Belajar Menjadi Pancasilais Kepada Sang Kiai Moderat Asal Situbondo

“Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Indonesia, harus ditaati, harus diamalkan, harus dipertahankan, dan harus dijaga kelestariannya.” Pesan ini merupakan salah satu wasiat kiai As’ad menyangkut Pancasila, guna menyadarkan rakyat bahwa mereka bukan hanya rakyat Indonesia tapi juga rakyat yang harus pancasilais.

Penerimaan asas tunggal Pancasila dalam Musyawarah Nasional tahun 1983 di pondok pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, sebagai bukti yang mampu mengukuhkan beliau sebagai pahlawan Pancasila. Semua pihak mengagumi keberanian dan kebijaksanaannya. Cahaya kebenaran yang dibawanya mampu menerangi seluruh umat yang saat itu dalam gemerlap kesesatan dan egoisme tinggi. Di mana, saat kobaran perpecahan antara dua kubu—mereka yang menghendaki negara Indonesia sebagai negara Islam dengan nasionalis yang menolak keras hal tersebut—dapat diredam dan disatukan dalam satu suara, yaitu penerimaan asas tunggal Pancasila.

Akhirnya, dalam MUNAS 1983 itu, dengan pelbagai pertimbangkan besar, lahirlah empat butir isi deklarasi NU menyangkut hubungan Islam dan Pancasila yang dideklarasikan di Sukorejo tanggal 21 Desember 1983 yang secara implisit menyatakan bahwa tiada pertentangan antara Islam dan Pancasila sehingga tak perlu dipersoalkan.

Pendek kata, mengingat jasa luhur itu, Kiai As’ad Syamsul Arifin merupakan salah satu tokoh yang pernah memberi udara segar nan sejuk bagi ruang pernapasan Pancasila sebagai asas tunggal Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dari sejarah penerimaan asas tunggal Pancasila ini, rasanya dapat dijadikan standarisasi dalam menentukan siapa sebenarnya golongan ummatan wasatha (Islam moderat) itu. Mengingat kesesuaian gagasan kiai As’ad dalam hal ini dengan nalar-nalar Islam moderat yang tidak melulu mempertimbangkan teks-teks Alquran dan hadis, melainkan juga mempertimbangkan makna yang tersirat di dalamnya. Sebagaimana dalam kitab Mashadir al-Fiqh al-Islamiy, karya Sayyid Mubarak disebutkan:

Baca Juga:  Khilafah, Negara Islam dan Pancasila

أن الأحكام لا تؤخذ إلّا من نص أو حمل على نص

“Hukum-hukum (Islam) hanya dapat diambil dari redaksi (Alquran dan hadis) atau dengan membawa (satu peristiwa) kepada (makna) yang terkandung dalam redaksi tersebut.”

Artinya, dalam penentuan hukum, Islam moderat menerapkan ajaran-ajaran yang anti fundamentalisme, namun juga tidak kebablasan masuk dalam ajaran liberalisme. Kalau kembali ke sejarah, kita dapat melihat bagaimana tingginya dorongan untuk  memiliki sebuah dasar negara.  Terciptanya bentuk dan dasar negara yang utuh adalah hal yang dinantikan anak bangsa dan para pejuang waktu itu. Maka jelas bukan lah sebuah kebijaksanaan ketika harus memaksakan negara sebagai negara Islam.

Dalam satu kaidah fikih disebutkan;

درأ المفاسد أولى من جلب المصالح

“Pencegahan mafsadat lebih diprioritaskan dari pada penarikan maslahat”

Dengan kondisi demikian, ditambah dengan situasi rakyat yang semakin kemelut, tentu meraup kemaslahatan (negara Islam) yang membuahkan perpecahan tidak lebih baik dari memperoleh perdamaian dan persatuan dengan mengorbankan negara Islam.

Berdasarkan seluruh paparan di atas, benang merah yang dapat diambil adalah bahwa kiai As’ad Syamsul Arifin merupakan salah seorang ulama moderat pejuang Pancasila. Gagasan beliau dalam penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal, tidak pernah melenceng dari rel-rel ajaran moderatisme. Jadi dapat dipastikan, setiap muslim yang membela dan menganggap Pancasila sebagai harga mati, pasti Islamnya moderat. Begitu pula sebaliknya, setiap orang yang Islamnya moderat, pasti pancasilais, membela dan memperjuangkan Pancasila walau dengan tetes darah terakhirnya. [HW]

Ahmad Dirgahayu Hidayat
Alumni Ma'had Aly Situbondo dan Mahasiswa Universitas Ibrahimy Situbondo Jawa Timur

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini