toleransi

Toleransi adalah sikap saling menghargai perbedaan yang terjadi antar pihak maupun kelompok, khususnya bagi kita yang hidup di negara ber-Bhineka Tunggal Ika, yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua.

Toleransi secara bahasa, kata ini berasal dari bahasa latin “tolerare” yang berarti sabar dan menahan diri. Toleransi juga dapat berarti suatu sikap saling menghormati dan menghargai antar individu atau kelompok dalam hidup bermasyarakat ataupun dalam lingkup yang lain. Sikap toleransi dapat menghindarkan terjadinya diskriminasi, walaupun terdapat kelompok atau golongan yang berbeda dalam satu kelompok atau masyarakat.

Sikap toleransi juga tercermin dalam diri Rasulullah SAW. Sebagaimana ketika dikeluarkannya piagam madinah (Kesepakan Orang Islam dengan Orang Yahudi). Sebagaimana keterangan dalam kitab Sirah Nabawiyah bahwasannya Ibnu Ishaq berkata: Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam mengadakan perjanjian antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar untuk tidak memerangi Orang-orang Yahudi. Kemudian Rosulullah SAW mengadakan perjanjian dengan mereka, mengakui agama dan harta mereka dan membuat kesepakatan dengan mereka.

Bahkan lebih dari itu, Allah bersabda dalam dalam ayat Al-Quran surat An-Nahl (11):125:

ٱدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلْحِكْمَةِ وَٱلْمَوْعِظَةِ ٱلْحَسَنَةِ ۖ وَجَٰدِلْهُم بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ

Yang artinya; ” Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

Kutipan ayat tersebut merupakan perintah dari Allah untuk ber-amar makruf nahi munkar. Tapi, amar makruf nahi munkar di sini ialah berseru atau berdakwah dengan cara cara yang baik. Yakni seperti, dengan cara hikmah (memberikan contoh-contoh yang baik) dan berdebat dengan santun tanpa menyinggung perasaan lawan bicara.

Baca Juga:  Aku ditanya Teman, bagaimana Pandangan Ulama tentang Ucapan Selamat Natal?

Hal tersebut sebagaimana yang telah diamalkan oleh Kiai Manab saat menyebarkan ajaran Islam di Lirboyo, mengutip dari buku Lirboyo: Pada waktu itu masih banyak Penduduk Lirboyo yang belum masuk Islam. Hal ini diperkuat dengan tidak adanya sarana masjid untuk menampung salat Jumat. Dengan demikian Kiai Manab adalah yang pertama menyebarkan ajaran Islam di Lirboyo.

Kehadiran Kiai Manab rupanya tidak disukai oleh penduduk sekitar, yang kala itu masih berjumlah 41 keluarga. Mereka yang menjadi bramacorah, seperti para maling, atau perampok merasa terusik dengan kehadiran beliau.  Tak ayal, segala bentuk teror, baik pada siang maupun malam, sering beliau terima agar tidak betah di Lirboyo.

Alhamdulillah, dengan ketabahan Kiai Manab dalam bertabligh (berdakwah), amar makruf nahi munkar, serta riyadlah (tirakat) lahir dan batin dan memohon pertolongan kepada Allah akhirnya membuahkan hasil. Terbukti dengan terbangunnya tempat peribadatan sederhana berupa “Langgar Angkring”. Selang tiga tahun kemudian, bangunan itu disempurnakan menjadi masjid pada tahun 1913 M.  Fungsi masjidpun juga berkembang, tidak hanya menjadi sarana peribadatan semata namun juga sarana dakwah.

Tindakan Kiai Manab tersebut juga tertulis dalam kitab Zubad yang berbunyi;

كل مهمن قصدوا تحصلة      #     من غير أن يعتبروا من فعله 60

كأمر معروف و نهي المنكر      #      و أن يظن نهي لم يؤثر 61

Yang artinya;

  1. fardhu kifayah yaitu setiap perkara yang penting dalam syariat, yang mana mereka melakukannya tanpa mengetahui siapa yang sudah melakukannya.
  2. seperti halnya amar makruf (menyuruh kepada kebaikan) nahi munkar (mencegah kemungkaran) meskipun ia menduga bahwa pencegahannya itu tidak akan berpengar

Dari paparan di atas kita sudah dapat mengambil kesimpulan, bahwasannya amar makruf nahi munkar itu hukumnya fardhu kifayah untuk setiap orang muslim, dan sebagai orang muslim kita wajib untuk mengamalkannya. Namun apakah tindakan kita? Apakah tindakan kita adalah tindakan yang terbaik ataukah malah akan memunculkan tindakan tercela berikutnya?

Baca Juga:  Aku ditanya Teman, bagaimana Pandangan Ulama tentang Ucapan Selamat Natal?

Alangkah baiknya kita sebagai seorang muslim yang berakal memikirkan kembali apa yang akan kita lakukan. Seperti dalam kaidah ushul fikih ada maqalah yang sangat populer dan disepakati oleh para ulama;

درء المفاسد مقدم على جلب المصالح

Yang artinya; “menghindari mafsadah (kerusakan) lebih diutamakan daripada mewujudkan kemaslahatan (kebaikan) ”

Dari maqalah di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwasannya kita tidak boleh terlalu memaksakan adanya kemaslahatan (kebaikan) dengan mengeksekusi tindak-tindak mafsadah (seperti kemaksiatan, kezaliman, dll) dengan tindakan-tindakan kekerasan atau radikal. Hal itu agar tidak timbul suatu tindak kezaliman yang baru.

Bukan berarti kita sebagai  seorang muslim tidak melakukan sesuatu dan hanya terdiam saja meratapi nasib. Kita sebagai sorang muslim harus tetap beramar makruf nahi munkar, namun dengan cara yang bijaksana dan mengambil jalan tengah-tengah agar tidak ada pihak yang kemudian bukan malah mendapat pencerahan malah antipati dan resistensi yang pada akhirnya malah menciptakan  mafsadah (kerusakan) yang baru.

Seperti hadist mauquf yang mungkin sering kita dengar;

خير الأمور أوسطها

Artinya: “Sebaik-baiknya perkara (keputusan) adalah yang tengah-tengah.”

Harus kita sadari bahwasanya kita adalah makhluk biasa tiada daya upaya bagi kita, kita hanya diberikan daya untuk berusaha namun tetap hasil hanya ada di tangan-Nya, seperti halnya dalam ayat Al-Quran surat Al-Imran (3):128:

لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ

Artinya; “Tidak ada campur tangan darimu dalam urusan mereka apakah Allah menerima taubat mereka atau mengazab mereka karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang zalim.”

Terdapat beberapa versi mengenai asbabun nuzul dari ayat ini. Salah satunya dalam kitab Tafsir Al Maroghi. Umat muslim mengalami kekalahan karena serangan balik oleh pihak musuh (Kaum Quraisy dab orang-orang musyrik)  dari arah belakang memutari gunung Uhud. Dari kekalahan tersebut Rasululllah SAW mengalami beberapa luka, seperti gigi serinya terlepas dan mengalir darah dari bagian atas pipinya.

Baca Juga:  Aku ditanya Teman, bagaimana Pandangan Ulama tentang Ucapan Selamat Natal?

Ketika darah mengalir dari bagian atas pipi Rasulullah SAW, Rasulullah berkata; “ Kenapa ada kaum yang tega melakukan hal seperti ini” kemudian Allah SWT menanggapi hal tersebut dengan turunnya ayat Al-Imran (3):128. Yang mana ayat tersebut menegaskan bahwa hal tersebut berada di luar kemampuan Rasulullah, hanya Allah lah yang dapat mengadzab mereka atau menerima taubat mereka.

Menurut ayat beserta asbabun nuzul tersebut kita patut sadar akan batasan kita sebagai makhluk yang lemah. Jangan bertindak ceroboh dengan mengatasnamakan amar makruf nahi munkar bahkan sampai-sampaikan mengatasnamakan agama.

Sadarlah kita hidup di negeri Ibu Pertiwi, negeri bhineka tunggal ika yang dikaruniai oleh Allah SWT. dengan kekayaan alam dan keragaman budayanya. Marilah kita bersama-sama menumbuhkan sikap toleransi agar tercipta kedamaian dan keharmonisan.

Seperti petuah sang guru bangsa, yaitu Gus Dur yang sudah terkenal dan juga sering kita dengar, “Tidak penting apa agamamu atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk orang lain maka orang lain tidak akan bertanya apa agamamu”.

Bukankah sangat indah bila mana kita sebagai Orang Islam menjadi Orang Islam yang tersenyum, Orang Budha menjadi Orang Budha yang tersenyum, Orang Kristen menjadi Orang Kristen yang tersenyum, Orang Katolik menjadi Orang Katolik yang tersenyum dan seterusnya. Bangsa yang maju selalu bermula dari tingginya nilai toleransi yang dijalankan rakyatnya. Sehingga energi bangsa tidak habis untuk membahas apa yang “berbeda” dari kita, melainkan apa yang bisa kita perbuat bagi kemajuan bangsa. (iz)

 

 

 

 

 

 

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini