Islam adalah agama kemanusiaan. Banyak dalil di dalam Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang tidak hanya berfokus kepada hubungan intens antara hamba dengan Tuhan, melainkan juga seruan menjalin hubungan harmonis sesama manusia. Spirit Islam yang tinggi untuk kemanusiaan inilah yang mesti diejawantahkan dalam kehidupan antar manusia. Spirit beragama yang tinggi seharusnya berbanding lurus dengan spirit kemanusiaan yang tinggi. Karena agama hadir untuk memupuk rasa kemanusiaan dan keadilan bukan untuk membeda-bedakan.
Di Indonesia, realitas yang ada justru menunjukkan hal sebaliknya. Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dirjen Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri RI merilis data kependudukan bersih (DKB) Indonesia pada bulan Agustus 2024 menunjukkan bahwa dari jumlah penduduk Indonesia sejumlah 282.477.584 jiwa, sebanyak 87,08 persen atau 245.973.915 jiwa memeluk agama Islam. Dan kita tahu bersama bahwa lebih dari separuh muslim di Indonesia adalah melakukan amaliyah ala Nahdlatul Ulama (NU).
Jaring-jaring inilah yang semestinya mulai diurai dengan berbagai terobosan oleh semua pihak. Baik pemerintah maupun masyarakat sipil harus bekerja sama untuk mewujudkan cita-cita kehidupan yang lebih baik untuk masyarakat Indonesia yang notabene adalah warga jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Bahwa, dengan didasarkan semangat keagamaan dan kemanusiaan yang tinggi dapat membantu masyarakat di bawah garis kemiskinan merengkuh jalan kesejahteraan.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Jumlah penduduk miskin pada Maret 2024 sebesar 25,22 juta orang, menurun 0,68 juta orang terhadap Maret 2023. Inilah yang menjadi PR bersama untuk mengangkat harkat dan martabat sebagai manusia. Karena diakui maupun tidak, adanya garis kemiskinan di tengah-tengah masyarakat ini akan menimbulkan sebuah ketimpangan sosial yang akan banyak berdampak. Masyarakat miskin kebanyakan akan dipinggirkan, tidak dihargai, dan dipandang sebelah mata. Bahkan bisa jadi menjadi korban tindakan kriminal. Tidak akan ada yang mau menjadi kaum rentan. Namun, tatanan sosial, minimnya akses pendidikan, kesehatan, dan himpitan ekonomi bisa jadi hal-hal yang sulit untuk diputus sebagai sebuah siklus yang berulang dan merugikan masyarakat bawah.
Kita juga tidak bisa menutup mata, adanya program-program sosial, beasiswa pendidikan, bantuan kesehatan, bantuan modal usaha dari pemerintah sangat memberikan dampak bagi masyarakat untuk berkembang kehidupannya. Namun, kita juga tidak boleh merasa cepat puas untuk tidak melakukan percepatan pembangunan sumber daya manusia untuk masa depan Indonesia yang lebih baik. Inilah kemudian, hadirnya lembaga-lembaga pengelola dana zakat, infak, dan sedekah menjadi pihak yang urgent untuk membantu percepatan pembangunan SDM berkualitas.
Peran Dana ZIS untuk Kemanusiaan
Optimalisasi dana Zakat, Infak dan Sedekah di Indonesia dapat menjadi salah satu solusi untuk mengentaskan kemiskinan. Upaya berbagai lembaga zakat seperti BAZNAS, LAZISNU, Dompet Dhuafa, dan lainnya telah berupaya menggalakkan pendayagunaan dana Zakat untuk Zakat Produktif. Hal ini bertujuan untuk mengangkat penghasilan ekonomi mustahik dengan modal usaha yang diberikan oleh lembaga-lembaga zakat. Jadi zakat yang disalurkan tidak hanya akan habis dikonsumsi namun juga berkelanjutan untuk menyambung hidup dalam jangka panjang.
Langkah tersebut sebetulnya bukan hanya perihal mengentaskan kemiskinan namun lebih dalam sebagai implementasi tentang ajaran agama Islam yang menyebut bahwa di dalam harta orang yang dikategorikan mampu untuk berzakat memang terdapat hak dari orang-orang miskin. Di sinilah juga perlu adanya edukasi bahwa orang-orang yang berhak menerima zakat jangan sampai mereka meminta lebih dahulu akan hak mereka, namun sudah semestinya muzakki beserta amil mengelola dana zakat untuk membuat hidup orang yang berhak menerima zakat dapat menjalani hidup yang mulia.
Dana ZIS yang dihimpun oleh BAZNAS terhitung dari Januari-September 2024 sebesar Rp 958.182.131.785 dengan akumulasi penerima manfaat sebanyak 2.282.013 Jiwa. Hal ini menunjukkan dua hal. Pertama, sebagian masyarakat telah paham tentang keutamaan membayar zakat, mengeluarkan infak dan sedekah. Kedua, seharusnya kesadaran muzakki maupun munfiq dalam berzakat maupun berinfak berbanding lurus dengan dampak pendayagunaannya. Namun praktik tidak semudah teori yang berujung dampak yang ideal. Dalam praktiknya pasti akan muncul kendala-kendala yang harus diatasi.
Merujuk pada Undang-Undang No 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang mengatur bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan meningkatkan martabatnya menuju terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur. Cita-cita yang mulia tersebut menjadi tujuan bersama bagi cita-cita kehidupan berbangsa maupun beragama.
Negara maupun mayoritas umat Islam tentu saja menginginkan cita-cita mulia untuk kemanusiaan. Bahwa semua manusia berhak mendapatkan kehidupan yang layak dan bermartabat. Semangat dan cita-cita yang didasari atas agama dan kemanusiaan inilah yang harus dipahami betul untuk membentuk tatanan sosial yang tidak timpang, yang berjalan dan berkehidupan dengan adil.
Oleh karenanya dibutuhkan kinerja yang berkesinambungan untuk memuliakan kehidupan masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim ini. Selain pemerintah yang memiliki kekuatan dan kuasa penuh untuk melakukan terobosan pengentasan kesenjangan sosial ekonomi. Dalam hal ini, masyarakat muslim juga memiliki tanggung jawab untuk menyelaraskan kewajibannya dalam menunaikan perintah agama untuk kemanusiaan. Karena pemahaman agama sudah seharusnya sejalan dengan praktik kesalehan sosialnya.