Kemarin malam setelah isya’, seperti biasa saya kerumah bapak. Sudah menjadi kesepakatan dalam diam kami sekeluarga, anak-anaknya bapak, untuk menemani beliau di ndalem utama setiap habis isya’. Kesepakatan ini adalah lanjutan dari sebuah kebiasaan baik yang lahir sejak bapak ditinggal almarhumah ibuk dahulu.
Saat masuk kerumah, saya tertarik dengan tumpukan sembako yang berada diruang keluarga. Ada beberapa karton mie instan, beberapa karung beras, dan juga beberapa krat telur. Saya bertanya pada bapak: ” kok katah sembako, dugi pundi bah? (Kok banyak sembako, dari mana bah?)”. “Ooh iku ko nggone tamu mau (ooh itu dari tamu tadi)”. “Nopo alumni? (Apakah alumni sini?)”. Tanya saya lagi. “Ora jane, ndisek mondok neng malang. Tapi terus dadi kiaine ket awal sering sowan mrene, lan opo wae seng tak omongne dilakoni kabeh. Alhamdulillah sakiki wes mulai mlaku (sebenarnya bukan alumni pondok sini, dulu mondoknya di Malang. Tapi kemudian saat mulai awal berjuang sering kesini, dan apapun yang saya pesankan, selalu dilaksanakan olehnya. Alhamdulillah sekarang sudah mulai berjalan dengan baik perjuangannya)”.
Setelah itu bapak bercerita perihal kiai muda ini, bagaimana dulu masih mulai berjuang dan lalu sowan kesini. Cerita ini diulangi lagi ketika ngaji ihya’ pagi tadi:”enten santri nembe wangsul, terus berjuang ten daerahe. Ten mriko geh dilok-lokne kaleh tonggo-tonggone. Kaleh kiai seng wes luweh ndisek lan sepuh:ki arek cilik ra enek barokahe. Seng sepuh-sepuh ngantemi. (ada seorang santri yang baru pulang dari pondok. Kemudian mulai berjuang didaerahnya. Ketika mulai berjuang disana, dia diolok-olok oleh para tetangganya. Oleh para kiai disekitarnya, yang lebih dulu dan lebih tua diolok: ‘ini anak kecil, tidak ada barokahnya’. Yang tua-tua semuanya menghantam dengan keraguan)”.
“Terus laporan mriki. Pun takkon ngejarnee ae. Pokok kene ojo melu ngelokne mriko. Ngelokne mriki yo ben (kemudian seseorang tersebut laporan kesini. Kemudian saya nasehati untuk membiarkan saja semua cemoohan itu. Asalkan kita jangan ikut-ikut mencemooh mereka. Meskipun mereka mencemooh, biarkan saja, jangan membalas)”.
“Alhamdulillah, duko pun enten limang tahun, tapi ketoke dereng. La kok sakniki wes gak do ngelokne. Malah sakniki santrine pun sekitar 500an. Geh bangun-bangun barang. Geh kabeh dugi gusti Allah (Alhamdulillah, entah sudah ada lima tahun atau belum, tapi kelihatannya belum. La kok sekarang sudah tidak ada yang mencemooh lagi. Malah-malah sekarang santrinya sudah ada sekitar 500 an putra putri. Juga masih terus membangun-bangun gedung. Memang semuanya dari gusti Allah)”.
Disamping karena teguh dalam berjuang, dalam artian tidak mempedulikan semua hinaan dan cemoohan dari orang-orang sekitar. Bapak memberi tahu juga tentang amalan apa yang diistiqomahkan oleh sang santri hingga bisa sukses berproses sejauh ini. Bapak ngendikan:” Seng digedekne niki solawat bahriah kubro (dalam cerita santri tersebut, yang diperbanyak amalannya yaitu ijazah dari bapak berupa membaca sholawat bahriah kubro)”.
Sholawat bahriah kubro sendiri adalah sebuah amalan yang sangat populer di Kwagean. Siapapun yang pernah nyantri disini, pasti tahu dengan sholawat ini. Karena memang sering dijadikan doa oleh bapak ketika dalam suatu acara. Juga sering diijazahkan bagi siapapun yang datang minta ijazah kepada beliau.
Bapak sendiri sering menerangkan betapa lengkapnya kandungan doa yang tercakup didalam sholawat ini. Mulai dari urusan duniawi hingga ukhrowi. Mulai dari banyak santri, ilmu, hingga banyak tamu. Jadi memang selayaknyalah bila bapak banyak mengijazahkan sholawat bahriah kubro ini bagi para santri juga jamaah yang minta ijazah.
Bisa disebut wiridan dan doa paket lengkap.
Meskipun toh doa ini paket lengkap, juga sudah banyak terbukti manjur, namun tidak akan berguna bila kita tidak istiqomah mengamalkannya. Juga, meskipun sang santri yang ada dalam cerita diatas bukanlah santri Kwagean, namun karena mengamalkan ijazah sholawat ini, alhamdulillah diberikan kesuksesan oleh Allah. Dan ini sekaligus peringatan bagi santri Kwagean, meskipun lama mondok disini, namun bila tidak mengamalkan ilmu dan juga amalan yang didapat selama mondok, maka tidak akan mendapatkan kesuksesan yang serupa.
Bukan tentang dimana mondoknya, tapi amalan apa yang diusahakan.
Tidak harus dengan mengamalkan sholawat bahriah kubro, banyak sekali pilihan amalan yang lain yang juga tak kalah bagus. Tinggal pilih saja, satu yang menurut anda cocok. Bila masih bingung memilih, jalan termudah adalah dengan sowan kiai anda. Lalu meminta amalan yang cocok untuk anda.
Jadi sekali lagi, kita harus faham bahwa pada akhirnya kita sendirilah yang menentukan sukses tidaknya kita. Meskipun banyak kiai yang mendoakan, juga orang tua yang banyak membantu perekonomian. Namun bila kita tidak tangguh berjuang, dan tidak istiqomah mengusahakan, maka kesuksesan akan selalu jauh didepan.
Semoga kita mampu memilih ilmu yang baik, dan selanjutnya mengamalkan dengan istiqomah. Karena yang menentukan kehebatan seorang pejuang: bukanlah ketajaman senjata, tapi ketekunan berlatih. []
#salamKWAGEAN
[…] Source link […]