Saya adalah penggemar klub bola manchester united garis keras, sejak tahun 1999 ketika final melawan muenchen, hingga sekarang. Saking cintanya, saya akan mengusahakan sekuat daya upaya untuk nonton setiap pertandingannya.
Saat mondok di kajen, saya sering gerilya ke rumah tetangga pondok untuk mencari tumpangan nonton bola. Saat tetangga dekat tidak ada, saya harus mencari tumpangan nonton bola hingga ke sekarjalak bahkan guyangan, rumah teman yang dulu pernah bareng di kwagean. Yang mana desa guyangan ini lumayan jauh dari pondok saya yang berada di desa kajen (entah berapa kilo meter jarak pastinya).
Hingga saat pindah mondok ke Malang pun, saya masih selalu berusaha keras tetap istiqomah menonton pertandingan klub kesayangan. Kadang numpang di rumah teman, kadang ke rumah tetangga pondok. Pernah juga beli TV sendiri, lalu saya titipkan di rumah teman yang kebetulan dekat dengan pondok. Bahkan pernah mendapatkan kasus, karena bawa laptop, saya pasang TV tuner buat nonton bola. Lalu tanpa sengaja antena TV tersebut malah jatuh menimpa salah seorang tetangga pondok, dan memecahkan genteng rumahnya.
Waktu itu, setiap MU main selalu bingung mencari link buat streaming. Meskipun sudah ada sedikit keraguan tentang hukum menonton lewat jalur tidak resmi ini, namun keadaan diri dan kecintaan hati, telah mampu mengabaikan keraguan hati.
Sampai akhirnya pada tahun 2012, saya pulang ke rumah Kwagean. Saya sudah mulai bisa tenang nonton TV di kamar. Namun tetap saja masih sering harus mencari link, karena memang MU tak selalu ditayangkan di TV nasional. Karena secara keadaan sudah mulai memungkinkan, saya belajar mengurangi ke’ragu’an akan hukum nonton streaming lewat nobar di cafe.
Nonton bareng di cafe pun belum ideal menurut hati saya, karena memang secara hukum mungkin legal, akan tetapi saya harus menempuh jarak yang lumayan jauh ke kediri kota.
Saya putuskan untuk membeli perlengkapan orange TV, karena ini adalah TV berbayar satu-satunya yang punya hak siar waktu itu.
Meskipun mahal untuk ukuran kantong saya, karena peralatan hanya untuk alat bantu, dan setiap bulannya harus membeli voucher lagi agar bisa menonton tayangan bola, namun saya bela-belain menabung, agar setiap bulannya bisa membeli voucher.
Hingga akhirnya orange TV berhenti, dan diganti oleh perusahaan lain. Peralatan orange TV (parabola dan mesinnya), nganggur tak terpakai. Saya ganti berlangganan mola TV saat ini. Masih terbilang mahal, akan tetapi jauh lebih hemat daripada orange TV dulu.
Semua ini saya lakukan murni karena ingin belajar menata hati dan membiasakan diri adil dalam bertindak. Apalagi setelah mulai mengenal dunia perbukuan, di mana pembajakan sangat marak terjadi.
Saya masih jauh dari kata wira’i seperti yang diterangkan oleh bapak waktu ngaji:”Miturut ibrahim bin adham, wira’i niku ninggal barang kang jumboh lan ninggal leluwihan. Kang ora ono gunane, ditinggal (menurut ibrahim bin adham, wira’i itu meninggalkan barang yang masih belum jelas hukumnya, apalagi yang dilarang, dan juga meninggalkan berlebihan. Yang tidak ada gunanya, ditinggal)”.
Semua yang saya usahakan ini, adalah sedikit usaha meniru dari kebiasaan baik dari bapak. Bahkan sejak di pondok, bapak sudah berusaha menjalani laku wara’. Seperti yang diceritakan beliau:”Kulo nate ten kediri gene mbah jamaludin, sandal kulo tinggal, la kok ilang. Empun selama ten pondok ajenge tuku maleh gak nduwe duwet. Akhire nengdi-nengdi geh ora sandalan (saya pernah ngaji di kediri, kepada mbah yai jamaludin. Pas awal disana, saya tinggalkan sandal ketika tidak dipakai, malah hilang. Sudah, karena mau beli sandal baru tidak punya, maka selama di pondok tidak punya sandal. Pergi kemanapun tidak berserandal)”.
Tak hanya tentang sandal, bapak menceritakan tentang keseharian disana:”Kulo ngaos ten mriku ngaos muslim. Mendel mawon ten mriku. Arek-arek sami ten warung kulo mendel mawon. Tilem ten masjid serambi ora gae bantal. Ngoten pas turu enten seng ngekeki bantal. Duko sinten ngoten seng maringi (saya disana ngaji kitab shahih muslim. Diam saja disana, tidak kemana-mana. Teman-teman sama ke warung, saya tetap diam saja karena tidak punya uang. Tidur juga di serambi masjid, tidak memakai bantal. Tetapi ketika bangun tidur kok ada yang memakaikan bantal, entah siapa yang memakaikan)”.
Bapak melanjutkan ceritanya:”Angger mantun ngaji gene kulo gae silih-silihan. Mergo gene kulo saget kebek. Sababe sak derenge kiaine moco wes tak harokati dewe. Kadang tak maknani dewe. Kok iso? Yo iso. Hehehe alhamdulillah (setiap selesai ngaji, kitab saya dipakai pinjam-pinjaman. Karena punya saya bisa penuh maknanya. Semua itu sebab sebelum sang kiai membaca, saya sudah memberi harokat sendiri. Kadang juga saya maknani sendiri dulu. Kok bisa? Ya bisa. Hehehe alhamdulillah)”.
“Alhamdulillah maleh, mantun wangsul posonan ten mbatokan ngaos muslim kaleh jamul jawami’. Alhamdulillah tekan pondok syawal, langsung dipanggil kiai. Muslime kang awal wacanen. Yai zam niki dereng nate ngutus guru-guru lintune maos. Akhire kulo maos ten ngajeng ndalem. Mboso ngoten kiai niku liwat ten ngajenge ngoten. Terus yai ngendikan: lek moco ojo cepet-cepet. Arek-arek gak kuat. Niki mantun ashar. Terus dalune mantun isya’ maos jamul jawami’. Alhamdulillah niki barokahe sandal ilang (alhamdulillah lagi, setelah pulang puasaan di mbatokan ngaji muslim dan jamul jawami’, sampai pondok pada bulan syawalnya saya langsung dipanggil kiai. Dawuh kiai: ’muslimnya yang awal kamu baca’. Yai zam allahuyarham ini belum pernah mengutus guru-guru yang lain membaca kitab ini. Saya ikut dawuh, dan mengajar ngaji kitab ini di depan ndalem kiai. Pada waktu ngaji, kiai saya lewat di depan majlis, lalu berpesan: ’kalau ngaji jangan cepat-cepat, anak-anak tidak kuat mengikuti’. Kebetulan waktu ngaji ini setelah ashar, malamnya setelah isya’ membaca jamul jawami’. Alhamdulillah, ini barokahnya sandal hilang)”.
“Tibakne ngibadah seng sampurno, artose ngegungaken gusti Allah kang sakestu niku wira’i. Dados geh sholat, lan wirai. Yoiku ninggal barang kang haram lan kang syubhat. Lek enek barang kang duduk wek e yo ojo dijupok. Eman-eman ayune utowo gantenge (ternyata, ibadah yang sempurna, maksud saya mengagungkan gusti Allah yang sebenarnya itu wira’i. Jadi shalat ya dilakukan, tetapi juga wira’i. Yaitu meninggalkan barang yang haram, dan yang syubhat. Kalau ada barang yang bukan milik kita, ya jangan diambil. Sayang kecantiknya dan atau kegantengannya)”.
Bapak sendiri memberikan contoh belajar wira’i dalam keseharian:”Ninggal haram, ora dilakoni. Syubhat, utowo kang jumboh. Kados njenengan gadah kaos nyar, enten rencange duwe podo. Pas dipepe jumboh, ki gonaku sengdi. Ko lek ijeh jumboh mestine ora dijupok. Mengko lek wes genah nembe dijupok. Sandal geh ngoten, lek ijeh jumboh ojo dilakoni. Ojo dijupok (meninggalkan haram, yaitu dengan tidak melakukannya. Juga yang syubhat, atau yang masih menimbulkan keraguan. Seperti ketika anda punya kaos baru, lalu ada teman anda yang juga punya kaos yang sama. Pas dijemur bareng lalu jadi timbul keraguan, punya saya yang mana. Nanti kalau masih ragu, mestinya jangan diambil dulu. Nanti kalau sudah jelas, baru diambil. Sandal juga begitu, kalau masih ragu jangan dipakai, jangan diambil)”.
Saya tahu sendiri, dan pasti teman-teman yang pernah membantu di rumah juga tahu. Bapak saya masih menandai sandalnya dengan beberapa irisan kecil di ujung sandal hingga sekarang. Juga menandai semua baju, kaos, hingga sarungnya dengan spidol. Semua ini adalah bukti usaha kehati-hatian beliau.
Diujung pengajian, bapak berpesan:”Kapan iso wira’i, mongko ibadahipun sakestu niku diibaratne pari niku berase kebek tenan, ora gabuk (siapapun yang bisa wira’i, maka setiap ibadah yang dilakukannya maka diibaratkan seperti padi yang penuh dengan padi beneran, tidak gabuk atau kosong isinya)”.
Semoga kita bisa selalu berusaha memperbaiki setiap hari. Meskipun mungkin belum menjadi, namun setidaknya setiap langkah yang kita usahakan adalah proses hidup tanpa henti. []