“Ada peran besar Santri dan Pesantren dalam proses perjuangan kemerdekaan hingga berdirinya negara ini (Indonesia). Saat ini, tanggungjawab Santri dan Pesantren untuk membangun negara ini” (Penulis)
Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama dan Jargon Hubbul Wathan Minal Iman
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi besutan Ulama Pesantren, telah nyata menunjukkan perannya dalam mendirikan, membangun dan menjaga Indonesia untuk tetap menjadi Negara Kesatuan warisan para leluhur.
Hubbul Wathan Minal Iman, dahulu merupakan jargon penyemangat yang menjadi fatwa penting Ulama kepada umat Islam dan seluruh rakyat Indonesia untuk gigih memperjuangkan kemerdekaan dan mempertahankannya. Pada era Kemerdekaan Republik Indonesia yang menuju Satu Abad saat ini, jargon tersebut telah menjadi wasiat penting bagi para Nahdliyin (Anggota Nahdlatul Ulama) untuk terus mempertahankan dan mengisi kemerdekaan dengan segala daya upaya.
Hubbul Wathan Minal Iman bukanlah Hadits Nabi Muhammad SAW ataupun kutipan Ayat Al-Qur’an. Itu merupakan Jargon yang difatwakan oleh para Ulama pendiri Nahdlatul Ulama, khususnya Rais Akbar NU Hadhratussyaikh Hasyim Asy’Ari. Difatwakan untuk menyemangati dan memberikan kepastian gerak pada para pejuang kala itu (1947-1949) yang sedang menghadapi masa-masa genting pasca dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan oleh Sukarno.
Jauh sebelum itu, Nahdlatul Ulama telah mendedikasikan pergerakannya untuk Indonesia dalam berbagai hal. Salah satunya adalah perjuangan fisik dan diplomasi. Setidaknya, jargon Hubbul Wathan Minal Iman tersebut, sudah ada dalam teks syair “Syubbanul Wathan” atau yang lebih dikenal dengan “Yaa Ahlal Wathan/Yaa Lal Wathan”. Dalam lagu tersebut, terdapat kalimat “Hubbul Wathan Minal Iman”, yang menjadi lagu wajib oleh Perkumpulan Nahdlatul Wathan di setiap memulai kegiatan perkumpulan mereka. Ini menandakan bahwa jargon Hubbul Wathan Minal Iman sudah umum di kalangan Nahdlatul Ulama sejak tahun 1934.
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dikumandangkan di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan tonggak sejarah Kemerdekaan Indonesia. Namun bukan berarti perjuangan fisik telah usai, justru dari peristiwa itulah kemudian muncul peristiwa-peristiwa penting yang mengharuskan para pemuda dan seluruh rakyat Indonesia yang di dalamnya termasuk para Santri Pesantren harus kembali mengangkat senjata. Memperjuangkan dan mempertahankan kembali kemerdekaan yang sudah diproklamasikan. Gangguan integritas terus dilancarkan oleh Belanda yang ingin kembali menduduki Indonesia, dibantu Negara-Negara lain yang menjadi sekutunya.
Melihat kemungkinan buruk yang akan dialami Indonesia saat itu yakni pertempuran fisik besar-besaran, maka para tokoh pemuda di Jawa dan Madura melakukan persiapan cepat dengan mengkoordinasikan seluruh kelompok pergerakan yang ada untuk bersiap siaga menghadapi itu. Tokoh-tokoh pemuda yang berlatarbelakang Santri Pesantren seperti Sutomo (bung Tomo), Sudirman dan juga sang Proklamator Sukarno, melakukan koordinasi ke seluruh Jawa dan Madura agar bersiap. Mereka juga meminta nasehat-nasehat serta arahan taktis dari para tetua/kesepuhan dari kalangan Ulama Pesantren. Salah satunya adalah meminta nasehat dan penguatan semangat kepada Hadhratussyaikh Hasyim Asy’ari sebagai seorang Ulama yang disegani dan memiliki banyak santri di hampir seluruh Jawa dan Madura.
Atas “sowan” para tokoh pergerakan kala itu ke Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, maka pada tanggal 22 Oktober 1945 Hadhratussyaikh Hasyim Asy’ari beserta beberapa Ulama lainnya mengumumkan sebuah fatwa penting sebagai respon atas keadaan yang sedang dan akan terjadi. Fatwa terkait Jihad fi Sabilillah yang di-Fatwakan Rais Akbar Nahdlatul Ulama Hadhratussyaikh Hasyim Asy’Ari atasnama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (HBNO saat itu) kepada para Santri Pesantren di lingkungan Pesantren Nahdlatul Ulama dan seluruh masyarakat di Jawa dan Madura kala itu berisi ; (1) Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan, (2) Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah, wajib dibela dan diselamatkan, (3) Musuh Republik Indonesia, terutama Belanda yang datang kembali dengan membonceng tugas-tugas tentara sekutu (Inggris) dalam masalah tawanan perang bangsa Jepang tentulah akan menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia, (4) Umat Islam terutama Nahdlatul Ulama wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia, (5) Kewajiban tersebut adalah jihad yang menjadi kewajiban tiap-tiap orang Islam (fardlu ‘ain) yang berada pada jarak radius 94 km (jarak di mana umat Islam diperkenankan sembahyang jama’ dan qasar). Adapun mereka yang berada di luar jarak tersebut berkewajiban membantu saudara-saudaranya yang berada dalam jarak radius 94 km tersebut.
Fatwa tersebut kemudian dikenal dengan nama “Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama (NU)”, yang dirilis dalam bentuk pamflet-pamflet sehari setelah difatwakan oleh Rais Akbar Nahdlatul Ulama Hadhratussyaikh Hasyim Asy’Ari.
Pamflet-pamflet berisi Fatwa Resolusi Jihad, segera beredar luas kepada seluruh pemuda dan masyarakat terutama dari kalangan santri pondok-pondok pesantren se-Jawa dan Madura. Ditambah lagi dengan siaran-siaran radio yang disiarkan berulang kali melalui RRI Surabaya oleh Bung Tomo yang berisi orasi-orasi beliau guna membakar semangat.
Rentetan peristiwa-peristiwa tersebut, belakangan memperoleh apresiasi oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Presiden RI dengan menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional (HSN). Ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 dan ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo pada tanggal 15 Oktober 2015.
Hubbul Wathan Minal Iman yang berarti “Cinta Tanah Air Sebagian Dari Iman”, merupakan penegasan dan penguatan semangat untuk para pejuang serta seluruh Rakyat Indonesia. Semangat untuk tidak ragu dalam berjuang membela kedaulatan Indonesia. Semangat untuk tidak malas mempertahankan kemerdekaan yang telah dengan susah payah diraih. Saat ini, jargon tersebut layak menjadi warisan bagi kita generasi penerus perjuangan para pendahulu kita, khususnya para Santri Pesantren di lingkungan Nahdlatul Ulama yang telah membuktikan kecintaannya kepada Negara ini.
Warisan Fatwa/Jargon Hubbul Wathan Minal Iman ini harus dapat diterapkan dalam berbagai sendi kehidupan dan diselaraskan dengan bentuk-bentuk panji Negara. Pancasila harus dapat kita jaga dan terapkan dalam konteks Warisan Hubbul Wathan Minal Iman. Begitu pula dengan UUD 1945 berikut penjabarannya, selayaknya dapat kita jadikan pegangan bernegara dengan tetap menanamkan Warisan Hubbul Wathan Minal Iman dalam implementasinya.
Singkatnya, Hubbul Wathan Minal Iman bukanlah sebatas Jargon lama yang hanya berupa ungkapan begitu saja. Layaknya peninggalan orang tua, maka Fatwa Hubbul Wathan Minal Iman seharusnya menjadi Warisan yang harus terus kita jaga dan kita satukan dalam gerak langkah kita setiap hari. Seperti yang disampaikan Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siradj, bahwa “Hubbul Wathan Minal Iman merupakan cinta Agama dan Tanah Air dalam satu tarikan nafas yang sama”. Bermakna bahwa segenap elemen Bangsa Indonesia khususnya Santri Pesantren yang juga sebagai Nahdliyin (Anggota Nahdlatul Ulama), semestinya menjadikan kecintaan kepada Agama Islam sejalan dengan kecintaan pada Tanah Air.
Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama merupakan pemicu “bangkit”nya Santri, dan bangkitnya Santri Nahdliyin (Nahdlatul Ulama) adalah kebangkitan Rakyat Indonesia secara umum. Kebangkitan untuk bersatu mengerahkan kemampuan masing-masing sesuai kebutuhan di masa itu. Semangat kebangkitan tersebut semestinya terwariskan dengan baik secara berkelanjutan kepada santri-santri yang merupakan elemen Rakyat Indonesia hingga saat ini. Mengerahkan segala kemampuannya untuk menghadapi tantangan era kekinian, dalam rangka meneruskan serta memperluas jangkauan khidmat demi keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah diperjuangkan para pendahulu. Tantangan semakin besar, medan perjuangan semakin luas. Makna kecintaan pada Negara seperti yang diharapkan dalam Jargon Hubbul Wathan Minal Iman semakin teruji di kalangan Santri Pesantren era kekinian saat ini.
“Santri Pesantren tidak hanya diajarkan mencintai Agamanya, tapi juga diajarkan mencintai Negaranya melalui “Ijazah” Hubbul Wathan Minal Iman. Santri Pesantren selalu Istiqomah Bergerak dan Menggerakkan Rakyat Indonesia untuk tetap setia menjaga kesatuan dan persatuan bangsa” (Penulis). []