Pondok Pesantren adalah model sistem pendidikan pertama dan tertua di Indonesia. Pesantren merupakan budaya Indonesia yang Indigenous (asli). Keberadaannya mengilhami model dan sistem-sistem yang ditemukan saat ini. Ia bahkan tidak lapuk dimakan zaman dengan segala perubahannya. Karenanya banyak pakar, baik lokal maupun internasional melirik pondok pesantren sebagai bahan kajian. Tidak jarang beberapa tesis dan disertasi menulis tentang lembaga pendidikan Islam tertua ini.
Di antara sisi yang menarik para pakar dalam mengkaji lembaga ini adalah karena “modelnya”. Sifat keislaman dan keindonesiaan yang terintegrasi dalam pesantren menjadi daya tariknya. Belum lagi kesederhanaan, sistem dan manhaj yang terkesan apa adanya, hubungan kiai dan santri serta keadaan fisik yang serba sederhana. Pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional di mana para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang (atau lebih) guru yang lebih dikenal dengan sebutan kiai.
Pada awalnya, pondok pesantren dikelola secara alami, ada kiai, lalu santri datang kepadanya, ada masjid, ada pondokan tempat tinggal santri dan ada pengajaran dengan sistem sorogan. Sebagai sumbu utama dari dinamika sosial, budaya dan keagamaan masyarakat Islam tradisional, pesantren telah membentuk suatu subkultur, yang secara sosiologis-antropologis bisa kita katakan sebagai masyarakat pesantren. Artinya apa yang disebut pesantren di situ bukan semata wujud fisik tempat belajar agama, dengan perangkat bangunan, kitab kuning, santri dan kiainya. Tetapi juga masyarakat dalam pengertian luas yang tinggal di sekelilingnya dan membentuk pola kehidupan budaya, sosial dan keagamaan, yang pola-polanya kurang lebih sama dengan yang ber(di)kembang(kan) di atau berorientasi pesantren.
Dalam konteks filsafat pendidikan perenialis; pendidikan adalah upaya membantu peserta didik menyiapkan dan menginternalisasikan nilai-nilai kebenaran yang abadi agar mencapai kebijakan dan kebaikan dalam hidup. Kebenaran yang abadi tersebut dalam pakem pesantren sangat mengait dengan agama Islam dan ajarannya. konsekuensinya internalisasinya harus senafas dengan inti dari Islam itu sendiri yakni akidah, syariah dan akhlak tasawwuf serta norma-norma dan karakter keindonesiaan sebagai identitas globlal dan lingkungan sekitarnya sebagai identitas lokal.
Pendidikan harus sama bagi semua orang, dimana pun dan kapanpun ia berada, begitu pula tujuan pendidikan harus sama, yaitu memperbaiki manusia sebagai manusia. Hal diatas dikemukakan oleh Hutckin sebagai berikut: “ Man may very from society to society,…but the function of man, is the same in very age dan very society, since it results from his nature as a man. The aims of edutional system can exist:it is to improve man as man”.
Sekolah (madarasah) merupakan lembaga latihan elite intelektual yang mengetahui kebenaran dan suatu waktu akan meneruskannya kepada generasi pelajar yang baru. Sekolah adalah lembaga yang berperan mempersiapkan peserta didik atau orang muda untuk terjun ke dalam kehidupan. Sekolah bagi perenialis merupakan peraturan-peraturan yang merupakan tempat peserta didik berkenalan dengan hasil yang paling baik dari warisan sosial budaya.
Sekolah menjadi tempat utama dalam pendidikan yang mempersiapkan anak didik ke arah keemasan melalui akalnya dengan memberikan pengetahuan. Kurikulum pendidikan bersifat subject centered, berpusat pada materi pelajaran dengan mempelajari The Greats Book. Metode pendidikan atau model belajar utama yang digunakan oleh perenialis adalah membaca dan diskusi, yaitu membaca dan mendiskusikan karya-karya yang tertuang dalam the greats book dalam rangka mendisiplinkan pikiran.
Peranan guru bukan sebagi perantara antara dunia dengan jiwa anak, melainkan guru juga sebagai murid yang mengalami proses belajar sementara. Guru mengembangkan potensi-potensi self-discovery. Ia juga melakukan moral authority (otoritas moral) atas murid-muridnya karena ia seorang profesional yang qualified dan superior dibandingkan dengan muridnya.
Guru itu harus mempunyai aktualitas yang lebih dan pengetahuan yang sempurna. The greats Books dalam koridor pesantren ialah kitab-kitab kuning yang telah terklasifikasikan dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti tafsir, fiqih, hadis, balaghah dan lainnya.
Adapun pengembangan potensi-potensi self-discovery dilakukan dengan bahtsu masail untuk membentuk watak akomodatif dan kontekstualisasi the great book dalam dunia nyata sehari-hari. Maka jika ada yang mengatakan kitab kuning sebagai bahan kajian yang kuno dan tidak kontekstual dengan zaman maka kita perlu sedikit meluruskan pendapat tersebut.
Kitab kuning memang kuno karena ditulis oleh ulama ulama salaf jauh sebelum era milenial sekarang ini, tapi jangan lupa kitab kuning juga kekinian jika kita mampu menggunakannya sebagaimana mestinya. Karena pada dasarnya kitab kuning adalah guide normatif yang abadi dan esensial (materinya tidak akan lapuk dimakan zaman) dalam meng-capture keruwetan generasi digital saat ini.
Kita hanya perlu melihat lebih jauh secara kontekstual apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa itu terjadi dengan seksama dan membaca dengan teliti sehingga materi dalam kitab kuning itu sendiri yang akan muncul kepermukaan menjadi solusi problematika dan menjawab segala keresahan masyarakat. Wallahu A’lam.