“Menuntut ilmu itu wajib bagi muslim laki-laki dan perempuan”. Kalimat ini mengisayaratkan ketiadaan perbedaan dalam menuntut ilmu bagi siapapun setiap insan yang berjuang dalam pendidikan. Meskipun demikian, kondisi sosial terkadang menjadi permasalahan yang penting dalam proses terbengkalainya pendidikan seseorang, misalnya perbedaan jenis kelamin.
Diwilayah penganut patriarkal, perempuan menjadi manusia kedua dalam segala bidang, tidak terkecuali pendidikan.
Di Indonesia sendiri jika melihat sejarah, sebelum kemerdekaan NKRI, kondisi perempuan untuk memperoleh pendidikan sangatlah terbatas serta hanya untuk golongan tertentu.
Namun Indonesia memiliki tokoh-tokoh perempuan hebat penggerak pendidikan, diantaranya, Cut Nyak Dien, Malahayati, serta perempuan hebat lainnya. Mesir juga memiliki perempuan hebat yang tidak kalah penting untuk dicatat sebagai bahan refleksi perempuan dalam memperjuangkan kesetaran pendidikan.
Dalam tulisan Qasim Amin, menjawab tentang kritikan orientalis Perancis D’Couhourt atas perilaku bangsa mesir tentang ketidakbebasan perempuan untuk berpartisipasi dalam kemajuan Mesir. Kondisi umat Islam, khususnya di Mesir pada abad ke-19 ia mengatakan bahwa umat Islam mundur karena problem yang dialami kaum wanita.
Hal ini didasari dengan jumlah penduduk Mesir, separuhnya adalah wanita. Namun mereka tidak memperoleh pendidikan, padahal untuk menjadi ibu, seorang perempuan harus memberikan pendidikan bagi anaknya. Bagaimana mungkin, perempuan akan memberikan pendidikan jika dirinya tidak berpendidikan.
Ia menghasilkan karya yang terkenal, yaitu: Tahrir al-Mar’ah (emansiapsi perempuan) terbit tahumn 1899 M, al Mar’at al Jadidah (perempuan modern) terbit 1906 M, dan gagasan tentang kemajuan pengembangan daya perempuan guna mencapai kemajuan .
Di Indonesia, Kartini menjadi salah satu dari sekian perempuan masa lampau yang memperjuangkan pendidikan para perempuan. Dengan kondisi yang sama, Mesir dengan keadaan sosial yang demikian, juga memiliki perempuan hebat dalam memperjuangkan pendidikan di masanya.
Siapa perempuan Mesir pelopor pendidikan tersebut?
1. Nabawiyah Musa
Gadis cerdas dan berbakat ini lahir pada tanggal 17 Desember 1886, tercatat sebagai perempuan mesir pertama yang memperoleh pendidikan tinggi pada tahun 1907. Dalam usianya ke-21 tahun kemduain, ia adalah satui-satunya perempuan Mesir yang mendapat gelar dalam bidang pendidikan. Dalam menghadapi problematika pendidikan masa itu, Nabawiyah menuntut kesetaraan upah pengajar antara laki-laki dan perempuan.
Namun, alasannya upah perempuan lebih kecil dikarenakan tingkat pendidikan perempuan yang rendah. Dengan alasan tersebut, pada tahun 1907, Nabawiyah lulus ujian sarjana muda dan menempati 25 terbaik di kelasnya serta menjadi titik awal pemberlakukan upah yang sama untuk perempuan.
Nabawiyah tercatat sebagai Feminis Mesir yang memperjuangkan hak-hak perempuan. Berkat perjuangannyya, kini perempuan menempati jabatan dalam berbagai bidang dan melewati semua jenjang pendidikan.
Ia aktif menulis soal isu-isu perempuan dan pendidikan utamanya ketika menerbitkan buku tentang pendidikan perempuan maupun kesempatan bekerja. Pubcaknya adalah ketika menulis buku yang berjudul “ buah kehidupan dam pendidikan perempuan” pada tahun 1908 kemudian diadopsi sebagai kurikulum Kementrian Pendidikan Mesir.
Setahun sesudah itu, oleh gubernur di Propinsi Al-Fayoum ia ditetapkan sebagai perempuan kepala sekolah puteri Al-Mohammadia. Dalam watu dua periode menjabat, jumlah muridnya meningkatpesat dua kali lipat. Prestasi-prsatasi besarnya di Al-Fayoum, Al-Mansoura dan Cairo terlah mengantarkannya untuk benar-benar menjadi perintis bagi pendidikan kaum perempuan.
Selain itu dia juga anggota pendiri persatuan gerakan kaum perempuan mesir dan penulis yang menerbitkan sebuah buku yang menjadi bagi gerakan kaum perempuan di tahun 1920 berjudul “ Perempuan dan Kerja”. Ketika Universitas swasta beroperasi, Nabawiyah Musa bersama dua orang perempuan perlopor lainnya yaitu: Malak Hifni Nasif dan Labiba Hashem.
2. Malak Hifni Nasif
Lahir 25 Desember 1886, ia merupakan sosok feminis perempuan yang dilahirkan dari orangtua sadar pendidikan. Ia seorang mahasiswa Al—Afghani. Ibunya adalah Saniyyah Abd al-Karim Jalal, ayahnya Hifni Bey Nasif, seorang pengacara yang merupakan anggota partai Muhammad Abduh. Ayahnya mendorong untuk dirinya tumbuh dan berkembang serta berpendidikan selayaknya laki-laki.
Kemudian, ia menghabiskan waktunya untuk membaca serta mulai menulis di watu luangnya. Pada tahun 1909, ia menerbitkan tulisannya dengan judul Al-Nisaiyat. Melalui buku tersebut, ia mengangkat suaranya sendiri untuk kemajuan perempuan. Dalam pemikirannya tentang pendidikan, sangat penting baginya tentang reformasi pendidikan untuk menjawab masalah perempuan bagi bangsa Mesir.
Baginya, selama ini pola mendidikan wanita Eropa masih jauh lebih baik dibandingkan dengan perempuan Mesir. Hal ini karena wanita Eropa adalah orang yang berpendidikan serta akan menularkan ilmunya kepada anak-anaknya. Malak menyerukan lebih banyak kontrol Mesir atas sistem pendidikan publik untuk menciptakan sekolah yang mengajarkan kurikulum yang lebih komperehensif terhadap anak perempuan, termasuk sejarah budaya Mesir.
3. Labiba Hashem
Labibah Hashem lahir pada tahun 1952 merupakan seorang novelis Lebanon yang pindah ke Kairo serta mendirikan majalah Fatat al-Sharq (gadis timur), salah satu majalah wanita pertama di dunia Arab, di Kairo pada tahun 1906. Pada tahun 1911 ia menjadi wanita arab pertama yang diangkat sebagai dosen Universitas Mesir.
Pada tahun 1919, ketika Raja Faisal menunjuk inspektur jenderal sekolah-sekolah wanita di Damaskus, dia adalah pertama yang ditunjuk pada posisi ini. (IM)