MACAM-MACAM BENTUK MATAN HADITS

Secara bahasa, kata hadits diartikan sebagai sesuatu yang baru. Sementara dari sisi istilah, hadits didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad saw, baik itu berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir (ketetapan). Para ulama telah mengklasifikasikan hadits dalam berbagai kategori. Secara kualitas, hadits dibagi menjadi hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dha‘if. Secara kuantitas (banyaknya jumlah perawi), hadits dibagai menjadi hadits mutawatir dan hadits ahad. Sementara itu, dari jenis penyandarannya hadits terbagi menjadi hadits qudsi, hadits nabawi, hadits mauquf, dan hadits maqthu‘.

Semua ulama sepakat bahwa hadits adalah sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alqur’an. Mengingat dahulu pernah terjadi peristiwa pemalsuan hadits, maka tidak semua hadits yang beredar bisa dijadikan sebagai sumber ajaran. Hadits-hadits yang bisa digunakan sebagai sumber ajaran Islam adalah hadits-hadits yang memenuhi beberapa syarat yakni ketersambungan sanad, perawinya kredibel dan memiliki kemampaun hafalan yang kuat, sanad maupun matan-nya terhindar dari syadz (kejanggalan) dan ‘illat (kecacatan). Kriteria-kriteria tersebut menjadi bukti bahwa para ulama benar-benar berkomitmen dalam menjaga orisinalitas hadits tetap berasal dari Nabi saw, di samping juga menjaga hadits dari pihak-pihak yang menggunakannya demi keuntungan pribadi.

Bicara soal hadits, mungkin selama ini yang banyak diulas dan muncul ke permukaan adalah jenis-jenis hadits yakni hadits qauli (ucapan), hadits fi‘li (perbuatan), hadits taqriri (ketetapan), dan hadits hammi (cita-cita/keinginan Nabi Muhammad saw). Akan tetapi, bila ditelisik lebih cermat, ternyata matan hadits itu memiliki bentuk yang beragam. Berikut klasifikasi bentuk matan hadits beserta contohnya.

  1. Jawami‘ al-Kalim

Jawami‘ al-Kalim bisa didefinisikan sebagai ungkapan yang singkat tetapi memiliki makna yang padat. Contoh hadits yang bentuk matan-nya jawami‘ al-kalim yakni.

الحَرْبَ خَدْعَةً

“Perang itu siasat”. (HR. al-Bukhari)

Apa yang dinyatakan hadits di atas berlaku secara universal tanpa peduli waktu dan tempat. Faktanya semua perang pasti membutuhkan siasat. Bila terdapat sekelompok orang yang berangkat ke medan temput tanpa siasat sama sekali, artinya mereka sedang berangkat untuk bunuh diri. Universalitas ini juga berlaku pada hadits yang bentuk matan-nya jawami’ al-kalim berikut.

Baca Juga:  Reinterpretasi Hadits Tentang Matahari Bersujud di Malam Hari

كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ

“Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap yang memabukkan itu haram…”. (HR. Muslim)

Secara tekstual hadits di atas menerangkan bahwa khamr itu harap di setiap tempat dan waktu. Lantas, bagaimana dengan Alqur’an yang tidak seketika mengharamkan khamr?. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk kebijaksanaan syariat, dimana pengharaman khamr dilakukan secara setahap demi setahap. Penyebabnya adalah saat itu masyarakat yang menjadi sasaran dakwah Nabi Muhammad saw masih menjadikan khamr sebagai salah satu tradisi mereka yang cukup lekat. Oleh sebab itu, guna menghapusnya tidak bisa dilakukan secara paksa.

  1. Bahasa Tamsil

Bahasa tamsil (perumpamaan) bisa dilihat pada hadits berikut.

إِنَّ المُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا

“Sesungguhnya mukmin satu dengan mukmin lainnya ibarat bangunan; bagian yang satu memperkokoh bagian lainnya”. (HR. al-Bukhari)

Sama seperti jawami‘ al-kalim tadi, tamsil di sini juga berlaku universal tanpa terikat waktu dan tempat. Dalam kehidupan sehari-hari, orang-orang beriman mestinya saling mendukung dan menguatkan, bukan malah saling menjatuhkan; dan hal tersebut berlaku selamanya hingga yaum al-akhir. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari di atas juga merupakan penegasan dari surat al-Hujurat ayat 10 yang penggalan terjemahnya kurang lebih begini, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara; oleh sebab itu, damaikanlah antara kedua saudaramu tersebut…”.

  1. Ungkapan Simbolik

Ungkapan simbolik, baik dalam suatu ayat Alqur’an maupun hadits, sering kali menimbulkan perbedaan pendapat. Hal ini disebabkan karena orang-orang yang memahami suatu ayat atau hadits secara tekstual menganggap bahwa ungkapan simbolik itu tidak ada. Berikut ini contoh hadits yang menggunakan ungkapan simbolik.

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي، فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ

Baca Juga:  Hadits Romantisme Rasulullah saw pada Malam Nishfu Sya'ban

“Tuhan kita (Allah) tabaraka wa ta‘ala setiap malam turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang akhir. (Allah) berfirman: “Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan doanya tersebut; barangsiapa meminta (sesuatu) kepada-Ku, niscaya Aku memberinya; barangsiapa meminta ampun kepada-Ku, niscaya Aku mengampuninya”. (HR. al-Bukhari)

Secara tekstual hadits tersebut terkesan tidak logis karena waktu di belahan bumi satu dengan di belahan bumi lain itu tak sama. Artinya, bila hadits tersebut dipahami secara tekstual, konsekuensi pemahaman yang timbul adalah Allah tak pernah kembali naik lagi. Oleh sebab itu, orang-orang yang memahami hadits tersebut secara tekstual menganggap bahwa matan hadits di atas memiliki kualitas dha‘if (lemah).

Namun, bila dipahami secara kontekstual, hadits tersebut tidak akan terasa janggal. Maksud Allah turun ke bumi setiap sepertiga malam akhir itu buka dzat-Nya, melainkan limpahan rahmat-Nya. Dipilihnya waktu sepertiga malam akhir disebabkan karena pada waktu tersebut manusia akan mudah memperolah kekhusyukan dalam beribadah dan berdoa, hal tersebut menyebabkan limpahan rahmat Allah mudah didapat. Kendati demikian, bukan berarti limpahan rahmat Allah hanya turun di sepertiga malam yang terakhir.

  1. Bahasa Percakapan

Banyak ditemukan hadits yang bentuk matan-nya dialog. Proses dialog biasanya diawali dengan sahabat bertanya lantas rasul saw menjawab. Pertanyaan yang paling sering diajukan oleh sahabat adalah tentang amalan apa yang paling utama. Meski pertanyaannya sama, Nabi saw sering memberikan jawaban yang berbeda. Perbedaan jawaban tersebut dipengaruhi oleh dua kemungkinan yakni relevansi jawaban dengan keadaan penanya dan relevansi jawaban dengan kondisi sosial masyarakat tertentu.

Walau demikian, ada juga hadits yang bentuk matan-nya dialog, tetapi konsekuensinya berlaku secara umum (seluruh umat Islam). Hal ini bisa ditemui dalam hadits berikut.

Baca Juga:  Metode Sorogan dalam Perspektif Hadits

عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللهِ الثَّقَفِيِّ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، قُلْ لِي فِي الْإِسْلَامِ قَوْلًا لَا أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ – وَفِي حَدِيثِ أَبِي أُسَامَةَ غَيْرَكَ – قَالَ: ” قُلْ: آمَنْتُ بِاللهِ، فَاسْتَقِمْ “

“Dari Sufyan ibn ‘Abd Allah al-Tsaqafi, ia berkata: Aku bertanya: Ya Rasulallah! Katakanlah kepadaku sebuah pernyataan tentang Islam, (sehingga) aku tidak perlu lagi bertanya kepada orang lain sesudah engkau (mengatakannya)―dalam hadits riwayat Abu Usamah dinyatakan ‘selain (dari) engkau’―. Beliau menjawab: Katakan: ‘Aku beriman kepada Allah’, lalu berpegang teguhlah (dengan pernyataan tersebut)”. (HR. Muslim)

Apa yang disebutkan dalam hadits di atas tidak hanya berlaku bagi si penanya yakni Sufyan ibn ‘Abdullah al-Tsaqafi, melainkan berlau bagi seluruh umat Islam. Maka, bisa disimpulkan bahwa hadits tersebut berlaku secara universal, bukan temporal maupun lokal.

  1. Ungkapan Analogi

Matan hadits yang berbentuk ungkapan analogi salah satunya terdapat pada hadits di bawah ini.

…أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ

“…Bagaimana pendapat kalian sekiranya hasrat seksual (seseorang) disalurkannya di jalan haram, apakah (ia) menanggung dosa?. Maka demikianlah, bila hasrat seksual disalurkan ke jalan yang halal, maka dia mendapat pahala”. (HR. Muslim)

Hadits tersebut menjelaskan bahwa apabila penyaluran hasrat seksual di jalan haram adalah sebuah dosa, maka penyaluran hasrat seksual di jalan halal adalah perbuatan yang akan diberi pahala. Hal ini berlaku secara universal, berlaku bagi seluruh umat Islam dalam setiap masa dan wilayah.[BA]

Mohammad Azharudin
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya dan Alumni Pondok Pesantren Miftachussa'adah Genteng, Banyuwangi.

    Rekomendasi

    1 Comment

    Tinggalkan Komentar

    More in Pesantren