Pada 16 September 2016, saya membongkar lemari milik pakde saya, KH. Achmad Zaini Syafawi. Alhamdulillah menemukan kitab tulisan tangan milik simbah saya, KH. Syafawi Ahmad Basyir. Ditulis di atas kertas kuno, Tafsir Jalalain ini sudah tidak disertai sampul. Jilidannya nyaris protol, dan hanya menyisakan halaman yang mengupas QS. Al-Baqarah 222 sampai QS. An-Nahl 22 (juz 2 sampai juz 14). Ditulis menggunakan dua tinta. Merah untuk ayat, hitam untuk tafsirnya.
Karena protolan, maka tidak ada keterangan siapa khattath kitab ini, bisa simbah saya, bisa juga orang lain yang mereproduksi kitab ini sebagai pekerjaan sampingan yang dilakoni sebagian santri zaman dulu (etika menyalin sebuah kitab secara manual sudah dibahas oleh KH. M. Hasyim Asy’ari dalam Adabul Alim wal Mutaallim).
Saya menduga, mbah saya mengaji kitab tafsir ini ke Kiai Khazin, menantu Kiai Abdurrahim, Siwalanpanji, Sidoarjo, pada dekade 1920-an. Kajian tafsir memang menjadi salah satu ciri khas pesantren ini. Apalagi, pada bulan puasa, Pondok Siwalanpanji yang didirikan pada 1787 M ini juga kilatan Tafsir Jalalain yang dikhatamkan setiap tanggal 29 Ramadan.
Di antara pesantren yang mulai mempopulerkan khataman Tafsir Jalalain adalah pesantren Siwalanpanji ini. Kiai Syafawi kemudian membawa tradisi ini manakala memimpin Pondok Pesantren Mabdaul Ma’arif, Jombang-Jember.
Kiai Syafawi secara rutin mengadakan khataman Tafsir Jalalain selama sebulan penuh saat Ramadan. Ngaji mulai bakda subuh, berhenti hanya saat salat berjamaah, lalu terus dilanjutkan hingga malam hari. Kitab yang ditulis oleh duet guru murid, Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi, ini memang menjadi salah satu kitab tafsir paling populer di Pesantren.
Sepeninggal Kiai Syafawi pada 1984, tradisi pembacaan Tafsir Jalalain dilanjutkan oleh KH. Achmad Zaini (Yai Mad), putra pertamanya. Sepeninggal Yai Mad pada 2017, ngaji Tafsir Jalalain dilanjutkan oleh Gus Nizam Masyhuri menantu Yai Mad, sampai sekarang.
Kembali soal kitab tulisan tangan. Naskah kitab tulisan tangan lainnya–protolan tanpa sampul dan lembar terakhir banyak yang hilang–setelah saya baca sekilas adalah Hasyiah Muhammad Ad-Dasuqi Ala Syarh Umm al-Barahin Syaikh Muhammad Yusuf As-Sanusi. Sebuah kitab bertema teologi yang menjadi salah satu penopang akidah Asy’ariah di kalangan kaum Ahlussunnah wal Jama’ah.
Selain kitab Tafsir Jalalain ini, tahun 2015 yang lalu saya juga menemukan (kembali) kitab Bahjat Al-Ulum fi Syarh fil Bayan al-‘Aqidah al-Ushul alias interpretasi (syarh) kitab Aqidat al-Ushul karya Imam Abu Laits As-Samarqandi. Kitab tulisan tangan ini nyaris hilang saat keluarga kami merenovasi rumah beberapa tahun silam. Saya tidak tahu kapan Kiai Syafawi mengaji kitab Bahjat al-Ulum ini, dan kepada siapa beliau mendalami kitab ini.
Kitab Aqidatul Ushul ini masyhur dengan sebutan Kitab “Enem Bis” alias kitab “Enam Basmalah”. Maksudnya, permulaan bab dalam kitab akidah ini selalu dimulai dengan kalimat Bismillahirrahmanirrahim. Kitab “Enem Bis” ini juga disebut dengan kitab Asmarakandi Jawa. Di dalamnya juga memuat bagian fikih Mazhab Syafi’i elementer yang ditambahkan penerjemah tak dikenal (Abu Laits As-Samaqandi sendiri merupakan pengikut Mazhab Hanafi). Kitab ini kemudian dikomentari secara lengkap oleh Syekh Nawawi al-Bantani melalui Qatr al-Ghaits, dan terjemahan Jawa KH. Ahmad Subki Pekalongan berjudul Fath al-Mughits. Dalam beberapa periode belakangan kitab ini juga banyak digunakan di berbagai pesantren.
Sebelum populer kitab Aqidatul Awam karya Syekh Ahmad al-Marzuqi, Tijan Ad-Darari-nya Syekh Nawawi al-Bantani, maupun Ummul Barahin-nya Syekh Sanusi, Kitab “Enem Bis” inilah yang dipakai dalam silabus pendidikan di bidang teologi di pesantren Jawa, Sunda maupun Madura pada abad XIX hingga awal abad XX. Aqidatul Ushul ini disebut dalam Serat Centini dengan istilah Semorokondi, dinisbatkan pada nama penulisnya, Syekh Abu Laits
As-Samarqandi.
Berdasarkan catatan Balitbang Departeman Agama, 2005, baik Aqidatul Ushul maupun Bahjatul Ulum ini tidak lagi diajarkan di berbagai pesantren.
Secara fisik beberapa pesantren menyimpan kitab seperti ini, namun karena tidak lagi diajarkan, maka secara keilmuan (isi) dan secara fisik, keberadaanya menjadi barang antik. Gus Dur pernah menghibahkan makhtutath (manuskrip) kitab ini ke Perpusnas RI tahun 1993.
—
Wallahu A’lam Bisshawab. [HW]
[…] tetapi, bagaimana pun juga Tafsir Jalalain tetap menjadi sajian primadona di dunia pesantren. Alasan pertama adalah pengkajian kitab […]