Pengajian

Gus Ulil Ngaji al-Iqtishad Fi al-I’tiqad: Tindakan-Tindakan Tuhan

Gus Ulil: Ngaji al-Iqtishad Fi al-I’tiqad: Tindakan-Tindakan Tuhan

Kita tahu Tuhan dalam dirinya mempunyai tiga aspek yaitu dzat, sifat dan tindakan-tindakan. Demikian juga manusia yang mempunyai dzat, sifat dan tindakan-tindakan, karena ada kemiripan dengan Tuhan dalam satu segi (tentu Tuhan berbeda dengan manusia). Dengan kata lain, makhluk yang diciptakan oleh Tuhan itu digambarkan dengan unsur-unsur ketuhanan dalam dirinya.

Hanya saja, bedanya, sifat Tuhan itu qadim dan tindakan-tindakan Tuhan murni tanpa ada paksaan serta dilandasi dengan kehendak bebas. Otonom. Sama sekali tidak ada pihak ketiga yang memaksa Tuhan untuk melakukan A, B dan C.

Sekali lagi, kata Gus Ulil, status dasar sifat-sifat Tuhan adalah qadim atau hadits. Nah, inilah yang menjadi perdebatan antara mazhab Asy’ariyah (mazhab utama dalam ahlus sunnah wa al-jama’ah) dan mazhab Muktazilah.

Gus Ulil juga menegaskan bahwa, sebagian umat Islam sunni di manapun pasti mengikuti akidah Asy’ariyah dan Maturidiyah. Dalam hal ini, negara-negara yang mengikuti mazhab Syafi’i, Maliki dan Hambali umumnya mengikuti akidah Asy’ariyah. Sementara yang mengikuti mazhab Hanafi biasanya mengikuti akidah Maturidiyah seperti India, Pakistan, Uzbekistan dan seterusnya.

Namun demikian, kata Gus Ulil, sisi lain, yang mengikuti mazhab Hambali umumnya juga mengikuti mazhab ahlu al-hadits, meskipun mereka jumlahnya tidak demikian besar. Jadi patokannya adalah bahwa umat Islam dalam hal akidah sudah pasti mengikuti akidah Asy’ariyah dan Maturidiyah.

Syahdan. Di dalam masalah sifat, Asy’ariyah mengatakan bahwa seluruh sifat-sifat Tuhan adalah qadim, tidak hadits. Demikian juga dzat Tuhan qadim (azalan wa abadan). Dalam hal ini, qadim adalah abadi ke masa lampau. Ia tidak memiliki permulaan sama sekali. Dari dulu ada dan akan selalu ada.

Kenapa demikian? Gus Ulil mengatakan, bahwa Tuhan adalah pondasi alam raya; yang membuat alam raya ini ada adalah Tuhan. Karena itu, jika wujud Tuhan ada permulaannya, maka Tuhan berarti sama dengan makhluknya.

Lalu bagaimana dengan tindakan-tindakan Tuhan?

Ulama Asy’ariyah mengatakan Tuhan itu bertindak bebas sebebas-bebasnya. Jadi teori dasar dalam teologi Asy’ariyah adalah Tuhan berkehendak bebas (muridun iradatan mutlaqatan). Berbeda dengan makhluk yang ketika bertindak kadang-kadang bebas dan tidak ada paksaan, akan tetapi pada waktu tertentu kadang-kadang dipaksa. Misalnya, zaman orde baru ketika mencoblos kita dipaksa.

Baca Juga:  Hukum Takwil Tanpa Dalil Pasti Menurut Gus Ulil

Termasuk dari tindakan Tuhan adalah alam raya dan segala isinya. Tuhan mencipta, memberi rezeki, mengasihi, mencintai, mengazab dan seterusnya. Dalam al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 26 Allah Swt. berfirman:

قُلِ اللّٰهُمَّ مٰلِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِى الْمُلْكَ مَنْ تَشَآءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَآءُ ۖ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَآءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَآءُ ۗ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۗ اِنَّكَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

Artinya: “Katakanlah (Muhammad), “Wahai Tuhan Pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh, Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali Imran [3]: 26).

Itulah tindakan Tuhan. Bahwa status dasar tindakannya bersifat bebas; boleh melakukan ini dan itu. Tuhan bisa memasukkan orang yang taat ke dalam neraka dan memasukkan orang yang bermaksiat ke surga. Tidak ada satupun tindakan Tuhan itu wajib.

Kenapa demikian? Karena, jika Anda mengatakan Tuhan wajib melakukan ini dan itu, maka Anda sama dengan mengatakan Tuhan melakukan sesuatu berada di bawah tekanan. Kok Tuhan melakukan sesuatu di bawah tekanan? Ya berarti bukan Tuhan, melainkan manusia.

Tujuh klaim ulama Asy’ariyah dalam tindakan-tindakan Tuhan

Pertama, Tuhan boleh tidak mewajibkan apapun kepada hamba-hambanya. Misalnya tidak menurunkan agama, nabi, bahkan tidak mewajibkan shalat, puasa, haji, zakat dan lainnya. Demikian juga Tuhan boleh membiarkan makhluknya dalam anarkisme total.

Kedua, Tuhan bisa memberikan taklif (aturan agama) kepada hambanya di luar kemampuannya. Ketiga, Tuhan juga boleh menyakiti dan menyiksa hambanya tanpa diberikan imbalan. Keempat, Tuhan tidak wajib berbuat sesuatu yang paling mashalat bagi hambanya. Kelima, Tuhan tidak wajib mengganjar atau memberi pahala kepada orang yang taat, dan tidak wajib pula menyiksa mereka yang selalu bermaksiat.

Baca Juga:  Gus Ulil Ngaji Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad: Apakah Tindakan-Tindakan Tuhan itu Wajib?

Keenam, seorang hamba tidak boleh mewajibkan sesuatu melalui akalnya, melainkan karena dasar agama. Kita tahu, dalam pandangan Asyariyah, sesuatu secara moral dianggap baik dan tidak bukan semata-mata karena nalar, melainkan ia menjadi wajib secara keagamaan. Kenapa demikian? Karena agama yang mewajibkan sesuatu itu.

Berbeda dengan teori moralnya Muktazilah yang mengatakan bahwa, sesuatu itu baik dan tidak karena ada sesuatu yang intrinsik pada sesuatu. Bahwa baik dan tidaknya di dalam sesuatu itu karena dirinya mengandung manfaat atau madharat.

Ketujuh, Tuhan tidak wajib mengutus utusannya ke dunia. Tuhan tidak wajib mengutus utusannya untuk menyampaikan wahyu. Jika Tuhan menghendaki kehidupan tanpa wahyu maka boleh-boleh saja. Tidak ada yang bisa melarang Tuhan.

Andaikan Tuhan mengutus kepada seorang rasul-rasul, maka utusan itu tidak jelek dan bukan sesuatu yang mustahil. Kata Gus Ulil, statemen ini menyinggung satu kelompok di dalam Islam yang mengatakan bahwa Tuhan mengutus utusan itu tidak masuk akal.

Bahkan ada sebagian kelompok dalam Islam yang mengatakan bahwa diturunkannya wahyu melalui para utusan-utusannya Tuhan bukan sesuatu yang masuk akal. Karena menurutnya, Tuhan sudah memberi manusia dengan akal lalu kenapa harus mengutus utusan? Ini sama saja dengan menggarami lautan; kita sudah tahu mana yang baik dan buruk dengan akal.

Sebut saja Abu Bakar Ar-Razi. Ia adalah salah satu filsuf Muslim yang paling kontroversial. Filosofinya radikal, dan banyak orang mengkritiknya. Ia tidak percaya pada wahyu, al-Qur’an bukan mukjizat, dan nabi-nabi. Bahkan ia juga tidak percaya pada adanya hal-hal kekal yang tidak bermula dan tidak berakhir selain Tuhan. Akibat ide-idenya, ia dianggap sesat, atheis, dan bahkan kafir.

Baca Juga:  Sunan Bonang: Sifat Tuhan dari Dua Sisi Keilmuan (Tasawuf dan Kalam)

Pemikiran Ar-Razi yang demikian jelas ini muncul dengan alasan bahwa Ar-Razi adalah seorang rasionalis yang sangat percaya pada kekuatan akal. Menurut dia, akal adalah karunia tertinggi yang diberikan Tuhan kepada manusia dan memungkinkan manusia untuk berkembang.

Tentu saja, fungsi akal seperti ini membantu manusia memahami gejala-gejala alam dan misteri-misteri yang menyelubunginya. Sekali lagi, pemikirannya yang terbilang kontroversial didorong oleh kepercayaannya pada akal. Ar-Razi berpendapat bahwa akal manusia memiliki kapasitas yang cukup untuk mengetahui apa yang benar dan salah.

Doktrin Ar-Razi ini dalam dunia kontemporer dikenal sebagai intuisionisme moral. Pemikiran ini berpendapat bahwa moralitas sudah ada dalam diri setiap orang. Artinya, manusia dapat menggunakan intuisi universal mereka sendiri untuk mengetahui apa yang baik atau buruk, tanpa perlu menggunakan teks kitab suci. Misalnya, untuk mengetahui apakah membunuh orang lain benar atau salah, manusia tidak memerlukan wahyu; akal sehat cukup untuk mengetahui apakah tindakan tersebut keliru.

Namun demikian, kata Gus Ulil, tujuh klaim tindakan-tindakan Tuhan ala Asy’ariyah ini secara dasar berhubungan dengan wajib, hasan dan qabih. Artinya, jika kita dalam memahami tiga istilah itu tidak tepat, maka bisa membuat seseorang kemudian berpendapat bawah Tuhan wajib melakukan ini dan itu dan seterusnya.

Karena itu ada banyak kesalahan dan kekacauan para ahli kalam dalam memahami tiga istilah itu oleh sebab mereka tidak mengerti akan makna-makna dan perbedaan istilah itu. Lalu bagaimana seseorang bisa bedebat jika tidak mengerti akan makna-makna dan perbedaan istilah wajib, hasan dan qabih?

Tidak hanya itu, seseorang juga harus mengetahui pada enam istilah dan perbedaannya untuk kemudian mengerti akan tindakan-tindakan Tuhan. Diantaranya adalah wajib, hasan, qabih, al-abasu, al-safahu, dan al-hikmah. Dengan kata lain, jika Anda tidak memahaminya secara detail, maka akan jatuh pada pemahaman-pemahaman yang sesat. Wallahu a’lam bisshawab. []

Salman Akif Faylasuf
Santri/Mahasiswa Fakultas Hukum Islam, Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo

    Rekomendasi

    Refleksi satu abad NU
    Opini

    Refleksi Satu Abad NU

    Kita menyadari bahwa sejarah merupakan hal penting, apalagi bagi sebuah organisasi keagamaan sebesar ...

    Tinggalkan Komentar

    More in Pengajian