Valentine Days untuk Generasi Muda Islam
Sudah kita maklumi bersama bahwa secara historis Islam memang sudah punya Hari Valentine, yaitu hari Pembebasan Kota Suci Mekkah. Peristiwa yang terjadi pada tahun 630 M atau tepatnya pada tanggal 10 Ramadan 8 H itu, Nabi Muhammad SAW beserta 10.000 pasukan bergerak dari Madinah menuju Mekkah, dan kemudian menguasai Mekkah secara keseluruhan tanpa pertumpahan darah sedikitpun. Nabi mengampuni orang-orang yang dulu membuatnya terusir dari Tanah Airnya. Keburukan dan kekasaran yang ditimpakan kepada Nabi dibalas dengan cinta dan kasih sayang.
Selain itu, ada juga tradisi di Bulan Muharram, di mana banyak umat Muslim tanah air yang menjalankan 10 kesunnahan di bulan mulia itu, yang salah satunya adalah mengasihi anak yatim dan fakir miskin. Berbagai kegiatan di bulan Muharram adalah cerminan bahwa umat Islam adalah orang yang peduli kepada anak yatim dan kaum papa. Ini adalah kasih sayang yang agama Islam ajarkan.
Namun demikian, sebenarnya secara substansi ajaran kasih sayang dalam Islam adalah ajaran yang tidak berlaku surut. Dalam artian, di mana dan kapan pun kita umat Islam dituntut untuk saling mengasihi dan menolong sesama tanpa harus menunggu momentum tertentu. Setiap hari kita diharuskan menyayangi yang muda, dan menghormati yang tua, terlebih kepada orang tua sendiri. Tetapi juga tidak melarang adanya tradisi atau momentum tahunan, yang di Indonesia ini berlaku, seperti tradisi silaturrahmi Halal Bihalal, Tahlilan, dan lain sebagainya.
Nah, berangkat dari keterangan di atas, bagaimana sebaiknya generasi muda Islam menyikapi Hari Valentine?
Pertama, bahwa generasi muda Islam–khususnya kaum muda NU–tak perlu mengutuk-ngutuk Hari Valentine. Karena itu tidak hanya soal sejarah dan budaya, namun juga industri. Semakin digembar-gemborkan, mereka akan semakin laris jualan coklat. Jika dikutuk-kutuk, bahkan dengan fatwa sekalipun, itu justru tidak memberikan solusi yang cerdas, alih-alih justru upaya yang sia-sia. Intinya, Hari Valentine hanyalah label dan bungkus. Isinya? Itulah para tugas generasi muda Islam untuk mengisi dan merayakannya dengan hal yang tak bertentangan dengan agama. Jika hanya memberi kado dan hadiah lain, saya kira itu tak masalah.
Kedua, generasi muda Islam–khususnya kader muda NU–mesti bisa membikin budaya tandingan Hari Valentine, yang isinya positif, konstruktif dan inspiratif. Misalnya, membikin Valentine Days dengan kongko budaya, bedah buku, kajian cinta dalam Islam, bedah film, atau hal yang kekinian dan hits lain. Dengan begitu, bungkus yang memang dari budaya Barat itu kita filter menjadi budaya yang secara substansi tak bertentangan dengan ajaran Islam.
Mengapa tidak? Sesepuh-sesepuh kita Walisongo–penyebar Islam di Tanah Jawa–telah mencontohkan, bagaimana tradisi dan budaya non-Islam berhasil diislamisasi secara substansi. Wayang yang dulu hanya dikenal dengan wayang beber, diubah secara revolusioner bentuknya menjadi wayang kulit, bahkan isinya dengan cerita yang mendekatkan kepada ajaran tauhid. Misalnya, para dewa-dewa yang ada di wayang itu, silsilah-silsilahnya berhenti sampai Nabi Adam AS, juga banyak memuat ajaran kebaikan.
Secara istilah, karena kita orang Nusantara sudah banyak tradisi dan budaya, tidak serta merta dihilangkan begitu saja ketika Islam masuk. Ini berkesesuaian dengan ajaran Islam itu sendiri yang tidak membasmi yang telah ada, namun menyempurnakan. Walisongo menjaga dan berhasil mengonversi itu dengan baik. Istilah “kiai” yang sudah ada di sini tetap digunakan, tidak dengan kata “ustadz” atau “syekh.” Istilah “sembahyang” tetap dipakai meski isi dan perilakunya adalah shalat. Istilah “langgar” tetap di pakai, tidak langsung dengan masjid atau mushalla. Bahkan, para pendahulu tidak langsung dengan kata ganti Allah melainkan kata “Pangeran” yang dipakai. Namun, pelan tapi pasti, bungkus itu isinya dimasuki ajaran yang Islami.
Selain itu, banyak sekali tradisi pra-Islam yang kemudian dikonversi oleh Walisongo menjadi tradisi Islami yang sampai saat ini ada di Indonesia dan menjadikan Islam mengakar dan kuat. Intinya, Islam–khususnya NU–tidak serta merta mengutuk bungkus, namun yang lebih penting dari itu adalah isi dan substansi. Pun demikian Hari Valentine. Jika kemudian santri dan generasi Islam zaman now mampu mengubah isinya menjadi hal yang positif, inspiratif, konstruktif, bukankah itu lebih hebat dampaknya dari sekadar fatwa? Dan, sanggupkah generasi yang mengaku penerus Walisongo melakukannya?
Dari itu dapat kita ambil kesimpulan bahwasanya merayakan hari valentine hukumnya boleh dan tidak dianggap sebagai tasyabbuh bil kuffar selama perayaan tersebut dibungkus secara Islam. []