Dalam muqaddimah nadzam ‘Imrithi dikatakan,

“وبَعدُ فعلَم أنّهُ لماَّ اقْتصَر * جُلّ الورَى علَى الكَلَام المختصَر”

Di sini, penadzam (yakni Syaikh ‘Imrithi) menjelaskan bahwa orang-orang Arab sangat senang dengan kalimat yang ringkas tapi padat dan berisi, yang kemudian disebut dengan kalam mukhtashar. Dengan adanya kalimat yang ringkas, orang-orang tidak perlu membuang banyak waktu untuk mempelajari suatu ilmu ataupun sekadar mengambil hikmah dari sebuah nasehat yang disampaikan orang ‘alim. Bahkan mereka dengan mudah dapat menghafalnya.

Tidak heran jika penggunaan kalam mukhtashar ini menjadi tradisi turun-temurun masyarakat Arab dalam menulis, baik wujud karya sastra maupun karya ilmiah.

Dalam karya sastra, kalam mukhtashar sangat diperhitungkan. Sebuah karya yang baik dan bernilai tinggi adalah yang dapat menyampaikan pesan penting dalam beberapa penggalan kalimat saja. Dalam hal ini saya ingin mengambil penggalan syair adiluhung Imam Syafi’i tentang pentingnya mencari ilmu di usia muda di mana pesonanya tidak pernah surut sampai sekarang. Beliau berkata:

ومن لم يذق ذل التعلم ساعة * تجرع ذل الجهل طول حياته

Barang siapa tidak merasakan pahitnya belajar sesaat saja * niscaya ia akan menderita pedihnya kebodohan sepanjang hidupnya”

Betapa luar biasa. Untuk menyadarkan para pemuda agar bersabar atas kepahitan yang mereka alami dalam menuntut ilmu, Imam Syafi’i hanya cukup menggambarkannya dalam satu bait saja yakni “tajarra’a dzullal jahli thuwla hayaatihi” yang artinya mereka akan merasakan pahitnya kebodohan seumur hidup, bila tidak mau bersabar. Para pelajar pun akan berpikir ulang dan segera memperbaiki diri mereka masing-masing.

Dari sepenggal bait ini, seolah-olah Imam Syafi’i telah men-saripati-kan nasehat para ulama-ulama dulu dalam kitab mereka yang berjilid-jilid.

Baca Juga:  Mukhtashar Abdillah al-Harari: Kitab Ringkas dalam ‘Ilmu ad-Din ad-Dharuri

Selain syair Imam Syafi’i tersebut, al-Quran juga kerap kali menggunakan metode kalam mukhtashar dalam memberitakan sesuatu maupun menyampaikan pesan. Contohnya saja dalam surat al-Insyiqaq ayat pertama yang berbunyi,

إذا السماء انشقت

“Apabila langit terbelah”

Sekilas, ayat ini cukup sederhana. Yakni hanya mengabarkan tentang kondisi kiamat di mana saat itu langit akan terbelah. Namun, tatkala kita telaah dengan ilmu nahwu, ternyata ayat tersebut menggunakan tarkib isytighol. Ayat yang asalnya إذا انشقت السماء, dengan mendahulukan fi’il-nya, menjadi lebih tinggi nilai sastranya tatkala isim-nya didahulukan. Faedah lainnya yakni untuk menunjukkan bahwa kondisi saat itu benar-benar genting. Manusia -karena saking terkejutnya- tidak lagi dapat memikirkan kondisi sekitar. Mereka sibuk dengan diri masing-masing.  Rambut yang semula hitam tiba-tiba memutih. Unta-unta hamil mengeluarkan janin yang masih dalam kandungan di waktu yang belum saatnya.

Kata isytighol itu sendiri berarti ‘kesibukan’. Inilah rahasia daripada surat-surat dalam al-Quran yang berbicara tentang hari kiamat, maka di situ banyak yang menggunakan tarkib isytighol. Kalam yang semula sederhana, menjadi padat dan berisi.

Lawan dari kalam mukhtashar adalah tathwil. Yaitu memanjangkan kalam tapi tidak terlalu memiliki makna. Kalam seperti ini tidak efektif, membuang tempat, sulit dihafal bagi mubtadi’ (pemula). Dalam ilmu balaghah, tathwil sangat dihindari.

Karenanya dalam penciptaan syair, para penulis akan berusaha membuat kalam yang ringkas tapi padat dan berisi. bukan yang tathwil, yaitu panjang tapi tidak bermakna.

Tradisi penggunaan kalam mukhtashar ini juga nampak pada karya-karya ilmiah para ulama. Imam Abu Hamid al-Ghazali misalnya, beliau selain mengarang kitah Ihya’ ‘Ulumuddin dalam jumlah 4 jilid, dan memiliki ringkasannya (Mukhtashar Ihya’ Ulumuddin), juga memiliki ringkasannya dengan bentuk yang lebih ringkas yakni Bidayatul Hidayah hingga yang paling tipis yakni Ayyuhal Walad.

Tujuan peringkasan ini tentu agar ilmu yang dirasa tinggi tersebut tetap dapat menyentuh kalangan pemula (mubtadi’) yang lebih butuh pada penjelasan yang ringkas dan dibahasakan secara sederhana.

Baca Juga:  “Madhep Dampar” Sebuah Cerpen

Untuk mencapai tingkatan ini ada proses yang tidak mudah bagi para pelajar. Tapi tidak ada ruginya jika kita terus belajar.

Wallahua’lam

Achmad Abdul Aziz
Mahasiswa Pascasarjana STAI Ma'had 'Aly al-Hikam Malang, S1 UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dengan konsentrasi disiplin Bahasa dan Sastra Arab. Santri Pondok Pesantren al-Qur'an Nurul Huda Singosari.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Kitab