“Iko Lho Elingke, Nek Sing Ngelingke Aku Dak Payah”
Saat masih mondok di Pondok Pesantren Mathali’ul Huda (PMH Pusat) Kajen, Ramadan merupakan momen yang selalu saya tunggu. Sebab, selama Ramadan wallahu yarham Abah KH Ahmad Nafi’ Abdillah selalu ngimami salat maktubah 5 waktu, momen dimana para santri bisa selalu berjamaah dengan beliau sepanjang waktu. Selain itu, selama Ramadan, Abah selalu berada di Musala Thariqah untuk beruzlah, sehingga rasa-rasanya, para santri selalu ditemani oleh beliau sepanjang Ramadan.
Pernah, suatu ketika, saat Magrib tiba, santri yang mengikuti jamaah salat Magrib bersama beliau hanya sedikit, lantaran sebagian masih berbuka puasa, dan sebagian yang lain masih ada yang sibuk di kamar mandi. Santri-santri yang sedang mandi di kamar mandi samping Musala ini suaranya begitu bising. Teriakan-teriakan dan gedoran pintu menggaung-gema ke seluruh penjuru Musala. Riuh redamnya betul-betul mengganggu jalannya Salat Magrib berjamaah santri dengan Abah.
Selepas salam, dengan suara lembutnya, Abah berkata kepada santrinya yang ikut berjamaah, sembari menunjuk ke arah kamar mandi yang sangat bising itu,
“Iko lho elingke, nek aku sing ngelingke dak payah.” Itu (yang sedang pada mandi dan berisik) lho ingatkan. Kalau aku yang mengingatkan, bisa payah. Santri yang mendengar dawuh Abah saat itu pun langsung Sami’na wa Atha’na. Seusai salat berjamaah, teman-temannya yang tadi mandi di kamar mandi samping Musala itu langsung diingatkan dengan pesan Abah yang sangat mengagetkan itu.
Melihat kejadian itu, saya kemudian merenung, mengapa Abah mengutus santrinya untuk mengingatkan santrinya yang lain, supaya ketika ada orang sedang Salat berjamaah di Musala, tidak ramai-bising di kamar mandi. Hal yang sama juga sering saya temui, dan saya pertanyakan lama dalam diri saya, ketika saya menjadi pengurus pondok. Ketika melihat pelanggaran santrinya, Abah tidak langsung menegur. Salah satu contoh yang sering terjadi adalah saat beliau ngimami Salat Subuh sementara sebagian santrinya masih tertidur pulas di Asrama Pondok.
Pada hari-hari biasa, di luar Ramadan, Abah istiqamah mengimami jamaah Salat Subuh di Musala. Biasanya, dari Ndalem beliau berangkat ke Musala, melintasi Asrama Pondok. Terkadang, saat beliau berangkat ke Musala, santri-santri masih tertidur pulas di teras Asrama. Namanya juga pengurus teman sebaya, kadang ketika membangunkan temannya tidak dihiraukan, atau malah sama-sama masih tidurnya baik santri dan pengurusnya, sehingga tidak ikut Salat Subuh berjamaah bersama Abah.
Dulu, saya pernah punya pertanyaan yang saya pendam dalam-dalam, mengapa Abah tidak membangunkan dan terkesan membiarkan para santri yang masih tertidur, saat beliau melintas di area Pondok untuk mengimami Salat Subuh? Padahal santri-santri itu tidur di teras Asrama, juga teras Ndalem Mbah Dullah, yang selalu tampak jelas di depan mata saat Abah miyos setiap kali hendak ngimami Subuh?
Dulu, saya selalu menjawab dengan Husnudzdzon, bahwa Abah sedang melatih para pengurus Pondok, supaya menjadi pribadi-pribadi yang dewasa dan bertanggung jawab, mau berkhidmah kepada Pondok secara sungguh-sungguh. Dan membangunkan para santri untuk berjamaah Subuh merupakan tugas yang harus dijalankan oleh Pengurus. Kedewasaan dan latihan tanggung jawab saat menjadi pengurus ini adalah modal penting bagi para santri saat mereka nanti harus kembali ke masyarakat.
Tetapi, pagi ini aku terhenyak. Saat sedang membaca Tafsir Mafatih al-Ghaibnya Imam Fakhruddin Ar-Razi, aku menemukan sebuah hadits yang dinukil Imam Ar-Razi dari Kitab Muwaththa’-nya Imam Malik, yang kejadiannya mirip persis dengan kejadian bagaimana Abah Nafi’ mentarbiyyah santri-santrinya:
رُوِيَ «أنَّهُ عَلَيْهِ السَّلامُ دَخَلَ المَسْجِدَ فَرَأى نائِمًا، فَقالَ: يا عَلِيُّ نَبِّهْهُ لِيَتَوَضَّأ، فَأيْقَظَهُ عَلِيٌّ، ثُمَّ قالَ عَلِيٌّ: يا رَسُولَ اللَّهِ إنَّكَ سَبّاقٌ إلى الخَيْراتِ، فَلِمَ لَمْ تُنَبِّهْهُ ؟ قالَ: لِأنَّ رَدَّهُ عَلَيْكَ لَيْسَ بِكُفْرٍ، فَفَعَلْتُ ذَلِكَ لِتَخِفَّ جِنايَتُهُ لَوْ أبى
Diriwayatkan, bahwa sesungguhnya Nabi SAW pernah masuk masjid lalu beliau melihat ada seseorang yang masih tidur (di masjid). Beliau lalu berkata, “Wahai Ali, bangunkanlah dia supaya ia lekas berwudhu”.
Sayyidina Ali pun lantas membangunkan orang itu. Kemudian Sayyidina Ali bertanya kepada Baginda Nabi, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau adalah orang yang sangat cekatan untuk melakukan kebaikan-kebaikan, lalu mengapa engkau tidak membangunkannya?”
Nabi menjawab, “Karena sesungguhnya penolakannya terhadapmu (terhadap perintahmu agar ia bangun) itu tidak termasuk sebuah kekufuran. Maka kulakukan itu, agar supaya pelanggarannya ringan, andaikata ia menolak (untuk dibangunkan).“
Membaca ‘ibarat ini, aku benar-benar tersentak. Tiba-tiba rasa rindu Abah menusuk hati dan meruyak. Maturnuwun Bah.
Al-Fatihah.
“Pinta santrinya menjadi Imam,
Salat Tarawih bermalam-malam,
Dalam Ramadan sibuk berqiyam,
Kiai Nafi’ Abdillah Salam.”
(Salah satu petikan Ruba’iyyat, dalam “Ruba’iyyat Kerinduan untuk Kiai Nafi’ Abdillah Salam, yang pernah saya gubah selepas beliau wafat. Al-Fatihah, lagi). [HW]