fitnah lebih kejam daripada pembunuhan

Kalimat “fitnah lebih kejam daripada pembunuhan” telah masyhur dikalangan masyarakat Indonesia. Baik ketika sedang bercanda ataupun ketika sedang berdalil tidak jarang menambahkan versi  ayatnya  dalam surat Al-Baqarah: 191

وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْل

Ayat ini kita kenal sejak dini, dengan pemaknaan bahwa menuduh orang lain tanpa bukti yang jelas dosanya lebih besar . lebih keji dibanding pembunuhan.

Kita tahu bahwa dosa pembunuhan adalah termasuk dosa besar selain zina. Firman Allah dalam Qs. AL-Nisa’ menyebutkan:

وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا

Ayat tersebut dengan tegas menyatakan bahwa Allah telah menyediakan bagi pembunuh tempat kekal di Neraka Jahannam (neraka yang letaknya paling bawah dan terpedih siksanya) Allah juga marah dan melaknatnya dan akan menyiksanya dengan sangat pedih. Dari ayat tersebut, kita bisa membayangkan bagaimana dosa membunuh apalagi dia seorang mukmin sangatlah besar. Lalu bagaimana dosa orang yang menuduh seseorang tanpa bukti yang kuat, apakah lebih besar dari pembunuhan sebagaimana yang telah ditetapkan Alquran.

Pada hakikatnya, makna fitnah dalam ayat tersebut bukan sebagaimana yang telah beredar luas di masyarakat kita. Yaitu fitnah yang berarti menuduh tanpa bukti yang jelas. Karena pemahaman semacam ini tidak berdasar dan mendatangkan pertentangan. Bagaimana mungkin fitnah yang dilakukan seseorang dapat melebihi dosa membunuh, sedangkan Alquran tidak mengungkapkan kalimat semacam itu yang berhubungan dengan kisah yang semisal. Alquran mengisahkan cerita bohong (Hadith al-Ifki) yang menimpa ‘Aishah istri Rasulullah Shallaallahu’alaihi wasallam namun tidak ada ayat yang mengecam para penyebar fitnah dengan kalimat yang semisal dengan وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْل.

dalam surat al-Hujurat: 11-12 Allah memperingat kita agar tidak mendhalimi saudara kita dengan berbuat tajassus dan ghibah terhadap saudara kita, Alquran menggolongkannya sebagai orang yang berbuat dhalim. Dan didalamnya tidak menyebutkan bahwa dosanya juga melebihi dosa melakukan pembunuhan.

Baca Juga:  Tafsir Hidayatul Qur’an: Kado 1 Abad NU dari Rejoso
Lalu bagaimana makna Fitnah menurut para Mufassir

Kata fitnah dalam Qs. Al-Baqarah: 191  ditafsirkan oleh al-Thabari dengan  Syirik, pada esensinya fitnah memiliki arti ujian. Seseorang yang menguji keagamaan seseorang hingga yang diujinya menjadi syirik juga masuk dalam kategori ini. Jadi, pembunuhan terhadap orang mukmin dosanya tidak lebih besar dibanding dosa menjadikan orang lain syirik kepada Allah (murtad). Selain itu melakukan kekufuran atau syirik dengan inisiatif pribadi dosanya juga lebih besar dibanding dosa membunuh.

Ibnu ‘Abbass Radiallahu ‘anhu menafsirkan  Qs. 2:191 dengan “min al-Fitnah al-Kufri Billaah”  Fitnah yang bermakna Kufur, Fitnah yang menjadikan seseorang kufur kepada Allah. Sebab turunnya ayat ini berkaitan dengan peristiwa ketika sebagian sahabat yaitu ‘Amru bin al-Khadhrami  membunuh orang kafir yaitu Waqid bin ‘Abdullah al-Tamimi pada akhir bulan Rajab yang termasuk Bulah-bulan Mulia (Ashur al-Hurum), dan orang-orang mukmin menyalahkannya, kemudian turunlah ayat ini. (ar-Razi: Mafatih al-Ghaib)

Al-Qurthubi menyatakan bahwa kata fitnah dalam ayat ini berarti tuduhan terhadap seseorang yang menyebabkan ia kembali kekufuran setelah memeluk Islam. Membunuh seseorang yang telah beriman dan tetap dalam keimanan lebih ringan dosanya dibanding membuat seseorang menjadi Kufur kepada Allah.

Al-Syaukani berpendapat bahwa segala tuduhan buruk yang dialamatkan kepada agama lebih berat dosanya dibandingkan membunuh satu orang. Karena menuduh agama Islam sebgaia agama yang buruk akan mendatangkan keraguan dihati-hati orang-oraang yang belum mantap imannya dna menjadikan mereka kufur kepada Allah Subhananhu wa Ta’ala. (Al-Syaukani; Fathul Qadir)

Al-Mawardi berpendapat mengapa syirik dianalogikan dengan fitnah karena syirik mengakibatkan kerusakan sebagaimana fitnah. Syirik menjadikan seseorang rusak agama dan segala hal baik yang melekat dalam dirinya. (al-Nukut wa al-‘Uyun)

al-Naisaburi berpendapat dalam tafsirnya, Mendahulukan kepentingan orang-orang kafir diatas kepentingan orang-orang mukmin sehingga menjadikan orang mukmin lari dari agamanya dan mereka mencari kesenangan dunia karena kecewa atas agamanya. Karena hal itu menjadikan hati seseorang berpaling dari agama dan mencari kesenangan lainnya yang justru menjauhkan dari agama Islam. (Tafsir Ghara’ib al-Quran wa Gharaib al-Furqan)

jika ditelusuri lebih jauh, seluruh Mufassir sepakat bahwa kata fitnah yang dikehendaki dari ayat tersebut bermakna syirik. Pendapat yang berbeda sebagaimana al-Naisaburi juga menghendaki fitnah yang ditujukan pada agama dan dapat menjadikan seseorang meninggalkan agamanya karena fitnah tersebut.

Baca Juga:  Menyelami Samudera Kesepian: Refleksi Q.S. Ali-‘Imran : 191

Dengan jelas dapat disimpulkan bahwa fitnah yang dikehendaki Alquran bukan fitnah yang sebagaimana dipahami oleh masyarakat kita. Karena tujuan ayat ini untuk menegakkan kalimat tauhid yang posisinya melebihi segalanya. [HW]

Shofiatun Nikmah
Dosen UNZAH Probolinggo, Founder of KOMPAQ “Komunitas Mahasiswa Pecinta Alquran” 2014, Founder of USWR “Uinsa Scientific Writing Research” 2018, Founder of kajiantafsir, dan Admin AIS (Arus Informasi Santri) Nusantara.

    Rekomendasi

    1 Comment

    1. […] merujuk kepada pesantren dengan mengumpulkan pendapat dari para mufassir mengambil kesimpulan bahwa fitnah dalam surah […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini