Perkembangan ilmu sains yang sebelumnya masih termasuk cabangan dari ilmu filsafat kuno kini telah menemukan perkembangan sangat maju. Logika berfikir yang telah dikukuhkan oleh para filsuf yunani kuno ini telah dikembangkan begitu luas dari zaman ke zaman. Kebutuhan yang sangat mendasar dalam mempelajari alam semesta mengantarkan manusia menuju penelitian mendalam di berbagai bidang. Manusia sangat haus dengan pengetahuan-pengetahuan baru mengenai tubuh manusia hingga alam semesta tempat ia bernaung. Muncul sebuah pertanyaan, dari manakah seorang inteletual muslim harus memulai menganalisa ilmu pengetahuan?

Tentu di sini, sebagian intelektual muslim yang seolah tak ingin dipandang sebelah mata oleh intelektual barat akan mengatakan “Tentu, semua ilmu yang telah dikenal ilmuwan dimanapun telah dijelaskan oleh Alqur’an dan kita harus meneliti Alqur’an untuk mengejar ketertinggalan dari para inteletual barat”. Dengan penuh bangga ia menyitir ayat Alqur’an “…Tidak ada sesuatu pun yang kami luputkan di dalam Kitab…” (Qs. Al-An’am : 38).

Dalam hal ini, perlu kiranya kita pertimbangkan kembali gerakan para intelektual muslim yang mengait-ngaitkan hasil penelitian sains dengan Alqur’an. Misal contoh, sebagian intelektual muslim mengaitkan teori “The Big Bang” dimana alam semesta terbentuk akibat sebuah ledakan besar dengan bukti ayat Alqur’an “Kemudian Dia menuju ke langit dan (langit) itu masih berupa asap, lalu Dia berfirman kepadanya dan kepada bumi, “Datanglah kamu berdua menurut perintah-Ku dengan patuh atau terpaksa”. Keduanya menjawab, “Kami datang dengan patuh” (Qs. Fushilat : 11).

Di sini kita harus lebih berhati-hati lagi karena penelitian manusia terkadang bertentangan dengan apa yang telah diajarkan oleh Alqur’an. Misal contoh, teori Darwin menyatakan bahwa manusia adalah hasil evolusi kera selama berabad-abad begitu juga seluruh hewan dan tumbuhan. Rupanya hal juga ini disepakati oleh banyak inteletual barat hingga sekarang. Lantas, apakah kita juga akan mengatakan bahwa Al-Qur’an juga menyatakan nabi Adam diciptakan dari hasil evolusi kera?

Baca Juga:  Mengobati Penyakit dengan al-Quran

Tentu disini kita perlu berfikir kembali, “Apakah teori yang disepakati ilmuwan barat sekalipun adalah hukum pasti yang tak dapat dikritik dan dapat dipastikan kebenarannya?”. Kalau kita berfikir secara logika sederhana pun kita akan meragukan hal itu. Misal contoh, seandainya seluruh hewan dan tumbuhan adalah hasil evolusi dan seleksi alam sebagaimana teori darwin lantas belajar dari manakah kawanan lebah ataupun kawanan semut menciptakan rumahnya dengan perhitungan sangat canggih?

Selanjutnya, kalau kita membaca sejarah penelitian manusia tentu kita akan sepakat bahwa para ilmuwan tak pernah berhenti meneliti. Ada berbagai penelitian di masa lalu yang dirubah ataupun ditolak kebenarannya dengan sebab adanya alat lebih canggih untuk menguji hasil penelitian di masa lalu. Misal, dahulu manusia mengenal bumi sebagai pusat tata surya dengan konsep geosentrisme kemudian datanglah Copernicus, Galileo Galilei, dan ilmuwan setelahnya yang menyatakan bahwa matahari adalah pusat tata surya dengan konsep heliosentrisme. Rupanya hal ini belum berakhir, terbukti dengan munculnya penemuan Black Hole yang digadang-gadang sebagai pusat tata surya yang bahkan matahari pun juga berotasi mengelilinginya.

Lantas, sudikah kiranya kita menyerahkan Alqur’an sebatas sebagai pembenaran bagi penelitian yang tak mengenal sebuah hukum pasti? Seolah-olah Alqur’an harus selalu tunduk dengan kebenaran yang berdasarkan penelitian akal manusia yang masih memiliki seribu kemungkinan.

Kemudian, seandainya hasil sebuah penelitian ilmiah dinyatakan sesuai dengan teks Alqur’an dan ditolak dikemudian hari oleh para peneliti apakah berarti kita juga menolak kebenaran teks Alqur’an?

Di sinilah kita perlu melihat kembali Alqur’an sebagai petunjuk luhur bagi manusia “Kitab (Alqur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa” (Qs. Al-Baqarah : 2). Karena pada dasarnya, al-Qur’an bukan datang hanya sekedar buku penambah wawasan sebagaimana buku-buku perpustakaan pada umumnya. Lebih dari itu, Alqur’an datang sebagai pedoman kehidupan manusia menuju kedekatan dengan Allah.

Baca Juga:  Riwayat dan Kenangan Kiai Moenawir Krapyak

Kita harus mengingat kembali ketika seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah “Duhai Rasulullah, bagaimana perihal bulan sabit yang ia terkadang ia terlihat kecil bagaikan gulungan benang, terkadang ia terlihat besar, terkadang ia terlihat menyusut, bahkan terkadang ia tidak terlihat, bukankah ia terlihat berubah-rubah?”. Maka turunlah ayat Alqur’an “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, “Itu adalah (penunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji.” (Qs. Al-Baqarah : 189). (Refrensi kitab Ma’rifat ash-Shahabat karya Abu Nu’aim al-Ashbihani vol.4 hal 284 cetakan Darul Kutub al-Ilmiyyah Beitu 2007)

Dalam kisah ini, Alqur’an bukan menjelaskan mengenai bentuk bulan sabit sebagaimana permintaan shahabat. Lebih dari itu, Alqur’an justru menjelaskan bahwa bulan sabit adalah penanda waktu untuk beribadah kepada Allah yang salah satunya berupa ibadah haji. Hal ini menunjukkan bahwa Alqur’an seluruhnya berisi petunjuk untuk mendekat kepada Allah bukan sebatas kitab yang mengulas hakikat alam semesta.

Hal ini juga kita lihat ketika para shahabat bertanya mengenai hakikat ruh “Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah, “Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit” (Qs. Al-Isra’ : 85). Dalam ayat ini, Al-Qur’an tidak membahas mendetail mengenai bentuk ruh, justru Alqur’an mengajak agar menyerahkan perihal ruh kepada Allah. Karena pada dasarnya, ilmu yang dapat kita raih dengan akal kita hanya sedikit. Dan akan sangat naif ketika kita memaksakan sebuah kebenaran yang diyakini akal kita di atas penghambaan dan kepasrahan kita kepada Allah. [RZ]

Muhammad Tholhah al Fayyadl
Mahasiswa Jurusan Ushuluddin Univ. Al-Azhar Kairo, dan Alumnus Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri Jatim

    Rekomendasi

    1 Comment

    1. […] Al-Qur’an adalah kitab suci yang sangat memperhatikan ilmu matematika. Kita dapat melihat ayat al-Qur’an menjelaskan istilah sepertiga, dua pertiga, seperempat, seperenam, seperdelapan, dan setengah dalam menghitung bagian harta warisan keluarga. […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini