Sekilas Sulthonul Auliya Syekh Abdul Qodir Jailani

Kita dapat menjumpai sabda Nabi yang menerangkan perihal mujaddid, bahwa di setiap penghujung 100 tahun akan ada seorang yang memperbaharui agamanya. Namun mujaddid mereka hanya memperbaharui apa yang sudah maklum dalam agama, yang buruk diperbaiki, dan yang baik dipertahankan tentunya.

Seorang mujaddid tentunya orang yang sangat berpengaruh pada masanya, ia mesti memiliki syarat khusus:

Di antara syarat-syarat seorang mujaddid yaitu, menolong sunnah serta kalamnya, menguasai “seluruh fann ilmu“, dan dia tunggal sebagaimana pendapat yang masyhur dalam hadis menurut jumhur ulama.

إن اللهَ يبعث لهذه الامة على رأس كل مائَة سنة منْ يجدد لها ديْنها

Sesungguhnya Allah akan menurunkan (orang) setiap permulaan 100 tahun seseorang kepada Umat yang akan (Tajdid) mengembalikan kegemilangan Agama mereka“. (HR. Abu Daud, Hakim, Baihaqi).

Jika mujaddid Islam pada abad ke-11 M/5 H adalah Imam al Ghazali dan mendapat julukan hujjatul Islam karena keberhasilannya menggabungkan syariat dan tarekat secara teoritis.

Maka mutiara sejarah abad ke-12 M/6 H diduduki oleh seorang ulama yang berhasil memadukan antara syariat dan sufisme secara praktis-aplikatif. Karena itu, ia mendapat julukan quthubul auliya’. Dia adalah Syekh Abdul Qadir al-Jailani.

Nama lengkapnya adalah Sayyid “Muhyidin” Abu Muhammad Abdul Qadir ibn Abi Shalih Musa Zangi Dausat al-Jailani. Syekh Abdul Qadir dilahirkan di Desa Naif, distrik Jailan Kurdistan Selatan, terletak 150 km sebelah timur laut Kota Baghdad, di selatan Laut Kaspia, Iran.

Ia dilahirkan pada waktu fajar, Senin, 1 Ramadhan 470 H, Tahun itu juga bertepatan dengan keputusan Imam Abu Hamid al Ghazali untuk meninggalkan tugasnya mengajar di Nidzamiah, Baghdad. Sang Imam Ghazali ternyata lebih memilih uzlah (mengasingkan diri) dan lebih mendekatkan dirinya kepada Allah Ta’ala.

Baca Juga:  Dua Begawan Ilmi Nusantara

Terjadi khilafiyah pendapat Ia lahir sebagai anak yatim (di mana ayahnya telah wafat sewaktu beliau masih dalam kandungan enam bulan), ada yang mengatakan beliau yatim ketika masih balita. Beliau besar di tengah keluarga yang hidup sederhana dan saleh.

Ayahnya, Imam Sayyid Abi Shalih Musa Zangi Dausat, adalah ulama fuqaha ternama, Mazhab Hambali, dan garis silsilahnya berujung pada Hasan bin Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah.

Sedangkan, ibunya adalah Ummul Khair Fathimah, putri Sayyid Abdullah Sauma’i, seorang sufi terkemuka waktu itu. Dari jalur ini, silsilahnya akan sampai pada Husain bin Ali bin Abi Thalib. Karena itu, ia diberi gelar pula dengan nama Sayyid.

Keistimewaan Syekh Abdul Qadir Jailani sudah tampak ketika dilahirkan, ketika mengandung, ibunya sudah berusia 60 tahun. Sebuah usia yang sangat rawan untuk melahirkan. Bahkan, ketika dilahirkan yang bertepatan dengan bulan Ramadhan, Abdul Qadir Jailani tidak mau menyusu sejak terbit fajar hingga Maghrib.

Kebesaran Syekh Abdul Qadir Jailani bukan semata-mata karena faktor nasab dan karamahnya. Ia termasuk pemuda yang cerdas, pendiam, berbudi pekerti luhur, jujur, dan berbakti kepada orang tua.

Selain itu, kemasyhuran namanya karena kepandaiannya dalam menguasai berbagai ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang agama. Ia menguasai ilmu fikih dan ushul fikih. Kendati menguasasi Mazhab Hanafi, ia pernah menjadi mufti Mazhab Syafi’i di Baghdad.

Di samping itu, ia juga dikenal sangat alim dan wara. Hal ini berkaitan dengan ajaran sufi yang dipelajarinya. Ia suka tirakat, melakukan riyadhah dan mujahadah melawan hawa nafsu.

Selain penguasaannya dalam bidang ilmu fikih, Syekh Abdul Qadir Jailani juga dikenal sebagai peletak dasar ajaran tarekat Qadiriyah.

Baca Juga:  Berdakwah dengan Hikmah dan Ahsan

Al-Jailani dikenal juga sebagai orang yang memberikan spirit keagamaan bagi banyak umat. Karena itu, banyak ulama yang menjuluki ‘Muhyidin‘ (penghidup agama) di depan namanya.

Ada sirah yang “musalsal” (disampaikan para perawi secara berurutan dan sama dalam keadaan dan situasi tertentu, baik secara perbuatan maupun perkataan) dari para Masyayikh keturunan Syaikh Abdul Qodir dan Muhibbinnya bahwa: “Asalnya Syaikh Abdul Qodir bermadzhab Syafi’i”, suatu waktu beliau bermimpi berjumpa dengan Rosululloh yang berpesan “tolonglah saudaramu Ahmad bin Hanbal”, keesokan harinya beliau kumpulkan murid-muridnya menyampaikan pesan itu dan berkata mulai kini kita akan mengamalkan dan mengajarkan madzhab Imam Ahmad.

Apa hikmahnya, saat itu sudah banyak orang-orang mu’tazilah yang mengaku ngaku pengikut madzhab Hanbali tetapi ternyata merusak sebagian dari i’tiqod dan ajaran Imam Ahmad. Dan bahkan banyak diantara yang mengakukan diri sbg pengikut Imam Ahmad tetapi menjadi khawarij.

Takutlah kamu dengan firasat seorang mukmin (alim alamah). Sebab ia memandang sesuatu dengan cahaya Illahi.

(Syeh Abdul Qodir Jaelani)

Beliau wafat di Baghdad pada Sabtu, 11 Rabiultsani 561 H/1166 M.

(Al-Lujjainid Dani karya Syaikh Ja’far bin Hasan bin Abdul Karim al Barzanji).

والله اعلم

Musa Muhammad
Santri Pondok Pesantern as Syidiqiyah Bumirejo Kebumen.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Ulama