Tulisan ini merupakan renungan setelah sebulan mendampingi belajar Filsafat Pendidikan Islam di Islamic Education Institute Of Tanggamus.
Secara sederhana filsafat adalah soal mencintai kebijaksanaan dan kebenaran. Dengan bekal akal pikiran, Tuhan mengharapkan kita sebagai pemimpin (khalifah) yang bijaksana di muka bumi ini.
Bicara soal mata kuliah Filsafat, sudah menjadi kurikulum dasar bagi setiap mahasiswa baru. Pasalnya, melalui filsafat paradigma dan kerangka berfikir mahasiswa mulai dikonstruksi. Diharapkan mampu menstimulasi generasi digital yang open minded. Berpola fikir yang radiks, kritis, logis dan sistematis.
Filsafat adalah warisan peradaban Yunani. Negara yang tengah mengalami kebangkrutan tersebut dulunya merupakan gudang keilmuan.
Memiliki SDM sekaliber Thales, Plato, Socrates, Phitagoras, Heraklitos dll yang cukup banyak menginspirasi pemikir muslim sekaliber Al-Farabi, Ibnu Rusyd dan Al-Ghozali meski diusia senja beliau mengkritik keras ilmu falsafah yang dianggapnya rancu.
Filsafat sempat menjadi keilmuan yang hits pada dekade awal kemerdekaan. Bisa dilihat dari karya tulis founding fathers kita Bung Hatta dalam karya monumentalnya berjudul “Alam Pikiran Yunani”. Namun semakin berkembangnya zaman. Tantangan yang kita hadapi jelas berbeda. Apakah masih relevan filsafat dikonsumsi bagi generasi milenial? Mengingat kehadiran filsafat tidak terasa sebagai keilmuan yang aplikatif dalam keseharian. Terlebih dinegara kita filsuf/pemikir/intelektual bukanlah sebuah keistimewaan dalam sudut pandang kalangan awam.
Bagi saya filsafat masih dibutuhkan. Tetapi pola belajar dan objek kajiannya harus disesuaikan dengan konteks kekinian. Sebagaimana adagium fenomenal dikalangan para ulama’ “Al-muhafadzotu ala qodimi sholih, wal ahdu bijadidil ashlah,” kita butuh inovasi, tanpa membuang cara & substansi klasik.
Kita bisa melihat keberhasilan Jerman dan beberapa negara maju di Eropa. Di Jerman misalnya, terdapat program “anak-anak berfilsafat” (Kinder Philosophieren) sudah dimulai sejak dekade 1960-an hingga kini. Metode yang digunakan sebenarnya cukup sederhana, yakni: pertama, perumusan pertanyaan yang dibuat bersama-sama dengan anak; kedua, berdiskusi bersama anak; ketiga, guna menjawab pertanyaan ini, melihat beberapa kemungkinan jawaban yang bersifat terbuka dan, keempat, mencoba menggali pertanyaan lebih jauh. Pada dasarnya pendidikan perlu mengasah daya kritis dan problem solving pada anak sedini mungkin. Dengan penyesuaian materi sesuai jenjangnya.
Semasa menjadi aktivis. Saya masih sangat ingat pesan guru kami, Sakban Rosidi. Bahwa “kesalahan dosen filsafat di berbagai universitas adalah dengan hanya mengajarkan filsafat prespektif historis dengan ragam kehebatan tokoh dan pemikiranya. Tetapi lupa mengajarkan bagaimana kerangka berfikir secara filosofis itu sendiri.” Sebuah tamparan bagi para akademisi.
Terlebih dalam filsafat pendidikan Islam. Perlu adanya pemikiran-pemikiran segar guna memecahkan stagnasi pendidikan Islam. Pra-perang salib, Kita punya peradaban maju dimasa silam. Tepatnya pada era dinasti Abbasiyah, Karen Amstrong menyebutnya ‘the golden era’. Kini, yang kita warisi seyogyanya bukan hanya dongeng kejayaan peradaban semata. Lebih dari itu, nyala api Abbasiyah harus kita jaga agar tidak padam.
Bagaimana caranya? Dengan ikhtiyar menaruh perhatian lebih pada perkembangan keilmuan. Sains, teknologi, sastra, arsitek, medis dan keilmuan lainya. Kurangi keributan kontra produktif di sosmed, perkaya literasi dan sharing informasi baik lokal maupun global. Say Sorry, Menghakimi dan caci maki bukanlah budaya kami.
Wa Allahu A’lam