Ulama

94 NU; Soal Kemandirian, Moderasi, Oligarki Hingga Dakwah Digital

(Ilustrasi: Tribunnews.com)

Hari lahir Nahdlatul Ulama memang diperingati dua versi. Ada yang menurut penanggalan Hijriyah dan ada pula Masehi. Tepat hari ini adalah hari lahir organisasi yang didirikan oleh para kiai 94 tahun silam.

31 Januari 1926 – 2020. 94 tahun Nahdlatul Ulama hadir dalam kehidupan berbangsa dan beragama. Bisa dibilang dinamika organisasi internal NU lebih dinamis dan kompleks bila dibanding ormas keagamaan lainnya. Sebagai jam’iyah dinniyah terbesar di dunia, NU yang lahir dan besar dikalangan kaum pesantren terus mengalami transformasi organisasi.

Clifford Geertz, seorang antropolog Amerika dalam karyanya The Religion Of Java mengkategorikan masyarakat Jawa dalam tiga bagian; abangan, santri dan priyayi. Hal ini mendiskreditkan warga NU dan pesantren sebagai kelompok tradisionalis yang jumud. Padahal kebudayaan selalu tumbuh dan berubah. Lama-kelamaan kesimpulan Geertz itu pasti akan kehilangan relevansinya.

Terbukti hari ini. Nahdlatul Ulama menjadi organisasi yang memiliki SDM pilih tanding dalam menghadapi tantangan zaman. Intelektual dan akademisi terus bermunculan dari kalangan santri Nahdliyyin, mulai perihal disiplin keilmuan hingga soal teknologi.

94 tahun NU. Kiai Said Aqil Siroj dalam beragam kesempatan menegaskan pentingnya kemandirian dalam berorganisasi. Hal ini telah dibuktikan melalui berdirinya Lazis-NU dan NU-care dalam menghidupkan kemandirian organisasi dan menyalurkan bantuan pada warga NU yang tertimpa musibah. Penegasan kemandirian juga diikhtiyarkan melalui gerakan koin demi suksesi Muktamar ke-34 di Lampung tahun ini.

Sikap kitis terhadap pemerintah sebagai tanggung jawab berbangsa juga dilakukan oleh NU. Meski NU telah berhasil mengantarkan KH Ma’ruf Amin sebagai wakil presiden sekalipun tidak menghilangkan rasa kritis terhadap pemerintah. Misal soal kenaikan BPJS, pencabutan subsidi gas, hukum yang tajam ke bawah tumpul ke atas dan yang paling penting kesadaran untuk melawan oligarki politik yang menguasai Indonesia. NU konsisten memposisikan dirinya membela kaum mustad’afin (tertindas). Tentu harapannya kesejahteraan dan kemaslahatan dapat terwujud bagi masyarakat luas, sebagaimana dalil ushul tasharuf al-Imam ala ra’iyah, manutun bil maslahah.

Baca Juga:  Katib Aam PBNU: Halaqah Fiqh Peradaban, Strategi Menguatkan Jamaah dan Jam'iyyah

Moderasi beragama yang akhir-akhir ini diangkat menjadi isu penting dikalangan Kemenag, sebenarnya sudah dilakukan oleh NU sejak dulu. Sebagai organisasi besar, NU memiliki prinsip ‘tasamuh’ yakni toleransi antar umat beragama. Dengan sikap toleransi warga NU, harapan ke depan adalah harmonisasi ditengah masyarakat dapat terwujudkan.

Selain itu, datangnya momen digitalisasi sudah tidak terelakkan lagi. Internet dan media sosial telah menjelma menjadi panggung serta podium dakwah. Anak muda Nahdliyyin dengan cepat telah merespon hal ini melalui munculnya kanal YouTube yang berisi pengajian Gus Baha’, Gus Muwwafiq, Gus Miftah, Habib Ja’far serta kiai-kiai NU lainnya sehingga lebih mudah diakses dan memperluas spektrum jangkauan, terutama menyasar generasi milenial. Hal ini disampaikan Savic Ali selaku founder NU Online, bahwa anak muda NU telah membangun pesantren dan madrasah digital melaui website dan media sosial sebagaimana maqola al-muhafadzotu ala qodimi sholih wal ahdu bijadidil ashlah. NU terus bertransformasi, menyesuaikan kemajuan zaman tanpa kehilangan identitas dan jati diri leluhurnya.

Ulama-ulama Nusantara seperti Kiai Nawawi al-Bantani, Katib Sambas, Zaini Dahlan, Minangkabawi sejak dulu telah berkiprah secara internasional. Para ulama itu membangun peradaban kosmopolitan lewat upaya dakwah tanpa tercerabut dari akar kebudayaan Nusantara. Tak heran bila NU dinobatkan menjadi organisasi terbesar yang memiliki cabang diseluruh dunia.

Selamat hari lahir Jam’iyyahku.
Kami bangga menjadi keluarga besar Nahdlatul Ulama.

Abdur Rouf Hanif
Ketua Lakpesdam PCNU Tanggamus, Lampung.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Ulama