Dua tahun yang lalu saya pernah menulis artikel bertajuk “Jangan Liberalkan Islamku”, yang di sana saya sudah menjelaskan beberapa point penting tentang apa saja kesalahan liberalisme secara syariat maupun rasional dan point point penting tentang mengetahui sebuah pemikiran itu liberal atau bukan.

Namun, karena kali ini sedang hangat dan viral fenomena tafsir hermeneutika terhadap ayat milk-alyamin maka baiklah saya akan menulis secara spesifik berkenaan topik ini.

Beberapa minggu yang lalu kita dihebohkan oleh sebuah disertasi dari seorang dosen di Jogjakarta yang mana substansi dari desertasi itu adalah mengkaji ulang dan memaknai ulang suatu ayat di dalam al-Qur’an disebutkan kurang lebih 15 kali.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman

والذين هم لفروجهم حافظون إلا على أزواجهم أو ما ملكت أيمانهم فإنهم غير ملومين

“Dan orang-orang yang menjaga kelaminnya kecuali untuk istri-istrinya dan apa yang dimiliki oleh tangan kanannya maka sesungguhnya mereka tidaklah tercela”.

Sampul Disertasi Dr Abdul Aziz

Dalam ayat ini dinyatakan bahwa ada dua konsep untuk menghindari status zina dalam sebuah hubungan seksual,
yang pertama adalah konsep memperistri atau dengan bahasa yang lebih jelas menikahi. Konsep yang pertama ini berlaku hingga hari ini dan hingga hari kiamat, yaitu hubungan antara lelaki dan perempuan bisa dibenarkan apabila sudah dimuat dalam bingkai pernikahan.

Konsep yang kedua adalah memiliki dengan tangan kanan sebagaimana yang tersirat dalam ayat tadi, dan inilah yang membutuhkan keterangan atas ayat yang sementara tidak gamblang itu.
Disini kita sampai pada topik hangat kita.

1) Kata “Milk alyamiin” dengan segala bentuk tasrifnya itu sudah dijelaskan oleh banyak sekali hadist secara spesifik dan sudah di-iya-kan oleh umat Islam selama beberapa abad setelah abad pertama. Dimana Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Salam mengamalkan ayat tersebut dengan suatu sikap yang tidak bisa dita’wil lagi.

Sebab itu diberlakukan secara praktek oleh para sahabat dan tabi’in dan semua mengacu secara kompak pada satu titik yakni (milk alyamiin) adalah Arriqqu atau hamba sahaya alias budak.
Pada masa itu Islam menghalalkan hubungan suami istri antara seorang lelaki dengan hamba sahaya atau budak yang ia miliki. Tentu dengan aturan-aturan yang sudah ditetapkan seperti istibro’ dan lain-lain, sebelum pembaca bertanya-tanya kebingungan.

Jadi, pemaknaan dari kata milk alyamiin itu sudah jelas dan tidak bisa disebut tidak gamblang lagi.
Karena Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Salam berserta para sahabat dan tabi’in sudah mengamalkan langsung maksud dari ayat tersebut.
Bahkan para ulama sudah memberikan aturan-aturan yang sangat panjang tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan itu. Dari sini saja kita sudah ketahui bahwa milk alyamiin itu adalah hamba sahaya atau budak.

Baca Juga:  "Milk Al Yamin" bukan "Milk Al Yasar"

2) Perlu diketahui oleh siapapun yang merasa dirinya ingin mempelajari ilmu agama Islam, bahwa hukum dan aturan di dalam Islam berdasarkan teks al-Qur’an maupun hadist dan dipagari oleh kesepakatan para Ulama itu terbagi menjadi dua bagian.

a) الثوابت أو القطعيات
Hukum-hukum baku yang tidak memiliki ruang ijtihad di dalamnya, baik karena teks agamanya (al-Quran/Hadist) hanya mengarah pada satu penjelasan atau sudah dipagari oleh kesepakatan para ulama setelah mengkaji teks agama itu secara ilmiah.

b) المتغيرات
Hukum-hukum yang tidak baku dan di dalamnya terdapat ruang ijtihad baik karena teks agamanya tidak mengarah pada satu penjelasan atau karena para Ulama tidak menyepakati suatu hukum dalam hal itu.
Dalam bagian kedua ini bisa saja hingga hari ini para ahli ilmu seperti misalnya 18 tokoh aswaja paling berpengaruh abad ini
“yang pernah saya tulis”,
memiliki pandangan baru dan perubahan akan suatu hukumnya.

Karena selain memang ada ruang ijtihad dalam permasalahan tersebut dan para Ulama berselisih faham dalam hal tersebut.

Namun dalam bagian yang pertama tidak seorang pun diperkenankan untuk mengotak-atik hukum yang sudah berlaku. Jangankan hanya sekedar dosen yang (maaf) kapasitas ilmunya belum bisa dipertanggung jawabkan, sekelas 18 tokoh aswaja paling berpengaruh yang pernah saya tulis itu pun (seperti :
Prof. Dr. Sayyid Muhammad al-Maliki, Syaikh Wahbah az-Zuhaili, Syaikh Mutawalli Sya’rawi, Syaikh Romadhon al-Buthy, Habib Umar bin Hafidz).
Beliau semua tidak diberhakkan mengubah atau memperbaharui hukum-hukum tersebut.

Dan berdasarkan apa yang sudah dijelaskan secara baku oleh Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Salam dalam banyak hadistnya yang berkenaan dengan milk alyamiin yang dipraktekkan langsung oleh beliau dan para sahabat hingga kesepakatan para Ulama dari para pemangku madzhab.

Maka makna tafsir dari milk alyamiin itu sudah finish dan termasuk dari الثوابت أو القطعيات ketentuan-ketentuan atau hukum-hukum yang sudah baku dan tidak bisa diganggu gugat oleh perspektif atau ijtihad siapapun.

Hingga dengan itu, sejatinya Disertasi dosen jogja soal konsep milk alyamiin tidak lain adalah bentuk pemaksaan al-Qur’an agar menghamba pada kontekstual masa kini, atau itu tak ubahnya pendiskreditan terhadap khazanah ilmu yang telah baku disepakati oleh para Ulama sejak masa Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Salam hingga detik ini,
atau dengan bahasa frontalnya itu merupakan pemaksaan legalitas atas hubungan seksual kumpul kebo dan suka sama suka.

Baca Juga:  "Milk Al Yamin" bukan "Milk Al Yasar"

Hal itu nyata adalah pemerkosaan terhadap definisi zina itu sendiri, dimana secara definisi:

Pemerkosaan:
Hubungan seksual tanpa dilandasi status pernikahan yang dilakukan secara paksaan

Zina:
Hubungan seksual tanpa landasan pernikahan baik dengan paksaan atau suka sama suka.

Maka natijahnya atau kesimpulan yang dapat dipetik dari definisi masing-masing secara manthiq adalah: korelasi antara zina dan pemerkosaan bukanlah tawafuq atau padanan kata. Melainkan ia adalah umum dan khusus muthlaq yang artinya setiap pemerkosaan adalah zina namun zina bukan harus pemerkosaan.

Lantas konsekuensi apa saja yang bisa berlaku pada dosen yang sedang fenomenal ini berdasarkan apa yang sudah kita bahas adalah sebagai berikut:
Seseorang yang menyelisihi atau mengotak-atik sesuatu yang sudah disepakati oleh para Ulama bisa jadi telah keluar dari agama Islam tanpa ia sadari. Imam Ibnu Hazm dalam kitab al-Ahkam:

أعلموا أن جميع هذا الفرق متفقة على أن إجماع الصحابة إجماع صحيح

“Ketahuilah bahwa seluruh golongan dalam Islam telah sepakat bahwa kesepakatan para sahabat adalah kesepakatan yang benar”

Imam Zarkasyi dalam kitab al-Mantsuur:

أطلق كثير من أئمتنا القول بتكفير جاحد المجمع عليه

“Para ulama dari imam-imam kita telah menyematkan hukum kafir pada orang yang mengingkari/menyalahi perkara yang sudah disepakati”

Para Ulama memperdebatkan hukum seorang yang menyalahi ijma’/ kesepakatan dan hasilnua hanya antara dua hal yakni kafir atau dosa besar.

Dan perlu digaris bawahi bahwa pemaknaan milk alyamiin sejak awal masa Islam hingga masa para sahabat dan tabi’in dan para Ulama salaf (3 – 5 abad setelah Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Salam).

Bahkan semua sekte dalam Islam mulai dari Muktazilah, Ibadiyah, Syiah hingga Wahhaby pun itu sudah disepakati bahwa ia hanya diartikan dengan hamba sahaya/budak.

Sedangkan dalam hadits Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Salam bersabda
أمتي لا تجمع على ضلالة و في رواية على خطإ
“Umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan dalam riwayat lain dalam kesalahan”

Maka secara logika apakah mungkin pendapat dosen Jogja ini bisa disebut objektif (apapun metode dan teori yang dia gunakan dalam menafsirkan ayat tersebut) jika ia menyalahi dan menabrak pendapat yang sudah disepakati oleh ratusan juta ahli ilmu dari masa Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Salam hingga hari ini?

Baca Juga:  "Milk Al Yamin" bukan "Milk Al Yasar"

Saat sebuah permasalahan hukum masih menjadi perselisihan antara para sahabat atau antara para tabi’in hingga para ulama salaf maka tak ada yang lebih berhak antara satu dan lain dalam mengklaim pendapanya adalah representatif dari pendapat yang diridhoi Rasulullah Saw namun semuanya tetap bisa dinisbatkan pada Rasulullah Saw.

Akan tetapi saat sebuah pendapat sudah disepakati oleh para ulama’ terlebih oleh para tabi’in dan sahabat maka pasti secara finish itulah satu-satunya yang berhak mengklaim bahwa itu adalah representatif dari pendapat Rasulullah Saw.

Dan saat itulah lebel ijmaa’ bisa disematkan sehingga siapapun yang menyelisihi atau membantah pendapat itu maka bisa diartikan dia menyelisihi dan membantah Rasulullah Saw.

Dalam beberapa ayat sudah dinyatakan dengan tegas:

و من يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى و يتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى و نصله جهنم و ساءت مصيرا

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”

و ما كان لمؤمن و لا مؤمنة إذا قضى الله و رسوله أمرا أن يكون لهم الخيرة من أمرهم و من يغص الله و رسوله فقد ضل ضلالا مبينا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki mu’min dan tidak pula bagi perempuan mu’minah apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, aka nada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”

Saya sama sekali tidak ingin menyematkan hukum apapun pada dosen Jogja itu karena itu bukan kapasitas saya.
Saya hanya ingin membantah pemikirannya dan saya berharap orangnya mendapat hidayah juga saya menyertakan beberapa pendapat Ulama seputar hukum orang orang yang seperti itu.

Catatan ini sekadar komentar yang diusahakan ilmiah untuk kontroversial yang sangat tidak ilmiah.

Muntaga Hasyir
Pengasuh PP Nurul Mustofa, Omben, Sampang, Pengajar di PP Al Hasan Lilbanin Wal Banat dan PP Al Akbar Proppo, Pamekasan.

Rekomendasi

2 Comments

  1. Mantul yai🙏🙏

Tinggalkan Komentar

More in Santri