Tawassul secara bahasa berarti memohon. توسل إلى الله berarti beramal untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kata “tawassul” sendiri berasal dari kata “wasala – wasilah” yang -dalam kamus Al Munawwir- bisa diartikan segala hal yang yang digunakan untuk mendekatkan yang lain atau perantara.
Dalam tradisi ahlussunah wal jamaah, tawassul bisa didefinisikan secara sederhana sebagai berikut: “menjadikan suatu perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah guna mencapai sesuatu yang diharapkan dari-Nya”. Seseorang bisa melakukan tawassul dengan menjadikan perantara orang yang masih hidup atau yang sudah meninggal dunia.
Umumnya, seseorang yang melakukan doa dengan tawassul ini merasa dirinya hina dan rendah di hadapan Allah. Maka dengan perantara orang-orang shaleh yang dekat dengan Allah, harapannya doa yang diinginkan dapat dikabulkan oleh Allah Swt. Barangkali kisah berikut ini akan bisa lebih mudah untuk memahami makna tawassul.
Dikisahkan oleh KH. A. Mustofa Bisri (Gus Mus, Rembang), bahwa satu ketika Ayah beliau (KH. Bisri Mustofa), sowan kepada Kiai Hamid Pasuruan yang terkenal sebagai waliyullah. Kata Kiai Bisri, “Kiai Hamid, Anda kan yang dekat dengan Allah, tolong aku mintakan kepada Allah, agar aku ini punya mobil”. Seketika itu Kiai Hamid langsung berkata, “al Fatihah ala niyati Kiai Bisri”. Tak berapa lama setelah itu, Kiai Bisri pun punya mobil.
Itulah sekilas contoh nyata tawassul melalui orang shaleh yang masih hidup. Tawassul melalui orang yang sudah meninggal, kurang lebih sama seperti kisah di atas. Bedanya adalah cara komunikasi. Ada orang yang bisa komunikasi langsung dengan orang yang sudah meninggal, ada pula yang tidak/belum bisa komunikasi secara langsung. Alhasil, maksud dan tujuannya sama. Yakni menjadikan orang shaleh yang diziarahi sebagai perantara kepada Allah.
Dasar Tawassul
Sebagian kalangan menganggap tawassul itu tidak ada dalam ajaran Islam dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. Alias bid’ah. Bahkan ada yang menganggap syirik orang yang tawassul. Apakah memang begitu? Dan apa memang tawassul tidak ada dasarnya dalam Al Quran maupun Hadits Nabi? Mari kita kaji sedikit.
Dalam Al Quran Surah An Nisa’ ayat 64, Allah berfirman yang artinya: “Dan kami tidak mengutus seseorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jika mereka yang menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasul pun memohonkan ampun untuknya, tentulah mereka mendapati Allah maha penerima tobat lagi maha penyayang”.
Dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir disebutkan kisah mengenai ayat di atas. Bahwa Syekh Uthbi sedang berada di sisi makam Rasulillah, tiba-tiba datang orang Badui dan berkata, “assalaamualaika ya Rasulallah, aku telah mendengar ayat Allah (lalu ia membaca QS An Nisa’: 64), maka sekarang aku datang ke hadapanmu berharap agar dosaku diampuni, aku mohon syafaatmu ke hadirar Tuhanku.”
Beberapa waktu kemudian, Syekh Uthbi tidur dan bermimpi bertemu Rasulullah. Dalam mimpi itu Rasulullah berkata, “Hai Uthbi, datangilah Badui itu dan kabarkanlah bahwa Allah telah mengampuninya.” Menurut Prof. Nadirsyah Hosen, kisah serupa juga terdapat dalam banyak kitab tafsir yang masyhur.
Maka, jelaslah bahwa kisah tersebut menunjukkan adanya tawassul yang dilakukan oleh orang Badui ketika Rasulullah sudah wafat. Dan kisah itu juga sangat berkaitan dengan ayat QS An Nisa: 64 tersebut. Ini artinya, dalilnya tawassul sangat kuat karena terdapat di dalam Al Quran. Juga banyak diceritakan dalam kisah perjalanan hidup Rasulillah (selain kisah di atas).
Di antaranya yaitu kisah yang ada dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Utsman bin Hanif, ia berkata, “aku mendengarkan Rasulillah, (ketika itu) datang lelaki buta yang mengadu kepadanya (Nabi) soal penglihatannya.” Lelaki itu berkata, “Wahai Rasulallah, aku tidak ada yang menuntun dan aku merasa berat (karena buta).” Rasulullah berkata, “berwudlulah kamu dan shalatlah dua rakaat kemudian berdoalah: اللهم إني أسئلك وأتوجه إليك بنبيك محمد )ص.م.( نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلى ربك فيجلي لي عن بصري ، اللهم شفّعه فيّ وشفعني في نفسي “.
Utsman bin Hanif melanjutkan, “demi Allah kami tidak berpisah dan tidak lama pembicaraan kami, masuklah lelaki (yang sebelumnya buta) itu dan ia tidak ada mudarat (tidak buta).
Dari sini kita menjadi tahu bahwa amalan tawassul itu ada dasarnya yang jelas dalam Al Quran dan Hadits. Bahkan haditsnya juga shahih. Sekarang tinggal kita mau percaya atau tidak dan mau mengamalkannya atau tidak. Terserah kita. Kita sebagai kaum beriman tidak sepatutnya membenci amalan orang lain yang kita sebenarnya tidak memahami hal yang kita benci. Bahkan hingga menyesatkan, membid’ahkan, atau mengkafirkan orang mukmin lain. Yang pasti kaum ahlussunah wal jamaah tidak sembarangan melakukan suatu amalan. Wallahu a’lam.