Kiai Sahal dikenal sebagai pemikir keislaman, kemasyarakatan, dan kebangsaan yang core value-nya ada pada kemaslahatan. Kemaslahatan dalam kajian Ushul fiqh adalah mendatangkan kemanfaatan dunia akhirat dan menolak kerusakan dunia akhirat (جلب المنافع حالا ومألا ودرأ المفاسد حالا ومألا).
Kiai Sahal mampu menggabungkan kajian Fiqh yang dominan qoulinya (tekstual) dengan kajian Ushul fiqh yang dominan manhajinya (metodologis). Di sinilah letak tawassuth (توسط، moderasi) pemikiran KH Sahal.
Beliau bergumul dengan teks-teks fiqh dan Ushul Fiqh sejak kecil di bawah bimbingan Ayahnya, guru-gurunya di PIM, KH Muhajir Bendo Kediri, KH Zubair Dahlan Sarang, Syaikh Yasin bin Isa Al Fadani Mekah, dan lain-lain.
Dalam konteks Ushul fiqh beliau punya dua karya dan dalam qawaid fiqh beliau punya satu karya. Thariqatul Hushul Ala Syarhi Ghayatil Wushul dan Al-Bayanul Mulamma’ An Alfadzil Luma’ adalah karya Kiai Sahal dalam bidang Ushul fiqh. Sedangkan dalam bidang qawaid fiqh adalah Anwarul Bashair ala Syarhi Al-Asybah Wa An-Nadhair.
Dalam perjalanannya Kiai Sahal dikenal dengan pakar Ushul fiqh pesantren yang diakui secara Nasional. Maka wajar ketika pendirian Ma’had Aly Fi Qismi al-Fiqhi wa Ushulihi di Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyyah Situbondo Jawa Timur asuhan KH As’ad Syamsul Arifin, Kiai Sahal datang sebagai Pakar Ushul Fiqh Nasional yang dibutuhkan untuk memberikan pencerahan intelektual dalam bidang Ushul fiqh. KH A Mustafa Bisri dalam launching FISI IPMAFA mengatakan, Kiai Sahal adalah Ulama yang mewarisi dua ilmu sekaligus dari KH Abdul Wahab Hazbullah dari sisi Ushul fiqhnya dan KH Bisri Syansuri dari sisi fiqhnya.
Beberapa kitab Ushul fiqh dan qawaid fiqh yang sempat penulis mengaji langsung dengan Kiai Sahal antara lain: al-Mawahib as-Saniyyah ala Al-Faraid al-Bahiyyah dalam Bidang qawaid fiqh, Jam’u al-Jawami’ karya Tajuddin as-Subki, Al-Ihkam Fi Ushul al-Ahkam karya Al-Amidi, Al-Waraqat karya Imam Haramain, Syarhul Waraqat karya Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki, dan Al-Bayanul Mulamma’ karya Kiai Sahal sendiri.
Melihat kepakaran KH MA Sahal Mahfudh dalam Bidang fiqh, Ushul fiqh, dan qawaid fiqh ini, maka wajar jika pemikiran Kiai Sahal bercorak tawassuth (moderat). Menurut KH Said Aqil Siradj, Tidak mungkin tawassuth lahir dari orang bodoh. Tawassuth hanya lahir dari orang yang Punya pengetahuan luas, sehingga tidak ekstrim, fanatik, dan jumud (stagnant).
Tawassuth atau berada di tengah, tidak ekstrim kanan atau ekstrim kiri, digambarkan dalam al-Quran:
وكذلك جعلناكم أمة وسطا لتكونوا شهداء علي الناس
Dan begitu kami jadikan kamu umat yang Ada di tengah (Adil pilihan) supaya kamu menjadi Saksi atas manusia (QS. Al-Baqarah 143)
Ada maqalah:
خير الامور اوسطها
Sebaik-baiknya perkara adalah yang ada di tengah
Tawassuth (moderasi) ada dalam Wilayah fiqh, tauhid, tasawuf, sosial, politik, dakwah, dan lain-lain.
Kiai Sahal Mahfudh
Dalam konteks pemikiran fiqh dan ushul fiqh, tawassuth pemikiran Kiai Sahal ada dalam bendera fiqh sosial, yaitu fiqh yang bertujuan untuk kemaslahatan umat.
Dalam fiqh sosial ada banyak contoh tawassuth pemikiran Kiai Sahal. Salah satunya adalah bolehnya perempuan menjadi pemimpin jika punya kemampuan yang memadai. Secara faktual, Kiai Sahal adalah tokoh Ulama yang mendorong partisipasi perempuan di ruang publik dengan kunci pengembangan sumber daya manusia. Tampilnya Ibu Nyai Nafisah Sahal sebagai aktivis perempuan dalam skala lokal (Pati sebagai Ketua Muslimat NU Dan Anggota DPRD), regional (sebagai Ketua Muslimat NU Jawa Tengah) dan Pusat (Anggota DPD RI) adalah bukti kongkret keberpihakan Kiai Sahal kepada perempuan untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat, bangsa dan Negara.
Dalam konteks ini, Kiai Sahal tidak mengekang perempuan sebagai makhluk domestik dan tidak membebaskannya tanpa nilai-nilai agama yang mengharuskan perempuan menghiasi dirinya dengan akhlakul karimah dan menjauhi hal-hal yang dilarang agama.
Contoh yang lain adalah Zakat. Zakat Tidak hanya gugur dengan diberikan kepada Mustahiq, tapi sejauhmana Zakat dapat dikelola sehingga mampu menjadi instrument pengentasan kemiskinan umat. Dalam konteks ini, Zakat Harus dikelola dengan manajemen profesional oleh praktisi Dan ilmuwan yang amanah sehingga Ada dampak menuju kemandirian Ekonomi umat.
Dalam konteks politik NU, Kiai Sahal termasuk Ulama yang getol memperjuangkan khittah. Dalam khittah, warga NU bebas memilih partai politik sehingga Ada kematangan berpolitik warga NU dan terhindar dari fanatisme ekstrim yang berbahaya dalam demokrasi.
Khittah adalah tawassuth politik NU supaya NU tidak terjebak dalam politik praktis yang memperebutkan kekuasaan dan disisi lain NU bisa memaksimalkan perannya dalam bidang sosial kemasyarakatan.
Dalam konteks tasawuf, Kiai Sahal selalu mendorong ikhtiyar (berusaha) dengan tidak menghilangkan tawakkal (pasrah). Berikhtiyar sambil bertawakkal adalah tawassuth Kiai Sahal. Tawakkal saja tanpa ikhtiyar adalah fatalisme yang menghilangkan etos kemandirian umat. Ikhtiyar tanpa tawakkal menghilangkan dimensi spiritual kerja. Kerja dengan niat mencari anugerah Allah adalah ibadah sehingga bernilai Religius, bukan sekuler.
Dalam konteks dakwah, Kiai Sahal tidak hanya mengedepankan retorika, tapi justru menekankan perubahan riil di masyarakat, baik dalam konteks pemahaman, perubahan perilaku, maupun dalam konteks kemandirian ekonomi umat. Dakwah bil Hal (bukti langsung) lebih efektif dari pada sekedar retorika-teori di atas panggung yang ukurannya hanya dari banyaknya masa yang hadir dan keterpukauan masa dengan orasi muballigh.
Dalam konteks relasi kemanusiaan, Kiai Sahal tidak hanya bergaul dengan orang Muslim, tapi juga dengan nonmuslim sebagai bukti bahwa Islam adalah Rahmatan Lil-Alamin. Dalam konteks ibadah, masing-masing umat beragama beribadah sesuai keyakinannya. Namun dalam konteks mu’amalah (interaksi sosial ekonomi), kerjasama aktif antar umat manusia lintas agama tidak terelakkan dalam rangka membangun bangsa dalam segala aspek kehidupan.
Bahkan Kiai Sahal mendorong umat Islam sebagai mayoritas tampil sebagai pelindung minoritas. Bukan sebaiknya, menindas minoritas. Umat Islam harus menjadi Contoh yang baik dalam demokrasi yang membawa manfaat nyata bagi kehidupan berbangsa dan bernegara dalam skala luas.
Demikian tawassuth Kiai Sahal yang menjadi ‘ibrah bagi santri, kiai, dan akademisi dalam rangka menghadirkan Islam sebagai problem solving bagi kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara.