
Peradaban silih berganti, orang-orang bijak dan para nabi-nabi berganti menitipkan estafet pengetahuan suci. Pengajaran dan agama menjadi satu hal yang tidak bisa dipisahkan. Maka fahamilah bahwa ketika frasa agama hilang dalan Peta Jalan Pendidikan Indonesia (PJPI) yang bapak buat, bukanlah persoalan sepele. Karena itu menandakan pemisahan kasar yang tidak pernah dilakukan orang-orang kuno.
Pengajaran tanpa keyakinan hanya akan menjadi kursus keterampilan. Kursus mengasah besi hanya akan membuat kita menjadi pandai besi. Beberapa pertemuan saja cukup. Namun mengasah besi menjadi samurai mengandung tuntutan pemahaman mendalam akan nilai-nilai budaya yang terwariskan berlapis-lapis. Itulah yang menjadikan Jepang adalah Jepang.
Begitupun itu yang membuat kita menjadi orang Indonesia. Pengajaran, soal nilai-nilai mendalam. Bukan keterampilan teknis belaka.
Mereka yang telah dianggap pakar, bukan hanya pakar. Mereka sekaligus suci. Kesucian pengetahuan yang dijaga dari guru ke muridnya dan seterusnya.
Sebelum ajaran Hindu-Budha mampir ke kepulauan ini, dipercaya sistem pengajaran sudah ada dalam bentuk aliran kepercayaan yang mengharmonikan alam, satwa, dan manusia sebagai mikrokosmos. Tradisi ini masih terlihat dalam masyarakat Baduy. Puun, kepala desa, adalah guru bagi masyarakat. Sikapnya adalah tuntunan. Konon pada masa prahindu-budha, mereka ini sudah membuat sistem padepokan terdesentralisasi tanpa kekuasaan terpusat.
Agama dan kebudayaan Hindu budha kemudian memperkenalkan sistem kerajaan. Masyarakat dirubah menjadi piramida yang mengerucut berdasarkan kasta. Estafet pengetahuan suci dan pengajaran bersifat ekslusif hanya pada kaum brahmana yang bisa membaca dan menulis. Kebudayaan lama bercampur dengan pengetahuan asing.
Mereka membuat pondok-pondok kecil ditempat-tempat yang sekarang mungkin disebut instagramable. Lihatlah bagaimana Candi-Candi dibangun ditempat terbaik melihat bintang dan nenyambut mentari. Seperti Borobudur yang ditanam diatas perbukitan dikelilingi gunung-gunung seolah-olah para raksasa sedang tunduk padanya. Begitupun Candi-Candi yang berada di ujung ketinggian, yang mensejajarkan awan-awan embun setara pijakan. Memberikan suasana ekstasif para dewa.
Tempat para pengajar kesucian bertapa, merenung dan mengajarkan kebajikan suci adalah tempat-tempat tertinggi yang tidak bisa dijangkau oleh mereka yang sibuk bekerja untuk bertahan hidup. Pada zaman itu, pendidikan adalah arena suci, batas kejumudan duniawi untuk mencapai pemahaman keilahian dibatas awan dan langit.
*
Kini nasib para mahaguru tersebut setara budak belian yang setiap hari kejar setoran, kreditan dan beban pekerjaan yang menumpuk dari berbagai Platform digital.
Sosok mereka kini akan ditempel pada marketplace, ditelanjangi oleh keterbukaan data, setara budak belian yang dijejer tanpa pakaian, di pelabuhan-pelabuhan sepanjang selat Malaka tempat jual beli budak pada abad ke-7 masehi.
Sedangkan pada masa itu, para mahaguru berada ditempat tertinggi, paling suci dan paling terhormat untuk merenungkan nilai pendidikan dan pengajaran. Mudah saja melihat degradasi ini, para guru era digital seringkali kehilangan waktu, bahkan hanya untuk merenung saja.
Inilah mengapa, kecanggihan zaman tidak menjamin kualitas peradaban yang bersangkutan. Sistem nilai yang berlaku pada era sekarang telah mundur dari peradaban kuno seribu tahun lalu. Kita mungkin tidak bisa membalikkan keadaan, namun setidaknya kita sadar berada di jalan yang keliru.
Bersambung…
(PART II: Bagaimana Kedatangan Islam mendefinisikan Guru)