Hati Suhita menawarkan keseimbangan sebagai sebuah drama religi. Ada napas modern dalam sudut pandangnya untuk bisa cukup diterima oleh kaum progresif, namun tak seberapa ekstrim sehingga para konservatif bakal tetap membanjiri bioskop. Agak terkesan main aman, tapi kalau ini jadi bare minimum bagi era baru genre religi tanah air, saya menerimanya dengan senang hati.
Mengadaptasi novel berjudul sama buatan Khilma Anis, alurnya memang masih berjalan di formula standar romantika islami. Suhita (Nadya Arina) dan Gus Birru (Omar Daniel) dinikahkan melalui perjodohan. Orang tua Birru (David Chalik dan Desy Ratnasari) berharap Suhita dapat meneruskan kepemimpinan di pondok pesantren mereka, di saat sang putera lebih tertarik menekuni bisnis kafe.
Masalahnya, pernikahan tersebut memecah hubungan Birru dengan kekasihnya, Rengganis (Anggika Bolsterli), yang masih ia cintai. Di malam pertama, Birru langsung menegaskan bahwa tidak ada rasa cinta darinya untuk sang istri.
Hati Suhita bukan kisah penderitaan seorang istri yang cuma bisa menumpahkan air mata akibat jeratan cinta segitiga. Dia aktif mencoba beragam cara, misal mengenakan gaun tidur baru di sebuah adegan yang kehadirannya dalam film religi (yang cenderung ogah menelisik ruang intim karakter) terasa menarik.
Di sinilah naskah buatan Alim Sudio menunjukkan keseimbangan. Suhita merasa perlu mempertahankan pernikahan yang dianggap sebagai amanah, namun ia tidak “buta”. Terlihat dari bagaimana harapan Suhita menggaet hati sang suami tidak otomatis membuatnya mau memiliki anak. Bahkan saat masalah mencapai titik terberat di akhir babak kedua, Suhita berani mengambil langkah tegas.
Gejolak batin tersebut dibungkus oleh pengarahan Archie Hekagery (Wedding Agreement) yang enggan tampil meledak-ledak. Musik mendayu-dayu yang biasanya mendominasi tiap menit film religi Indonesia pun kali ini dosisnya dijaga betul. Satu yang disayangkan adalah cara Archie menuturkan paralel kehidupan Suhita dengan kisah-kisah sejarah Jawa. Naskahnya turut bertanggung jawab akibat bergantung pada eksposisi yang dipadatkan paksa, tapi pengadeganan sang sutradara juga luput memberi penonton kesempatan mencerna rentetan informasi tersebut. Sangat buru-buru.
Nadya Arina tampil bermartabat dalam menghidupkan karakternya. Lembut tetapi sukar dihancurkan. Seperti air yang sekilas tidak kokoh namun selalu dapat bertahan di kondisi apa pun. Saya takkan menyebut Suhita “karakter progresif” mengingat beberapa elemen penokohannya masih bersinggungan dengan ranah konservatif, tapi penampilan Nadya dapat memunculkan kekaguman terhadap sosoknya.
Di jajaran pemeran lainnya, Anggika Bolsterli masih solid mengolah momen dramatik, sedangkan Devina Aureel sebagai Aruna, sahabat Suhita, senantiasa berhasil memancing tawa. Gaya komedik Devina patut diberi sorotan lebih. Dia tidak asal “membodohkan diri” atau berusaha secara berlebihan untuk terlihat lucu, melainkan betul-betul memperhatikan teknik penghantaran verbal.
Omar Daniel mungkin kalah bersinar dibanding cast wanitanya, tapi ada poin menarik terkait karakter Gus Birru. Walau tidak diteriakkan secara gamblang, nampak bahwa Birru, biarpun putera tunggul pimpinan pesantren, bukanlah orang religius. Setidaknya bukan di tingkatan orang tuanya. Pakaiannya kasual, bangun saat matahari sudah tinggi, pula sempat lalai membaca doa sebelum makan.
Filmnya tidak berusaha mengubah hal-hal di atas. Tidak ada ceramah menggurui supaya Birru makin religius. Satu yang harus Birru lakukan adalah menjadi suami yang lebih baik. Sewaktu di paruh akhir kita menyaksikan Birru menundukkan kepala sembari mencium tangan Suhita (bukannya mendekap bak laki-laki yang ingin memamerkan superioritas sebagai “pelindung”), saya dibuat yakin Hati Suhita mau memanusiakan karakternya lebih daripada kebanyakan film religi kita. []
Sumber : https://movfreak.blogspot.com/2023/05/review-hati-suhita.html?m=1