Tafsīr Al-Ijāz Fi Taisīr Al-I’jāz Al-Anbiya: 40-41

Al-Anbiya: 40

بَلْ تَأْتِيْهِمْ بَغْتَةً فَتَبْهَتُهُمْ فَلَا يَسْتَطِيْعُوْنَ رَدَّهَا وَلَا هُمْ يُنْظَرُوْنَ

Sebenarnya ia akan datang kepada mereka secara tiba-tiba, lalu mereka menjadi panik; maka mereka tidak sanggup menolaknya dan tidak (pula) diberi penangguhan.

Beberapa ulasan mengenai ayat ini, antara lain:

Pertama: Pada redaksi bal ta`tīhim bagtatan (Sebenarnya ia akan datang kepada mereka secara tiba-tiba), yang dimaksud adalah Hari Kiamat atau api neraka yang dijanjikan sebagaimana ayat sebelumnya. Demikian menurut kebanyakan ahli tafsir.

Tetapi, Syaikh Thabathaba`i menolak pendapat yang menyatakan bahwa kedatangan yang dimaksud adalah Hari Kiamat. Bagi beliau, sebagaimana konteks pembahasan dalam ayat sebelumnya, dhamīr (kata ganti) ini jelas kembali pada api neraka yang mendatangi orang kafir secara tiba-tiba, tanpa tahu dari sisi mana api itu berasal, lalu mengelilingi dan meliputi mereka begitu saja. Api neraka tidak sama dengan api dunia, yang membakar dari satu sisi lalu menjalar ke arah yang lain, dari luar kemudian membakar bagian dalam, melainkan api neraka membakar sisi luar dan dalam secara bersamaan, menghanguskan seluruh sisi sekaligus, tanpa perlu jeda atau waktu untuk menunda. Sebab itu disebutkan di dalam ayat yang berbeda bahwa,

نَارُ اللّٰهِ الْمُوْقَدَةُۙ. الَّتِيْ تَطَّلِعُ عَلَى الْاَفْـِٕدَةِۗ

“(Yaitu) api (azab) Allah yang dinyalakan, yang (membakar) sampai ke hati.” (QS. Al-Humazah: 6-7)

Tak hanya itu, bahkan bahan bakar dari Jahannam itu adalah orang-orang kafir itu sendiri,

اِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ حَصَبُ جَهَنَّمَۗ اَنْتُمْ لَهَا وَارِدُوْنَ

Sungguh, kamu (orang kafir) dan apa yang kamu sembah selain Allah, adalah bahan bakar Jahanam. Kamu (pasti) masuk ke dalamnya.” (QS. Al-Anbiya: 98)

Sebab itu tak heran jika dikabarkan bahwa mereka tak dapat menghindar, menolak ataupun mencari penghalang untuk menahan api neraka tersebut, bahkan mereka tidak mengetahui dan merasakan kedatangannya, tak pelak mereka menjadi kaget tanpa bisa menunda sama sekali.

Kedua: Makna kata bagtatan (tiba-tiba) ialah terjadinya suatu peristiwa tanpa kesiapan atau pengetahuan sebelumnya, karena itu fa tab-hatuhum (lalu mereka menjadi panik) yang mulanya kata ini berarti “dahsyat” dan “mengalami kebingungan”—dari kata baht. Secara sederhana, kata bagtatan ialah mencegah seseorang dari persiapan tertentu, sementara tab-hatuhum menghalangi manusia untuk memiliki kewaspadaan terhadap dirinya sendiri.

Baca Juga:  Perilaku Menyebalkan "Salah Ora Gelem Ngaku Salah"

Ketika itu terjadi maka fa lā yastahīna raddahā (maka mereka tidak sanggup menolaknya), ibarat dalam medan peperangan lalu ada serangan musuh yang datang ketika seluruh pasukan sedang beristirahat, tanpa ada tanda-tanda penyerangan, maka pantaslah jika mereka tidak dapat men0lak serangan, berlindung ke tempat persembunyian yang aman, atau memperoleh kesempatan menyelamatkan diri. Karena itu wa lā hum yunarn (dan tidak [pula] diberi penangguhan) untuk bertaubat atau meminta ampunan atas kesalahan yang telah mereka perbuat. Imam asy-Sya’rawi menjelaskan bahwa penggalan akhir ini bukan menunjukkan kabar tentang sesuatu yang dapat dihindari, melainkan menjelaskan kondisi penyiksaan pedih yang tak dapat ditunda atau ditangguhkan sama sekali.

Imam al-Qusyairi memberi komentar perihal ayat ini bahwa azab ketika datang dengan tiba-tiba akan memberi efek yang lebih parah. Dan termasuk sunnatullah tentang intiqam (murka-Nya), ialah menyebarkan aroma ancaman [perihal siksaan] di saat seseorang tengah tenggelam dalam berbagai kenikmatan.

Ketiga: Imam al-Maturidi, memberi komentar yang unik tentang redaksi wa lā hum yunarn (dan tidak [pula] diberi penangguhan). Dalam Ta`wilat Ahl as-Sunnah beliau menjelaskan bahwa sekalipun mereka tidak bisa menolak dan mendapat pertolongan dari yang lain, tetapi bilamana mereka mau bermohon dengan merendahkan hati, niscaya mereka bisa mendapat penangguhan atau keringanan, seperti tersebut dalam al-An’am: 37

فَلَوْلَآ اِذْ جَاۤءَهُمْ بَأْسُنَا تَضَرَّعُوْا

Tetapi mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan kerendahan hati ketika siksaan Kami datang menimpa mereka?…

Keempat: Dalam bentuk Isyāri, seperti tafsir ‘Arā`is al-Bayan, Imam al-Baqli menyatakan pendapat sebagian ulama bahwa orang-orang yang mengalami rasa bingung (al-baht), tak lain dikarenakan ia melihat alam semesta (al-kaun) dan melupakan sesuatu yang tersembunyi (al-maknun) di dalamnya; sementara mereka yang berada di hadirat Allah, tidak satu pun hal yang membuatnya kaget atau panik, karena mereka telah berada di mahal al-haibah min manazil al-quds (tempat agung yang berada di bagian rumah suci).

Baca Juga:  Tafsir Al-I'jaz Fi Taisir Al-I'jaz Al-Anbiya': 30-31

Al-Anbiya: 41

وَلَقَدِ اسْتُهْزِئَ بِرُسُلٍ مِّنْ قَبْلِكَ فَحَاقَ بِالَّذِيْنَ سَخِرُوْا مِنْهُمْ مَّا كَانُوْا بِهٖ يَسْتَهْزِءُوْنَ

wa laqadistuhzi`a birusulim min qablika fa āqa billażīna sakhir min-hum mā kān bihī yastahzi`n

Dan sungguh, rasul-rasul sebelum engkau (Muhammad) pun telah diperolok-olokkan, maka turunlah (siksaan) kepada orang-orang yang mencemoohkan apa (rasul-rasul) yang selalu mereka perolok-olokkan.

Pandangan dari beberapa tafsir tentang ayat ini, di antaranya:

Pertama: Imam ar-Razi menilai bahwa ayat ini merupakan tasliyah (hiburan) bagi hati Nabi Saw ketika beliau diingkari, dicemooh dan dimintai sesuatu yang tak seharusnya oleh kaum kafir. Sebab itu, Allah memberi dua bentuk tasliyah: (a) Bahwa mereka yang ingkar akan menerima azab, sebagaimana pada ayat sebelumnya—lihat, al-Anbiya: 39. (b) Dalam sejarah para nabi terdahulu, apa yang dialami Nabi Saw telah menimpa mereka, lalu orang-orang kafir ditimpakan azab atas ejekan yang mereka lakukan kepada nabi Muhammad, sebagaimana yang juga terjadi di masa para nabi sebelumnya.

Kedua: Syaikh Thabathaba`i memberikan ulasan tentang perbedaan kata as-sukhriyyah dan al-haz`u. Menurut beliau,  kata as-sukhriyyah memiliki titik tekan pada arti “merendahkan” (tadzlil) secara umum, sementara kata al-haz`u adalah merendahkan nilai seseorang dengan jelas dalam sebuah ungkapan atau perkataan.

Karena orang kafir yang merendahkan para nabi dan mengolok-olok mereka, lalu fa āqa (turunlah [siksaan]) untuk mereka. Kata āqa memiliki makna “menimpa” dan “meliputi”. Kata ini tidaklah diberlakukan kecuali untuk sesuatu yang tidak disukai atau buruk. Demikian, simpul Syaik Muhammad Amin as-Sinqithi dalam tafsirnya.

Ketiga: Alasan Allah menceritakan kisah nabi terdahulu atau mengaitkan suatu kejadian yang dialami Nabi Saw dengan para nabi sebelumnya, antara lain ialah untuk menguatkan hati Nabi Saw itu sendiri, menginformasikan kebenaran, nasehat dan sekaligus peringatan bagi umat Nabi Saw, sebagaimana disebutkan,

Baca Juga:  Tafsīr Al-Ijāz Fi Taisīr Al-I’jāz Al-Anbiya: 36-37

وَكُلًّا نَّقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ اَنْۢبَاۤءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهٖ فُؤَادَكَ وَجَاۤءَكَ فِيْ هٰذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَّذِكْرٰى لِلْمُؤْمِنِيْنَ

Dan semua kisah rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu (Muhammad), agar dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu; dan di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala) kebenaran, nasihat dan peringatan bagi orang yang beriman. (QS. Hud: 120)

Dengan kisah-kisah tersebut, Nabi juga dididik untuk menghadapi orang-orang yang ingkar, dengan bersabar misalnya,

وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِّنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوْا عَلٰى مَا كُذِّبُوْا وَاُوْذُوْا حَتّٰٓى اَتٰىهُمْ نَصْرُنَا ۚوَلَا مُبَدِّلَ لِكَلِمٰتِ اللّٰهِ ۚوَلَقَدْ جَاۤءَكَ مِنْ نَّبَإِ۟ى الْمُرْسَلِيْنَ

Dan sesungguhnya rasul-rasul sebelum engkau pun telah didustakan, tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami kepada mereka. Dan tidak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat (ketetapan) Allah. Dan sungguh, telah datang kepadamu sebagian dari berita rasul-rasul itu. (QS. Al-An’am: 34)

Sebab itu, selalu ada ibrah dalam suatu kisah tentang para nabi,

لَقَدْ كَانَ فِيْ قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۗ مَا كَانَ حَدِيْثًا يُّفْتَرٰى وَلٰكِنْ تَصْدِيْقَ الَّذِيْ بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيْلَ كُلِّ شَيْءٍ وَّهُدًى وَّرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُّؤْمِنُوْنَ

Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal. (Al-Qur’an) itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya, menjelaskan segala sesuatu, dan (sebagai) petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS. Yusuf: 111)

Dalam Maqayis al-Lughah, setiap huruf ‘ainba`ra` memang memiliki makna dasar sesuatu yang “habis” atau “terlewat” (nafudz aw mudhiyy). Semisal bentukan dari kata ini adalah ‘ubur (menyebrang atau melintas), berarti tiada dari tempat semula dan sampai pada tempat yang baru. Karena itu, ibrah kadang diartikan sebagai gambaran atau pelajaran, yang dengannya akan mengantarkan pada sesuatu yang lain.

Wallahu a’lam. [HW]

Ach. Khoiron Nafis
Mantan Lurah PP Baitul Hikmah & Alumnus STF Alfarabi

Rekomendasi

Cerpen

Puncak Kebahagiaan

“Tenang, Arinda” sapa diriku saat rasa kemrungsung kembali memuncak. Antara bekerja tanpa ruh, ...

Tinggalkan Komentar

More in Pustaka