ijazah

Ijazah Istigasah KH Hasyim Asy’ari kepada Kiai Luqman Tremas
——————————
Saat ujian datang bertubi-tubi, saat bencana dan wabah menghampiri, seperti halnya virus Corona, senjata yang paling ampuh untuk menolaknya adalah dengan memohon pertolongan kepada Allah lewat bacaan Istigasah atau wirid-wirid tertentu. Istigasah diyakini mampu mengetuk dan membuka “pintu langit”.

Bagi kita warga Nahdliyyin, Istigasah adalah amalan yang sudah membudaya. Kadang dibaca tiap selapan sekali (35 hari), seminggu sekali, bahkan ada yang mengamalkan sehari sekali. Tergantung seberapa berat masalah hidup yang dihadapi.

Bacaan dan bilangan Istigasah pun berbeda-beda. Wirid Istigasah seperti halnya ukuran obat. Beda dokter, tentu beda pula ukuran dosis yang diberikan.

Dari sekian banyak amalan Istigasah yang sudah banyak diamalkan. Ada satu wirid Istigasah langka. Baru beberapa tahun ini dikenal dan diamalkan. Wirid Istigasah itu disusun oleh Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama. Dan salah satu kiai yang mendapat ijazah Istigasah itu adalah Kiai Luqman, kiai saya di Tremas.

Ceritanya begini. Selasa, 23 Syawal 1435 Hijriyah. Saya didawuhi nderekke Kiai Luqman pergi ke luar kota. Hari itu beliau memiliki tiga agenda berbeda. Pagi ke Ponorogo sowan salah seorang kiai sepuh, kemudian siangnya ke Magetan takziyah wafatnya Pengasuh pesantren Temboro KH Uzairon dan malam harinya mengisi pengajian peringatan HUT RI di sebuah desa di Wonogiri.

Kali ini kami pergi ditemani oleh ibu nyai. Kiai Luqman yang menyetir sendiri mobilnya. Saat itu beliau memang kerap membawa sendiri mobilnya tanpa menggunakan sopir pribadi. Dan seperti biasa saya yang disopiri oleh beliau. Hehe..

Sampai di Ponorogo kami mampir dulu di rumah Gus Munir, salah satu keluarga Pondok Jenes. Kemudian bersama-sama sowan kepada Kiai Fahruddin, pengasuh pesantren Thoriqul Huda, Cekok, Kecamatan Babadan.

Sowan Kiai Luqman tentunya dalam rangka “ngalap barokah“, meminta doa-pangestu agar senantiasa istiqamah membimbing santri Pondok Tremas. Kiai Luqman memang gemar sekali bersilaturahmi, utamanya kepada Kiai sepuh. Apalagi saat itu masih dalam suasana hari raya Idul Fitri.

Baca Juga:  PWNU Jateng Peduli Banjir Semarang

Pada malam hari sebelum sowan, Kiai Luqman sempat berkomunikasi intens dengan salah satu cucu Hadratusyekh, Gus Zaki Hadzik. Keduanya saling berbagi kabar penting tentang sebuah wirid Istigasah langka yang pernah disusun oleh Hadratusyekh Hasyim Asy’ari, beberapa puluh tahun lalu dan pernah diijazahkan kepada salah seorang putranya.

Entah karena suatu hal. Di Tebuireng sendiri, ternyata teks Istigasah itu sudah “tidak ada” lagi yang menyimpannya. Maka dicarilah informasi, siapakah gerangan santri Tebuireng yang masih menyimpan dan mengamalkannya.

Singkat cerita, didapati kabar ada seorang kiai sepuh di kota Reog Ponorogo yang masih mengamalkannya. Dan santri Tebuireng itu adalah Kiai Fahruddin Dasuki. Maka Kiai Luqman segera sowan kesana.

Di ndalem-nya yang sejuk itu, kiai Luqman berbincang cukup lama dengan Kiai Fahruddin yang saat itu ditemani beberapa putranya. Perbincangan berlangsung cukup hangat. Hampir dua jam.

Saya yang duduk agak jauh dari kiai Luqman diberi tugas mendokumentasikan pertemuan antara dua kiai beda generasi itu. Waktu itu saya membawa semacam kamera flip, kamera kecil khusus untuk merekam video.

Mula-mula Kiai Fahruddin bercerita tentang masa-masa nyantri di Tebuireng, ngaji kepada Kiai Kholiq Hasyim. Kemudian topik beralih seputar pesantren, NU dan bangsa. Kiai sepuh ini memang dikenal getol menjaga nilai kebangsaan dan kenegaraan.

Yang dapat saya ingat, Kiai Fahruddin juga sempat bercerita tentang peristiwa pernikahan simbah KH Harits Dimyathi, ayah Kiai Luqman, dengan salah satu putri Hadratusyekh yang bernama Fathimah. Saat itu Kiai Fahruddin yang masih menjadi santri anyaran turut menyaksikan prosesi ijab qobul antara putra Simbah KH Dimyati Tremas itu dengan salah putri Hadratussyekh. Walaupun pada akhirnya ikatan pernikahan itu tidak berlangsung lama.

Baca Juga:  Membaca Kitab Kuning di Era Digital

Di tengah perbincangan, dengan rasa takdhimnya Kiai Luqman lalu memberanikan diri “matur“, menanyakan tentang sebuah Wirid Istigasah yang pernah disusun oleh Hadratusyekh Hasyim Asy’ari. Seperti diketahui, Hadratusyekh selain dikenal sebagai kiai yang mampu menulis berpuluh-puluh kitab, beliau juga menyusun wirid-wirid tertentu untuk diamalkan para santrinya saat itu.

Dengan tutur kata lembut dan penuh kerendahan hati, Kiai Fahruddin menjawab pernah mendapat ijazah wirid Istigasah langka itu dari gurunya, KH Kholiq Hasyim. Kiai Kholiq merupakan kiai Tebuireng generasi ke-5 yang cukup disegani oleh masyarakat, karena memiliki ilmu kanuragan yang cukup tinggi.

Istighotsah itu, kata Kiai Fahruddin masih diamalkannya. Mendengar jawaban itu, wajah Kiai Luqman tampak semringah. Sebab salah satu wirid istighosah, saya menyebutnya seperti “harta karun” langka telah berhasil ditemukan.
*
Kiai Fahruddin kemudian mengambil secarik kertas, yang didalamnya berisi wirid Istigasah. Menurut Kiai Fahruddin, ijazah Istigasah ini diperolehnya langsung dari KH Kholiq Hasyim. Kiai Kholiq mendapat ijazah langsung dari Ayahnya, Hadratusyekh KH Hasyim Asy’ari.

Saya menyaksikan proses pemberian ijazah Istigasah langka itu kepada Kiai Luqman. Sebelumnya, Kiai Fahruddin tampak “ngendikan lirih”, dengan suara yang hanya mampu didengar Kiai Luqman. Sepertinya beliau menyampaikan suatu pesan yang amat penting.

Setelah itu mulailah proses ijab-qobul itu. Kiai Fahruddin mengawali “ijazahan” dengan bacaan basmallah dan shalawat. Lalu beliau juga memberikan telaah dan tashih (pembenaran) pada tiap bacaan Istigasah itu. Satu persatu bacaan Istigasah yang diawali dengan Asmaul Husna, istigfar itu beliau bacakan sesuai dengan urutan dan jumlah bacaannya.

Kiai Luqman lalu mantap menjawab “Qobiltu” sebagai akad telah menerima wirid itu. Jadilah transmisi sanad wirid dari Tebuireng ini nyambung ke Tremas. Alhamdulillah. Kiai Fahruddin mengakhiri ijazahan dengan membaca doa dan kamipun ikut mengamininya. Teks Istigasah kemudian disimpan dan dibawa pulang ke Tremas.

Baca Juga:  94 NU; Soal Kemandirian, Moderasi, Oligarki Hingga Dakwah Digital

Selang beberapa bulan setelah memberikan ijazah ini, Kiai Fahruddin wafat dipanggil kehadirat Allah SWT. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Namun wirid Istigasah itu sempat beliau ijazahkan pula kepada salah satu dzuriyyah Tebuireng, Gus Zaki Hadzik.

Jadi sebelum wafat, Kiai Fahruddin telah “mengembalikan” wirid Istigasah itu ke tempat asal pertama kali wirid itu disusun, yaitu dari Tebuireng.

Ada secuil kisah tentang Istigasah ini. Konon KH Hasyim Asy’ari pernah memprediksi akan terjadinya gonjang-ganjing yang akan menimpa Indonesia wa bil khusus Nahdlatul Ulama.
*
Kiai Luqman merupakan sosok kiai yang gemar berbagi. Utamanya dalam hal keilmuan. Beliau sangat jembar, senang berbagi kepada siapa saja dan dimana saja. Lebih-lebih wirid Istigasah yang telah diperolehnya. Seperti pesan dari Kiai Fahruddin, Istigasah itu agar diamalkan oleh para santri dan umumnya warga nahdliyin.

Sepanjang saya di Tremas, saya menyaksikan Kiai Luqman beberapa kali memberi ijazahan tertentu, seperti talkin dzikir “La Ilaha illallah” yang diperolehnya dari Simbah KH Maimun Zubair, shalawat bahriyyah, sampai wirid Istigasah Hadrasatusyyekh KH Hasyim Asy’ari itu.

Untuk wirid Istigasah Hadrasatusyyekh KH Hasyim Asy’ari ini, sekarang sudah mulai diamalkan bersama-sama oleh santri Tremas dan dibaca setiap malam Selasa Kliwon. Kiai Luqman sendiri yang memimpin langsung amalan Istigasah ini.

Bagi santri Tremas, alumni atau siapa saja yang ingin mengamalkan Istigasah itu. Silahkan sowan langsung kepada Kiai Luqman di Tremas. Dan saya yakin, semua bentuk keilmuan sampai wirid-wirid yang ada di Tremas, semuanya telah melewati proses transmisi, sambung-menyambung hingga sampai kepada Rasulullah SAW. Wallahu a’lam. [HW]

Zaenal Faizin
Santri Alumni PP Tremas Pacitan dan Guru MI Islamiyah Reban Batang Jawa Tengah

    Rekomendasi

    2 Comments

    1. […] Kedekatan Gus Dur dengan para habaib memang dipupuk melalui ayahnya, KH. A. Wahid Hasyim yang beberapa kali mengajak Gus Dur kecil sowan kepada Habib Ali al-Habsyi Kwitang, Jakarta. [Catatan: ketika Jepang menjajah Indonesia, mereka mengawasi dua ulama sepuh: Habib Ali “ditempel” Abdul Mun’im Inada. Sedangkan di Tebuireng, Abdul Hamid Ono menempel kakek Gus Dur, KH. M. Hasyim Asy’ari]. […]

    2. […] Indonesia. Beliau merupakan pengasuh Pondok Pesantren Tambak Beras Jombang, Jawa Timur. Bersama KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah mendirikan jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Kisah