Untuk sebuah tugas dokumentasi dan pengumpulan poto-poto Masyayikh Tremas, kami sowan dan meminta izin kepada Almagfurlah Abah Toyib (KH Toyyib Hasan Ba’bud) agar berkenan diambil gambarnya. Itu terjadi pada pertengahan tahun 2009 silam. Saat itu kami duduk di kelas tiga Madrasah Aliyah Salafiyah.

Kami sowan Abah saat beliau sedang menerima tamu. Bersama kawan, Masruhan, kami menunggu sejenak. Selang beberapa saat kami dipersilahkan masuk ke ndalem Abah yang sangat sederhana itu.

Sebenarnya kami sangat gugup ketika memberanikan diri meminta beliau untuk di foto. Kami takut Abah kurang berkenan diambil gambarnya. Tapi anggapan itu salah. Justru Abah kerso dan senang untuk di foto. Namun perasaan takut dan canggung tetap menghinggap di dada. Betapa tidak, yang mau kami ambil gambarnya adalah salah satu kiai sepuh yang sangat alim dan tentunya berwibawa. Nyali kami ciut. Sekecil biji sawi.

Proses pengambilan foto kemudian dimulai. “Ning Ndi iki” beliau bertanya tempat yang pas untuk pengambilan gambar. Kami bingung, mencari sudut rumah yang pas dan tepat untuk beliau jumeneng (berdiri). Akhirnya, “kene wae” sambung Abah sambil berjalan dan berdiri di depan pintu berkorden hijau itu.

Inggeh wonten mriki mawon bah” kami menjawab sambil menghidupkan kamera digital pinjaman dan segera mengambil posisi untuk bersiap mengambil gambar wajah teduh Abah Toyib.

Kami kemudian berdiri 1,5 meter di depan Abah. Saling berhadap-hadapan. Belum juga kami mengambil ancang-ancang, keringat dingin keluar dan tangan kami gemetaran. Dalam hati berkata, “Ya Allah semoga tidak terjadi kesalahan teknis, seperti baterai kamera tiba-tiba habis atau hasil gambar blur atau rusak”. Maklum terkadang hal-hal yang tidak terduga tiba-tiba datang disaat ingin mengabadikan momen yang hanya sekali terjadi.

Baca Juga:  Doa Selamat Bala

Sebagai fotografer amatiran dan tidak memiliki sedikitpun ilmu fotografi, kami kemudian mengarahkan kamera ke arah wajah Abah. Sambil lalu kami membetulkan posisi berdiri abah.

Kami mencoba memberi aba-aba dengan berhitung. Agar Abah merasa nyaman saat kamera nanti difungsikan. Dan ,1, 2 ,3 “jepret, jepret”. Secepat kilat wajah Abah terekam dalam kamera. Kami buka hasil foto. Dan betapa senangnya saat kami melihat hasil gambar sesuai dengan yang diharapkan. Hehehe.

Piye” Abah menanyakan hasil bidikan kamera. “Sampun sae bah“. Kami menjawab sambil memperlihatkan hasil gambar pada Abah. Melihat itu, Abah tersenyum. “Opo dibaleni“, tanya Abah lagi. “Mboten bah sampun cekap niki sampun sae (bagus, menuturkan kami)”.

Dan sesi fotopun berakhir. Kami pun kembali duduk di ruang tamu dan disuruh menikmati cemilan. Perasaan plong betul-betul kami rasakan.

Foto ini adalah satu-satunya foto yang kami ambil secara eksklusif dan kami simpan hingga saat ini. Tentu, di lain tempat dan lain orang, banyak yang berhasil mengabadikan foto Abah dengan berbagai pose dan dalam berbagai peristiwa yang lebih menarik.

Sebagai seorang kiai dan juga seorang habaib, ternyata gaya berpakaian dan penampilan Abah sangat sederhana sekali dan tidak “ngetoki“. Jauh dari kesan mewah. Lihat saja foto-foto Abah yang lain. Jarang sekali, bahkan tidak terlihat memakai sorban dan aksesoris “keulamaan”, seperti yang dipakai oleh ustaz-ustaz atau ulama dadakan yang baru belajar agama.

Abah sangat santai dan nyaman mengenakan pakaian layaknya pakaian yang biasa dipakai oleh masyarakat sekitar.

Akhiran, berawal dari sedikit pengalaman mengambil beberapa gambar Masyayikh Tremas, kami akhirnya memiliki kegemaran mengabadikan momen momen penting yang terjadi di pondok Tremas. Dan itulah salah satu kesan yang sangat mendalam, berkesempatan ngalap barokah dengan Abah Toyyib dengan wasilah kamera digital pinjaman.

Baca Juga:  Kiai Marzuki Dahlan Lirboyo

Untuk Almagfurlah Abah Toyib, Alfatihah. [HW]

Zaenal Faizin
Santri Alumni PP Tremas Pacitan dan Guru MI Islamiyah Reban Batang Jawa Tengah

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Kisah