Uncategorized

Salahkah Menag Nasaruddin Umar Mencium Kening Paus Fransiskus?

Salahkah Menag Nasaruddin Umar Mencium Kening Paus Fransiskus?
Salahkah Menag Nasaruddin Umar Mencium Kening Paus Fransiskus?

Prof. Nasaruddin Umar resmi dilantik Presiden RI Prabowo Subianto sebagai Menteri Agama dalam Kabinet Merah Putih, Senin (21/10/2024). Dia menggantikan Menag Yaqut Cholil Qoumas.

Merunut ke belakang, Imam Besar Masjid Istiqlal itu sempat mencium kening Paus Fransiskus setelah sebelumnya dirinya diciumi tangannya oleh Sri Paus, di sela menyambut Paus Fransiskus saat mengunjugi Masjid Istiqlal pada Kamis (5/9/2024) lalu.

Momen tersebut menjadi sorotan media dalam dan luar negeri, karena menunjukkan kehangatan antara sesama tokoh agama besar di dunia itu. Saat itu, terjadi perdebatan sengit di kalangan umat Islam, terutama di media sosial. Pasca dilantik menjadi Menag, terkait boleh tidaknya seorang muslim mencium kening Paus, Pemimpin Tertinggi Katolik Sedunia ‘tetap menyala’ dan “sengit, terutama di platform media sosial, khususnya di grup-grup Whatsapp.

Lantas, bagaimana sebenarnya hukum mencium tangan dan kening Paus bagi Muslim?

Dalam Islam, kita diperintah untuk selalu menunjukkan sikap baik dan ramah terhadap orang lain, termasuk terhadap orang yang berbeda agama. Kita dituntut untuk senantiasa menunjukkan kebaikan-kebaikan Islam dan ajarannya kepada semua orang, tak terkecuali pada non-Muslim.
Kita juga diperintah untuk senantiasa menghormati orang terhormat atau tokoh dan panutan masyarakat, meskipun itu terhadap tokoh yang berbeda agama. Bahkan jika hal tersebut membawa kemaslahatan dan hubungan baik, maka kita dianjurkan untuk menghormatinya. Kebiasaan orang Indonesia dalam menghormati tokoh tertentu adalah dengan menyapa terlebih dahulu, berjabat tangan dan kemudian mencium tangannya.

Oleh karena itu, mencium tangan tokoh dari kalangan non-muslim, seperti paus dan lainnya, jika bertujuan agar tercipta kebaikan bersama, maka hal itu tidak masalah. Karena pada hakikatnya, hal itu kita lakukan untuk menenjukkan ajaran kasih, kelembutan, dan kebaikan-kebaikan Islam.

Abu Sa’id Muhammad al-Khadimi dalam kitabnya al-Bariqah al-Mahmudiyah, menyatakan, yang artinya sebagaimana berikut:
“Saya berkata; ‘Dalam masalah ini juga adalah kesunahan menghormati tokoh yang dihormati oleh masyarakat, meskipun non-muslim jika berdampak pada kemaslahatan. Juga harus condong pada sikap lemah lembut dan solidaritas demi terciptanya kemaslahatan. Juga boleh mengucapkan salam pada non-muslim saat dibutuhkan, sebagaimana dinukil mengenai kebolehan naturalisasi jika dibutuhkan. Hal itu dilakukan bukan untuk mengagungkan mereka, tapi untuk kemaslahatan dan menunjukkan kebaikan-kebaikan Islam, kasih sayang dan rasa persaudaraannya.

Baca Juga:  Masih Pandemi, Pemerintah Tidak Memberangkatkan Jemaah Haji 1442

Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab Fiqh Fataawaa al Kubra juz 4 halaman 223, yaitu sebagai berikut:

Artinya: Pertanyaan: Bolehkan seorang muslim mencium tangan harabi (non muslim yang memerangi muslim), bersalaman dengannya, menunduk kepadanya, merendahkan diri di hadapannya dan hal lainnya dengan maksud mendapatkan harta. Apabila kalian tahu bahwa hal demikian tidak boleh lantas kalian melaksanakannya, bagaimanakah konsekuensinya?Jawab: Seorang muslim tidak diperkenankan untuk mengagungkan kafir harabi tersebut dengan berbagai jenis pengagungan, baik jenis pengangungan yang telah disebutkan di atas atau yang lainnya. Barang siapa yang mengerjakan hal demikian karena mendambakan/mengharap harta kafir harabi tersebut, maka baginya dosa dan jahil (tidak tahu).

Mari kita perhatikan ungkapan Imam Ibnu Hajar ini. Yang dianggap dosa oleh Imam Ibnu Hajar adalah jika seorang muslim melakukan pengagungan tersebut kepada harabi, yaitu non muslim yang memerangi muslim. Syarat pengagungan terhadap harabi di atas dilatarbelakangi oleh keinginan si muslim terhadap harta si harabi tersebut.

Adapun jika pengangungan muslim terhadap ghair harabi (non muslim yang tidak memerangi), maka yang demikian tidak menjadi masalah, tidak bisa dianggap dosa. Dengan syarat, maksud pengagungan tersebut untuk merekatkan kerukunan, persatuan, perdamaian dan kasih sayang antar sesama manusia sebagai ciptahan Allah yang maha kuasa.

Hal tersebut dibuktikan dengan penggunaan kalimat al (ال) pada lafaz al-kaafir (الكافر) pada bagian jawaban yang ditulis oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami. Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa penggunaan al (ال) pada sebuah kalimat dalam bahasa Arab menandakan kedudukan kalimat tersebut menjadi ma’rifat, yaitu tentu/khusus/spesifik. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan al-kaafir di atas adalah harabi, bukan yang lainnya.

Pada dasarnya hukum berjabat tangan (mushafahah), mencium tangan (taqbil al-yadd), mencium pipi/cipika-cipiki (taqbil al-wajh), dan berpelukan (al-mu‘anaqah) dengan non-muslim, terjadi perbedaan pendapat di antara ulama (ikhtilaf), tetapi tidak ada yang secara tegas mengharamkannya.

Baca Juga:  Tutup Diklatpimnas, Menag Ajak Mahasiswa PTKI Lakukan Kontra Narasi Isu Keagamaan Intoleran
Pendapat Ulama Madzhab

Mazhab Hanabilah (Hanbali) menghukumi makruh; Mazhab Hanafiyah menghukumi makruh, kecuali terhadap tetangga non-muslim yang baru datang dari bepergian jauh yang bila kita sebagai seorang muslim tidak berjabat tangan dengannya justru ia merasa terganggu/tidak nyaman. Mazhab Syafi’iyah, misalnya pendapat Imam Nawawi: makruh mencium tangan selain orang saleh dan selain ulama yang mulia; mencium tangan orang saleh dan atau ulama yg mulia, orang zahid dan semisalnya, hukumnya mustahabb (sunnah).

Penjelasan: mencium tangan orang saleh, orang alim, orang zuhud, dan semisalnya, sebagai bentuk penghormatan kepada mereka (ihtiram), karena zuhudnya, kesalehannya, kewiraiannya adalah mustahabb (sunnah). Mencium tangan dan memeluk orang yang baru datang dari bepergian dan semisalnya pun sunnah. Tetapi mencium tangan orang karena kekayaannya, hartanya, keduniaannya, kekuasaannya, pangkatnya, adalah sangat makruh. Bahkan Imam al-Mutawalli tidak membolehkannya, dalam arti mengharamkannya.

Ciuman di kening Paus Fransiskus oleh Nasaruddin Umar itu mencerminkan pancaran kasih sayang yang alamiah dari seorang ulama kepada tokoh Katolik. Agaknya tidak berlebihan jika apa yang dilakukan Nasaruddin merupakan peragaan atas nilai-nilai ajaran Islam yang dia pahami dan yakini, yakni mewujudkan rahmat bagi seluruh alam. Alam tidak bermakna sempit hanya untuk orang Islam, bahkan bukan hanya untuk manusia, melainkan untuk seluruh isi semesta ini agar mendapat rahmat dari manusia yang mengimani ajaran Islam.

Sementara itu, apa yang dilakukan oleh Paus Fransiskus, mencium tangan seorang ulama, juga dapat dibaca sebagai ekspresi penghormatan yang tulus terhadap saudaranya sesama makhluk Tuhan, meskipun berbeda iman. Meskipun Paus merupakan pemimpin tertinggi dunia bagi umat Katolik, ia tidak terbelenggu oleh rasa gengsi untuk mencium tangan seorang tokoh Muslim.

Baca Juga:  Prof Misri dari UIN Ar-Raniry dan Adung Staffsus Menag dalam Webinar Nasional Paparkan Metode Pencegahan Radikalisme

Peristiwa itu tentu memberi kesan mendalam, sekaligus pesan bagaimana relasi antarumat beragama di negara kita yang mayoritas Muslim ini memang layak mendapatkan apresiasi tinggi, bahkan bisa menjadi contoh bagi bangsa-bangsa lain yang dalam urusan relasi umat beragamanya masih menghadapi masalah.

Sikap kedua tokoh agama itu secara tidak langsung juga memberi pesan simbolik sarat makna kepada umatnya masing-masing agar juga memiliki jiwa saling menyayangi, kemudian mewujudkan jiwa damai itu dalam perilaku keseharian.

Ajaran Islam menegaskan perbedaan itu sebagai sunnatullah atau hukum alam dan sudah menjadi kehendak-Nya. Ajaran dasar untuk menerima dan menghormati perbedaan keyakinan itu termaktub dalam Al-Qur’an, Surat An Nahl, Ayat 93, yang terjemahannya adalah, “Dan jika Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Dia menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki”.Artinya, jika tidak menerima, termasuk tidak menghormati keberadaan agama di luar Islam dan penganutnya, merupakan pelanggaran atas ketetapan Allah yang memang menghendaki umat manusia di Bumi ini berbeda.

Agama juga menegaskan bahwa perbedaan itu menjadi sarana untuk saling mengenal atau lita’aarafu satu sama lain, sebagaimana termaktub dalam Quran Surat Al Hujurat Ayat 13. Beberapa tafsir memaknai ayat itu untuk mengingatkan umat agar tidak mendominasi yang lainnya, apalagi sampai menjadi ajang untuk berkonflik.

Faried Wijdan
Pengelola Pabrik Aksara

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar