Bulan syawal perlahan terlewati, setelah beberapa bulan kemarin kebanyakan pesantren menutup pintu bagi orang luar, atau santri yang berlibur keluar pondok, kini perlahan pintu dibuka kembali. Meskipun agak mundur dari jadwal, tetapi kembalinya para santri dari rumah, dan kedatangan santri baru mampu menyemarakkan lagi denyut pendidikan pesantren yang berjalan lumayan hening di beberapa bulan terakhir ini. Satu suasana yang disyukuri oleh beberapa santri, yaitu yang mendambakan keheningan suasana. Tetapi sekaligus disesali, terutama oleh santri yang terlanjur memilih liburan di rumah. Penyesalan terutama karena melewatkan kesempatan mengikuti pengajian ramadan di pesantren. Dan ini bagi sebagian santri adalah kerugian besar.
Bila kebanyakan pintu pesantren tertutup, tidak demikian dengan pengajian online. Sebagaimana kata pepatah: “ ketika satu pintu tertutup, maka pintu lain akan terbuka”. Suasana ramadan masa pandemi seperti ramadan kemarin banyak memunculkan jalan kreatif lain dalam melaksanakan pengajian.
Meskipun fenomena ini sangat patut disyukuri, namun tetap saja tak mampu mengganti secara utuh. Karena ada perbedaan mendasar antara pengajaran dan tarbiyah. Dan pengajian online ini, menurut saya pribadi hanya mampu memberikan pengajaran, dan sedikit tarbiyah.
Pengajian online mampu melengkapi dan memperkaya cara kita mendakwahkan islam, terutama menyebarkan budaya mengaji, namun takkan mampu menggantikan peran inti pondok pesantren, yaitu tarbiyah santri.
Saya mengutip sedikit dawuh allahu yarham Gus dur: “Pesantren adalah pendidikan berbasis peniruan. Jadi seorang kiai hanya perlu memberi contoh yang baik, alih-alih menginstruksikan”. Meskipun gus dur menggunakan bahasa ‘hanya perlu’, namun bagi saya ini adalah inti dari pendidikan. Memberikan contoh laku dari intisari ilmu.
Karena mengamalkan pengetahuan, tak sekedar memahami pelajaran.
Sebuah contoh indah dari sebuah tarbiyah yang dilakukan oleh seorang kiai besar (Allahu yarham Kiai Marzuki lirboyo) sebagaimana diceritakan oleh Gus mus (KH Mustofa Bisri rembang) dalam salah satu ceramah beliau: “ Suatu ketika saya pernah mau mencuri tebunya kiai Marzuki, saya sudah merencakan dan bahkan mengajak beberapa santri yang lain. Karena kamar saya yang paling dekat dengan ndalem, maka saya berangkat duluan. Namun setelah berangkat dan melewati ndalem yai, saya malah ditimbali oleh yai Marzuki dan dingendikani: ”Gus, sampean doyan tebu?” Gus mus hanya diam, sambil mikir didalam hati: ‘Ini tebunya mau dicuri kok malah menawari’.
Lalu kiai marzuki masuk ndalem dan memikul tebu yang lumayan banyak:”niki tak pilihne tebu kang sae-sae, sakderenge ditebang (ini saya pilihkan beberapa tebu yang terbaik, sebelum ditebang)”.
Dari cerita ini, Gus Mus menggaris bawahi tentang perbedan tarbiyah kiai dan kebanyakan pendidikan saat ini. Bila ustaz sekarang sukanya malah ndalil-ndalil: ”maling itu haram”. Atau bahkan membaca dalil as sariqu wassariqotu. Maka kiai pesantren justru memberikan barang apa yang mau dicuri.
“Dan tarbiyah kiai terbukti lebih mampu menaklukkan hati”. Tutup gus Mus.
Tarbiyah ini satu hal penting yang membuat masih banyak orang tua mendaftarkan anaknya di pesantren, sesuatu yang mungkin tidak mampu diberikan oleh orang tuanya dirumah. Dan juga, bahkan kadang dilupakan oleh para orang tua yang meskipun dia sendiri santri.
Dalam pengajian ihya’ beberapa hari yang lalu bapak mengingatkan: “Kadang ada banyak orang tua yang anak-anaknya tidak sukses, setelah diteliti ternyata karena memang dia tidak mendidik atau menarbiyah anak-anaknya. Dia mau tirakat, tapi tidak mau menarbiyah. Dia tirakat kan hubungannya dengan dia sendiri, tetapi kalau tarbiyah hubungannya dengan orang lain. Jadi tirakat saja tidak cukup, harus tarbiyah juga”.
Peringatan dari bapak ini semakin memperjalas tentang posisi tirakat dan tarbiyah adalah dua hal yang berbeda namun saling mendukung. Maka akan menjadi kurang tepat bila ada seseorang yang mencukupkan ikhtiar mensukseskan anak hanya dengan tirakat. Disamping tirakat, dia juga seharusnya menarbiyah. Bila mampu menarbiyah sendiri, ya dilakukan sendiri. Bila tidak, maka perlu diserahkan pada orang lain yang menurutnya mampu.
Karena memang pada hakikatnya setiap anak punya watak bawaan masing-masing, sebagaimana diterangkan bapak: “Kadang ada anak yang memang sejak kecil bagus akhlaknya, jadi ketika dewasa juga tetap bagus. Tetapi ada juga yang bagus setelah ada usaha, seperti ada anak yang sejak kecil akhlaknya kurang baik, tetapi setelah mondok, alhamdulillah perlahan lalu menjadi baik akhlaknya”.
Teori ini mengilhami kita bahwa menuju kesuksesan seorang anak atau seorang pribadi, butuh yang namanya proses. Dan di dalam proses menjadi pribadi yang lebih baik inilah diperlukan sentuhan tarbiyah.
Semoga kita mampu berproses dengan benar dan sepenuh hati, karena setiap hal baik yang dilakukan sepenuh hati, hanya akan menghasilkan segala yang sejati. [HW]