Menghidupkan Kembali Ajaran Tasamuh Kiai Abdul Wahab Chasbullah

Kiai Abdul Wahab Chasbullah dikenal dengan panggilan Mbah Wahab oleh santrinya, beliau adalah cerminan dari karakter muslim Nahdlatul Ulama, muslim Nusantara, muslim Indonesia yang memiliki toleransi (tasamuh) tinggi. Sikap toleransi Mbah Wahab dapat dilihat pada kisah beliau ketika menjadi imam salat subuh, berikut cuplikan kisah tersebut.

Pada suatu waktu, Mbah Wahab menghadiri sebuah undangan di sebuah daerah dengan mengajak dua santri beliau. Pada waktu salat subuh di masjid daerah tersebut, Mbah Wahab dipersilakan untuk menjadi imam salat. Sebelum salat dimulai, Mbah Wahab bertanya kepada jamaah “teng mriki kalau sholat subuh ndamel qunut nopo mboten? (Di sini, jika salat subuh memakai qunut apa tidak?”. “Mboten Kiai (tidak Kiai)”, jawab jamaah tersebut.

Kemudian Mbah Wahab memulai salat subuh, pada rakaat kedua Mbah Wahab tidak membaca doa qunut. Hal ini membuat dua santri beliau bingung. Awalnya mereka sempat mengira kalau Mbah Wahab lupa membaca doa qunut, tetapi akhirnya mereka sadar bahwa Mbah Wahab tidak lupa karena pada saat sebelum salam pun Mbah Wahab tidak melakukan sujud syahwi. Setelah selesai salat, mereka berdua menyimpan rasa penasaran yang tak tertahankan dalam hatinya untuk segera menanyakan ihwal tersebut kepada Mbah Wahab.

Pada waktu perjalanan pulang dari masjid kedua santri yang sudah tidak tahan menyimpan rasa penasaran, akhirnya mereka bertanya langsung kepada Mbah Wahab “Mbah Wahab ngapunten, bilih teng pondok njenengan mewajibkan maos doa qunut waktu salat subuh keranten supe mboten maos digantos ngelampahi sujud syahwi sakderenge salam. Lha wau kok njenengan mboten ngelampahi kale-kalene? (Mbah Wahab, mohon maaf. Apabila di pondok njenengan mewajibkan membaca doa qunut ketika salat subuh, jika lupa tidak membaca doa qunut maka diganti dengan sujud syahwi sebelum salam. Lah, njenengan tadi mengapa tidak melakukan keduanya?)”, tanya santri beliau.

Baca Juga:  Abdul Mukti Sekum PP. Muhammadiyah: Tasamuh sebagai Wujud Moderasi Beragama dalam Kemajemukan

Ngene loh cung, moco doa qunut kuwi sunnah lha bentuk toleransi (menghargai wong liyo) kuwi wajib. Antara kewajiban karo kesunnahan sing kudu didisekno kuwi yo kewajiban (Begini loh Nak, membaca doa qunut itu sunnah sedangkan bentuk toleransi itu wajib. Antara kewajiban dan kesunnahan yang didahulukan ya kewajiban)”, jelas Mbah Wahab kepada dua santrinya.

Oh… ngoten nggeh Mbah Wahab (Oh… begitu ya Mbah Wahab)”, jawab dua santrinya setelah menerima penjelasan dari Kiai Abdul Wahab Chasbullah sambil menganggukkan kepala, tanda bahwa mereka sudah memahami persoalan tadi.

Dalam golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah, ada tiga prinsip sikap yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. dan para sahabatnya yaitu tawassuth (sikap tengah-tengah, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan), tawazun (seimbang dalam segala hal, termasuk dalam penggunaan dalil ‘aqli dan dalil naqli), dan i’tidal (tegak lurus). Selain ketiga prinsip tersebut, golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah juga mengamalkan sikap tasamuh atau toleransi.

Tasamuh sendiri berasal dari bahasa Arab تَسَامَحَ – يَتَسَامَحُ – تَسَامُحًا  yang berarti bersikap toleran, berlapang dada, memaklumi. Sebuah konsep modern untuk menggambarkan saling menghormati dan bekerjasama diantara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda baik secara etnis, budaya, ras, suku, politik dan agama.

Kemudian tasamuh dalam bahasa Indonesia diartikan dengan toleransi. Kata toleransi sendiri bukanlah bahasa asli Indonesia, tetapi serapan dari bahasa Inggris “tolerance” yang definisinya tidak jauh dari kata toleransi atau toleran. Toleransi yaitu menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini.

Allah memberikan batasan toleransi hanya sebatas pada kepentingan sosial atau kepentingan duniawi saja, tidak boleh menyangkut pautkan dengan masalah akidah agama, hal ini dijelaskan dalam firman Allah surat Al-Kafirun ayat 1-6 :

Baca Juga:  Abdul Mukti Sekum PP. Muhammadiyah: Tasamuh sebagai Wujud Moderasi Beragama dalam Kemajemukan

قُلْ يٰٓاَيُّهَا الْكٰفِرُوْن َۙ)١( لَآ اَعْبُدُ مَا تَعْبُدُوْنَۙ )٢( وَلَآ اَنْتُمْ عٰبِدُوْنَ مَآ اَعْبُدُۚ )٣( وَلَآ اَنَا۠ عَابِدٌ مَّا عَبَدْتُّمْۙ )٤( وَلَآ اَنْتُمْ عٰبِدُوْنَ مَآ اَعْبُدُۗ )٥( لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ )٦ (٦

Artinya:

Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (Qs. Al-Kafirun : 1-6).

Presiden ke-4 RI, KH. Abdurrahman Wahid yang dikenal dengan panggilan Gus Dur ini juga tak bisa dilepaskan dari teladan bertoleransi. Pemikiran beliau merupakan hasil belajar dari Mbah Wahab terutama mengenai tasamuh atau toleransi semasa nyantri di Pesantren Tambakberas. Nenek dari pihak ibu beliau juga merupakan adik kandung dari Mbah Wahab. Sehingga transmisi keilmuan beliau sangat dekat sekali dengan Mbah Wahab. Gus Dur membangun toleransi didasarkan tiga persaudaraan yaitu persaudaraan Islam, persaudaraan kebangsaan dan persaudaraan manusia. Sikap toleransi Gus Dur tidak muncul serta merta begitu saja. Namun, sikap toleransi itu muncul sebagai suatu penemuan setelah melakukan perjalanan intelektual yang panjang.

Pengembaraan intelektual itu dimulai pada lingkungan pesantren tradisional Tebuireng Jombang, Tambakberas Jombang, Krapyak Yogyakarta, dan Tegalrejo Magelang. Dari pondok pesantren tersebut memang banyak mengajarkan beliau arti toleransi sebab dalam pendidikan pesantren NU pada umumnya, toleransi merupakan ajaran yang sering disuguhkan para Kiai sehingga tertanam dihati para santri, seperti halnya kisah yang saya suguhkan di awal tulisan ini.

Sayangnya ajaran tasamuh itu semakin pudar di masyarakat. Hal ini bisa dibuktikan dengan banyaknya tindakan intoleran di tengah masyarakat. Kita bisa menyaksikan sendiri bagaimana kelompok-kelompok agama garis keras dan arogan tumbuh subur dan menguasai ruang publik kita. Kelompok yang anti-kemajemukan dan cenderung menganggap kelompok yang tidak sejalan dengannya sebagai musuh ini semakin leluasa karena tindakan kekerasan dan intoleran yang mereka lakukan seringkali tidak tersentuh oleh hukum.

Baca Juga:  Abdul Mukti Sekum PP. Muhammadiyah: Tasamuh sebagai Wujud Moderasi Beragama dalam Kemajemukan

Asumsi tersebut dikonfirmasi oleh data Komnas HAM yang menyebut bahwa dari semua kasus intoleransi dan kekerasan atas nama agama hanya sebagian kecil yang diselesaikan di ranah hukum. Sebagian besar kasus intoleransi agama diselesaikan di luar ranah hukum, sementara sisanya dibiarkan menguap tanpa kejelasan.

Kejadian-kejadian yang muncul, akibat dari lunturnya sikap toleransi pada setiap pribadi atau mungkin karena kepentingan kelompok politik yang menjadi penyebab pecahnya rasa persatuan dan persaudaraan. Oleh sebab itu, praktik sikap tasamuh atau toleransi sangat penting kita hadirkan dalam sebuah hubungan sosial kemasyarakatan, apalagi di zaman keterbukaan informasi seperti ini benar-benar sangat diperlukan.

Sudah sepatutnya kita belajar meneladani kembali ajaran tasamuh yang di praktikkan oleh Mbah Wahab, agar kita bisa ikut serta menciptakan sebuah perdamaian dan kerukunan di dalam masyarakat yang majemuk ini. [HW]

Eka Miftachul Jannah
Santri Pondok Pesantren Putri Al-Lathifiyyah 2 Bahrul Ulum dan Mahasiswi S1 Universitas KH. A. Wahab Hasbullah Tambakberas Jombang

    Rekomendasi

    1 Comment

    1. […] Dalam diskusi ini juga dilakukan peluncuran buku berjudul ‘Pluralitas dalam Bingkai Nasionalisme’ (Telaah atas Pemikiran dan Perjuangan KH Abdul Wahab Hasbullah) karya Muhammad Izzul Islam An-Najmi (Gus Amik), cucu KH Abdul Wahab Chasbullah. […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini