Puasa merupakan ajaran ritual beribadah yang telah diajarkan kepada umat terdahulu jauh sebelum umat Islam berada. Bentuk puasa dari setiap zaman mempunyai perbedaan praktik pelaksanaan, seperti nabi Adam. Kendati secara literatur cara dan metode puasanya tidak disebutkan dalam Al-Qur’an atau hadis tetapi praktiknya banyak disinggung dalam cerita Israiliyyat .
Abu Ishaq Ahmad ibn Muhammad ibn Ibrahim al-Tha'labi (w.11H) di dalam Arais fi Qasas al-Anbiya menjelaskan puasanya nabi Adam selama tiga hari dalam 1 bulan. Bentuk tersebut saat ini disebut sebagai puasa ayyamul bidh . Lalu ada puasa sebagai rasa syukur dan bentuk pertaubatan. Hal ini menunjukan bahwa puasa merupakan sebuah titah Tuhan dan layak dianggap sebagai rukun Islam.
Selain menahan dahaga yang baik bagi kesehatan, puasa juga merupakan bentuk penempaan secara spiritual bagi manusia beriman. Esensi berpuasa selain sebagai cinta kepada Allah Swt. ( habb min Allah ) juga mempunyai relasi dengan jihad lingkungan ( hab min al-Bi’ah ). Dalam konteks lingkungan inilah puasa dipahami sebagai sarana untuk menahan kerusakan lingkungan, contoh kecilnya adalah upaya minimalisir puntung rokok.
Selama berpuasa 12 jam, seseorang akan menahan diri terhadap hisapan rokok yang selain asapnya tidak ramah lingkungan, limbahnya juga justru lebih membahayakan. Puntung rokok yang terbuat dari selulosa asetat mengandung bahan kimia berbahaya, seperti tar, nikotin, hingga logam berat dapat menyebabkan 1.000 liter air tercemar. Hal ini secara rinci menjelaskan bahwa puntung rokok tidak baik bagi lingkungan. Padahal dalam Al-Qur’an dijelaskan terkait eksistensi air pada QS. al-Mu’minun (23): 19 yaitu:
فَأَنْشَأْنَا لَكُمْ بِهِ جَنَّاتٍ مِنْ نَخِيلٍ وَأَعْنَابٍ لَكُمْ فِيهَا فَوَاكِهُ كَثِيرَةٌ وَمِنْهَا تَأْكُلُونَ
“Lalu dengan air itu, Kami tumbuhkan untuk kamu kebun-kebun kurma dan anggur; di dalam kebun-kebun itu kamu peroleh buah-buahan yang banyak dan sebahagian dari buah-buahan itu kamu makan”. (QS. al-Mu’minun (23): 19)
Ayat di atas menggambarkan pentingnya penggunaan air sebagai sumber kehidupan bagi umat manusia, namun dengan puntung rokok justru mencemari eksistensi air atau bahkan lingkungan. Kemudian pendapat dari M. Sayyed Tantawi pada kitabnya at-Tafsir al-Wasit mengatakan bahwa segala sesuatu yang tumbuh di jagat raya ditetapkan oleh hikmah tertentu agar terciptanya keserasian dan keindahan.
Alih-alih menciptakan lingkungan yang nyaman, ketamakan manusia justtu menjadi penyebab hilangnya keseimbangan yang makin membuat tidak nyaman. Ilmu pengetahuan, teknologi, dan daya konsumtif manusia yang berlebih menjadikan manusia mengeksploitasi sumber daya alam dan mengakibatkan alam kehilangan keseimbanganya.
Era konsumtif dewasa ini telah menjadikan manusia modern menyepelekan hal yang semestinya secara esensi berdampak besar bagi kehidupan keseharian manusia. Oleh sebab itu, berpuasa merupakan aspek penting sebagai pendidikan bagi diri dan spiritual manusia. Selain sebagai perbaikan relasi kita dengan Tuhan, puasa juga sebagai ajang memperbaiki hubungan dengan lingkungan. Jihad ekologi bukan hanya dengan minimalisir hal besar yang dapat merusak lingkungan, melainkan dengan hal yang dianggap remeh seperti membuang puntung rokok di tempat yang semestinya.
Puntung rokok yang dianggap kecil dan tidak berarti bagi seorang perokok justru ketika tidak dibuang pada tempat semestinya akan membahatakan lingkungan. Hal yang remeh, bahkan tidak dipandang sebagai “sampah” dapat diminimalisir jika kita sadar terhadap efek domino yang terkandung di dalam puntung rokok. Mari kita sebagai manusia modernis yang cenderung mengedepankan akal pikiran berjihad ekologis dengan cara membuang puntung rokok pada tempatnya.