Perubahan yang kita alami beberapa bulan terakhir akibat pandemi tidak bisa seluruhnya dinilai negatif. Banyak hal positif yang juga dilahirkan dari wabah ini salah satunya adalah perubahaban pola dalam transmisi keilmuan dan pemberian ijazah (baik ijazah ilmu atau zikir) yang dalam bahasa pesantren disebut sanadan.
Sejak awal proses transmisi ini dilakukan secara personal (informal) seperti seorang murid yang mendatangi seorang guru tanpa pembelajaran formal terlebih dahulu atau dilakukan secara formal seperti pemberian sanad setelah selesai mengkhatamkan suatu kitab.
Mungkin ketika itu (dugaan penulis) pemberian sanad secara tidak langsung/tidak dalam satu majelis menjadi hal tabu dan dianggap kurang sopan. Itu menjadi hal wajar karena hanya pemalas yang tidak mendatangi majelis ilmu yang begitu banyak tersedia untuk umum serta mudah dijangkau. Di majelis itu murid bersikap sopan dalam duduknya, bicaranya dan semua gerak-geriknya.
Dan sekarang pandemi mengubah itu semua, majelis-majelis ilmu menjadi jarang bahkan di daerah yang diblok merah segala jenis perkumpulan ditiadakan. Maka ruang maya menjadi ‘pelarian’ seluruh kalangan masyarakat sebagai ganti dari perkumpulan fisik, termasuk transmisi keilmuan. Lebih dari 100 pengajian yang diadakan di ruang virtual ini, di berbagai media online seperti facebook, Instagram, YouTube dan Zoom.
Menurut ibu Dr. Nur Rofiah founder KGI (Kajian Gender Islam) saat berbicara di halal bihalal ngaji Ihya’ mengatakan bahwa saat ini para guru, dosen, ustaz dan kiai harus siap untuk tidak dicium tangan selepas mengaji dan dalam waktu yang sama para murid, siswa atau mahasiswa memiliki ‘PR’ bagaimana cara mengekspresikan rasa takzim pada gurunya.
Kaitannya dengan hal ini bagaimana menurut ulama perihal transmisi keilmuan ini? mari kita ulas terlebih dahulu hakikat dari sanadan dan betapa pentingnya silsilah keilmuan dibandingkan dengan belajar otodidak?
Sanad atau isnād adalah silsilah keilmuan yang menyambungkan antara murid dengan guru-gurunya. Dalam kekeluargaan sanad laiknya nasab yang menyambungkan seseorang dengan leluhurnya.
Testimoni tentang urgensi sanad diungkapkan oleh banyak kalangan ulama. Dari kalangan ahli hadis, Abdullah bin al-Mubārak;
اَلإِسْنَادُ مِنَ الدِّيْنِ وَلَوْلَا الْإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
“Isnad itu bagian dari agama. Andai tidak ada isnad maka siapapun akan berkata sesuka hatinya”
مَثَلُ الَّذِيْ يَطْلُبُ أَمْرَ دِيْنِهِ بِلَا إِسْنَادٍ كَمَثَلِ الَّذِي يَرْتَقِي السَّطْحَ بِلَا سَلَّمٍ
“Orang yang mencari ilmu agama tanpa sanad bagaikan seorang yang hendak naik ke atap rumah tanpa tangga”
Ulama fikih, Sufyān aṡ-Ṡaurī berkata;
الِإسْنَادُ سِلَاحُ المُؤْمِنِ فَإِذَا لَمْ يَكُنْ مَعَهُ سِلَاحٌ فَبِأَيِّ شَيْءٍ يُقَاتِلُ
“Isnad adalah senjata bagi orang mukmin maka jika ia tak punya isnad, dengan apa ia hendak berperang?”
Silsilah keilmuan menjadi hal urgen karena menentukan kredibilitas empunya ilmu. Muhammad bin Sīrīn berkata “Ilmu adalah agama maka perhatikan dari mana kamu dapatkan agamamu”. Sebab itu, jika anda ingin menimba ilmu agama pada seseorang yang ilmunya masih autentik maka perhatikan dua hal; di mana ia belajar dan kepada siapa ia berguru. Jika jelas nenek-moyang ilmunya, artinya nasab keilmuannya sampai pada pengarang kitab dan tersambung pada Rasulullah maka ilmu yang diperoleh masih autentik (jika bergeser maka tak akan lebih dari 10% J )
Sementara otodidak tidak semua orang memiliki kemampuan memahami suatu pengetahuan tanpa seorang guru atau mungkin bisa memahami namun tidak sesempurna pemahaman orang yang mendapatkannya dari seorang guru (ketika disebut kata guru maka yang saya maksud adalah guru yang benar-benar guru bukan guru abal).
Maka setidaknya ada 3 manfaat dari tradisi sanadan ini; 1) Dengan sanad seseorang bisa mempertanggungjawabkan keilmuannya, 2) Memperkuat ikatan keilmuan antar sesama murid (dengan murid guru lain), dan 3) Menjaga autentisitas ajaran agama.
Kesimpulannya jika dulu pembelajaran secara virtual tidak dimungkinkan, atau mungkin tapi masih dianggap tabu dan kurang sopan maka sekarang ruang virtual telah menjadi opsi pertama dan mungkin bagi sebagian kalangan adalah opsi satu-satunya. Maka tidak bisa dianggap tabu lagi.
Begitupun dengan sanadan/pemberian sanad keilmuan, dahulu para guru enggan memberi ilmu jika tidak didatangi (الْعِلْمُ يُؤْتَى وَلَا يَأْتِى “Ilmu itu didatangi bukan mendatangi”), bukan merasa tinggi dan malas melangkah tapi untuk mengajari murid tentang etika. Dan sekarang sudah saatnya para guru bersiap untuk tidak dicium tangannya (atau disalami dengan tempelan amplop) sebab situasi mengharuskan pembelajaran tetap berlangsung meski dalam ruang maya (daring).
Pada gilirannya pemberian sanad juga tidak mengharuskan bertemu langsung sebagaimana pengajian dan pembelajaran daring. Pemberian sanad bisa ditransmisikan setelah pengajian untuk sanadan formal dan bisa juga lewat vidio call untuk sanadan personal.
Agar tidak mengurangi khidmatnya sanadan maka guru dan murid tetap menggunakan etika dalam relasi keduanya seperti guru-murid dalam keadaan suci (hadas kecil dan besar), murid menyimak pengajian dengan duduk sopan, memakai pakaian sopan dan sebagainya. Utamanya keadaan hati, Imam asy-Syafi’i berkata
لَا يَطْلُبُ هَذَا الْعِلْمَ مَنْ يَطْلُبُهُ بِالتَّمَلُّكِ وَغِنَى النَّفْسِ فَيَفْلَحُ، وَلَكِنْ مَنْ طَلَبَهُ بِذِلَّةِ النَّفْسِ، وَضِيقِ الْعَيْشِ، وَخَدَمَةِ الْعِلْمِ أَفْلَحَ
“Tidak akan berhasil orang yang mencari ilmu dengan kerakusan dan ketamakan. Akan tetapi pencari ilmu yang akan berhasil adalah yang merasa hina, melarat hidupnya dan mengabdi pada ilmu”
Akhir kata, guru harus sopan pada ilmu dan kitabnya dan murid harus sopan pada ilmu dan gurunya, di dunia nyata dan dunia maya. [HW]