The superior man blames himself. The inferior man blames others – Don Shula
Perilaku masyarakat dalam menjalani hidup sangatlah beragam; ada sejumlah orang yang menunjukkan perilaku inferior, sebaliknya sejumlah orang juga menampakkan perilaku superior. Fenomena tersebut tidak lepas dari kondisi daya tahan dan kemampuan yang berbeda-beda dalam merespon dinamika pribadinya masing-masing. Beberapa orang menjadi korban dari sikap inferior, tapi tak sedikit yang bisa bangkit dari kondisi inferior. Ada yang hidupnya sukses dengan model sikap yang superior, sebaliknya ada yang jatuh karena sikap superiornya. Karena itu bagaimana sebaiknya menghadapi rasa inferior dan superior sehingga hidup menjadi lebih berarti.
Pada hakekatnya setiap insan adalah tempat berbuat salah dan lupa. Setiap insan juga memiliki sejumlah kelemahan, entah fisik, mental atau lainnya. Terhadap kondisi yang demikian, jika disikapi dengan pesimis atau sikap negatif, cenderung menjadikan seorang individu memiliki perasaan rendah diri atau inferior.
Sebaliknya terhadap kondisi yang bersifat wajar dan proporsional, jika disikapi dengan optimis atau sikap positif, cenderung menjadikan seorang individu memiliki perasaan nyaman dan bermental sehat. Tidak pernah merasa terbebani oleh keterbatasan yang ada, bahkan justru menjadikan dirinya mampu mengeksplorasi potensi yang ada dan punya motivasi yang kuat untuk mengaktualisasikan diri.
Selanjutnya bahwa semua insan telah dianugerahi oleh Tuhan potensi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Ada yang diberi potensi unggul sehingga mereka bisa meraih derajat superior. Ada yang baik dan bisa mensyukuri superioritasnya itu sehingga mampu menggapai prestasi cemerlang yang bisa mengangkat derajat sendiri, orangtua, institusi dan bangsa.
Sebaliknya ada sejumlah orang yang memiliki superioritas dapat mengancam dan menghancurkan orang atau pihak lain. Kondisi semacam ini harus dihindari dengan sungguh-sungguh. Superioritas seharusnya diatur dengan baik sehingga tidak kontra produktif. Superioritas jangan menjadi ancaman bagi yang lainnya. Yang kuat wajib melindungi yang lemah, bukan menjajah atau menindas.
Walaupun inferioritas dan superiotas itu bisa berdampak dalam menghadirkan kebaikan, tidak sedikit sikap-sikap tersebut dapat menimbulkan banyak kerugian baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Dalam menghadapi rasa inferioritas, kita seharusnya bisa mendorong untuk bisa mencari langkah kompensasi dengan mengeksplorasi potensi yang ada. Cukup banyak kasus di mana orang yang memiliki kelemahan bisa bangkit dengan mengandalkan potensi yang ada, misalnya Stevie Wonder penyanyi top yang tunanetra.
Demikian pula dalam menyikapi rasa superioritas. Seseorang perlu menjaga superioritas, jangan menjadikan sikap tersebut berujung sombong atau takabbur, tetapi keunggulan itu bisa diarahkan untuk menghasilkan inovasi yang pada akhirnya bisa memberikan manfaat untuk dirinya sendiri dan orang lain dengan fokus menjadikan dirinya menjadi pelindung yang lemah dan memberikan layanan bagi semua. Hal itu merupakan wujud tanggung jawab transendental. Karya dan dedikasi dari keunggulan untuk Sang Maha Pencipta yang telah menganugerahkan kehebatan.
Akhirnya bahwa apapun fitrahnya, rasa inferioritas dan superioritas seharusnya bisa diatur dengan baik. Jika kita menghadapi sebuah rasa atau yang lain, bahkan keduanya, kita tidak punya pilihan terbaik kecuali berupay dengan sungguh-sungguh bahwa rasa inferioritas tidak boleh menjadikan kita hidup pesimis, tetapi harus optimis dan punya raja’ atau harapan baik. Demikian juga jika kita memiliki rasa superioritas, rasa tersebut tidak boleh menjadikan kita sombong atau takabbur, melainkan kita harus tawadlu’ dan bersikap melindungi dan memberikan manfaat yang sebanyak-banyaknya bagi lainnya (Yogyakarta, 18/01/2021, Senin, pk. 09.20).(HNZ)