Langkah Teknis Cegah Perundungan di Pesantren
Perundungan di pesantren makin mengkhawatirkan. Beberapa kasus perundungan terjadi, menyebar sekaligus mengirim rasa takut pada khalayak bahwa pesantren bukan tempat yang baik untuk menitipkan anak. Baru-baru ini dikabarkan ada seorang santri disiram “cabai”, oleh keluarga pimpinan pondok.
Di zaman keterbukaan informasi seperti sekarang ini menutup-nutupi kasus perundungan bukanlah solusi, termasuk juga bersikap denial. Pelan tapi pasti semua hal dari balik tembok pesantren akan terbuka dan tersiar keluar.
Pesantren adalah tempat di mana dalam sejarah perjalannya selalu memberikan solusi termasuk untuk masalah-masalah kebangsaan. maka dalam kasus perundungan ini, saya yakin pesantren bisa memberikan solusi yang terukur.
Berikut tawaran tekhnis cegah perundungan di pesantren dari saya sebagai orang pesantren.
1. Tanamkan sikap amanah, terutama bagi pemimpin dan pengelola pondok bahwa santri yang datang ke pesantren kita adalah amanah, yang salah sedikit saja mengelola dan mengatur mereka berubah menjadi khianat.
Apalagi amanah ini di sini adalah sosok manusia yang begitu dijaga kehormatannya oleh agama. Pengelola pondok harus ingat apa kata Sayyidina Umar, saat beliau menjadi khalifah:
لو مات شاة على شط الفرات ضائعة لظننت أن الله سائلي يوم القيامة
“Andai ada kambing mati (dalam masa kepemimpinanku) secara sia-sia di pinggiran sungai Eufrat niscaya kelak aku akan dimintai pertanggungjawaban”.
2. Relasi yang berlangsung antara santri dengan pengelola pondok, khususnya bagian Keamanan dan Ketertiban, termasuk relasi antar sesame santri adalah relasi cinta kasih dan egaliter  bukan relasi senioritas dan relasi kuasa jabatan pondok dengan santri.
Ketika relasi yang dibangun adalah relasi cinta maka yang muncul adalah cinta. Tetapi jika yang dijadikan pondasi adalah senioritas maka yang lahir adalah kesewenang-wenangan. Jalan cinta adalah jalan dakwah nabi, bahkan disebut dalam al-Quran karena hal itulah nabi mendapatkan simpati khalayak luas.
Dalam al-Qur’an berbunyi:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
“Maka disebabkan rahmat Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertakwalah pada Allah Swt. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (Qs. Ali Imran [03]: 159)
Dalam sebuah hadis Nabi pernah bersabda:
عَنْ عَائِشَةَ، زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: يَا عَائِشَةُ إِنَّ اللهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ، وَيُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ مَا لَا يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ، وَمَا لَا يُعْطِي عَلَى مَا سِوَاهُ
Dari Aisyah, istri nabi sesungghnya Rasulullah Saw. bersabda: “Wahai Aisyah! Sesungguhnya Allah Swt. menyukai kelemah lembutan. Dan Ia memberi pada sebuah kelembutan pada apa yang tidak diberikan pada kesewenang-wenangan dan pada sesuatu yang tidak diberikan pada selain kelembutan”.
Termasuk yang harus berbasis cinta kasih adalah metode penerapan sanksi-takzir pada santri yang melakukan pelanggaran. bahwa prinsip takzir adalah ta’dib (mendidik) bukan takzib (menyiksa).
3. Perlu penegasan yang lantang dari Pimpinan tertinggi pondok bahwa di pesantren tidak boleh ada sanksi fisik dari siapapun.
Di Sukorejo tempat saya belajar dulu ada kisah oral dari para santri bahwa Kiai As’ad pernah dawuh, siapapun di Sukorejo tidak ada yang memiliki hak untuk memukul santri kecuali beliau sendiri. Belakangan saya baru tahu bahwa Kiai As’ad memang pernah berkata demikian, terekam dalam kumpulan buku dawuh beliau.
4. Memperbaiki SDM bidang Keamanan dan Ketertiban. bahwa yang dijadikan bidang keamanan bukan sekadar karena sangar dan berbadan besar tetapi juga mereka yang memiliki kapasitas otak dan pemahaman yang memadai tentang konsep fikih dan nilainya terkait dengan sanksi (takzir). Termasuk, idealnya juga setiap pesantren utamanya pesantren besar memiliki psikolog yang menjadi konsultan BK di sebuah pesantren.
5. Gerakan anti perundungan harus jadi gerakan semesta di pesantren. Semua pihak; pengasuh, guru, pengurus pesantren dan siapapun harus membicarakan bahwa perundungan itu negatif.
Tidak boleh ada ruang sama sekali untuk perundungan di dalam pesantren. Dalam berbagai ceramah, rapat atau juga bentuk pamflet sampaikan bahaya perundungan (jangan hanya soal adab di atas ilmu terus, bro!) seperti tulisan yang pernah saya temukan di Pesantren Kiai Muhyiddin Abd. Shomad Jember.
6. Mengevaluasi sistem pendidikan. terjadinya perundungan pertanda nilai-nilai ajaran islam dan kepesantrenan di lembaga tidak diserap dan dihayati dengan baik oleh peserta didik. Harusnya jika nilai dan ilmu yang diajarkan terserap dengan baik perundungan tidak akan terjadi bahkan aturan pesantren tidak diperlukan.
7. Harus seimbang antara pemberian sanksi (punishment) dengan adanya apresiasi (reward) dari pihak pesantren. Jangan hanya fokus memberi sanksi pada santri yang melanggar tetapi lupa memberi apresiasi pada santri yang berprestasi.
Keseimbangan ini akan melahirkan iklim pendidikan pesantren yang baik. Bahwa segala hal ada konsekuensinya; ada hukum tanam tuai; siapa yang menanam dia akan memetik buahnya. siapa melanggar ada sanksi, dan siapa berprestasi ada apresiasi.
Demikian beberapa catatan yang sifatnya kultural dalam mencegah perundungan di pesantren. Adapun secara struktural; baik pemerintah atau ormas yang ngurusi pesantren, tidak perlu saya bahas. Kapasitas mereka tentu lebih luas untuk memberi solusi melebihi kapasitas saya sendiri (termasuk anggarannya!).[]
Tabik
Ahmad Husain Fahasbu, Pengajar Ma’had Aly Nurul Jadid, Paiton.
Ahmad Husain Fahasbu
Pengajar Ma'had Aly Nurul Jadid, Paiton.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini