Pengunduran Hari Libur Maulid Nabi Muhammad SAW Pada Masa Pandemi Menurut Perspektif Ushul Fiqh (Sadd  Adz-dzari’ah)

Maulid Nabi Muhammad SAW adalah salah satu hari besar umat Islam. Hari tersebut biasanya dimeriahkan dengan acara-acara yang Islami dan ceramah ceramah. Bagaimana perasaan umat Islam ketika hari libur ini diundur oleh pemerintah? Seakan akan hari tersebut adalah hari yang sepele dan tidak terlalu bermakna. Berikut penulis sajikan masalah ini dengan perspektif Sadd adz-dzariah.

Seperti yang kita ketahui Agama Islam adalah rahmatan lil ‘alamin mengatur seluruh seluk beluk kperilaku ummatnya, hal ini bertujuan agar terciptanya kesejahteraan dalam melaksanakan kehidupan di Dunia dan di akhirat. Jika suatu perbuatan kemungkinan besar dapat menimbulkan kerusakan maka dilaranglah hal hal yang mengacu atau mengarah kepada perbuatan tersebut, metode inilah yang biasa disebut sebagai Sadd Adz-dzariah.

Menurut Muhammad Hisyam Al Burhani, seperti yang dikutip oleh Muhammad Hanif Bin Halilillah, Secara bahasa Sadd Adz-dzariah berasal dari dua kata yaitu As-saddu yang berarti menutup cela atau menutup kerusakan, dan zariah yang berarti perantara. Nasrun haroen mendefinisikan sadd zariah sebagai mencegah jalan atau sarana yang membawa kearah kerusakan dan kemafsadatan. Sedangkan dalam ilmu ushul fiqh, Sadd adz-dzariah adalah sebuah metode penggalian hukum yang bersifat preventif dalam rangka mencegah kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi serta dampak-dampak negatifnya.

Sedangkan Nasrun Haroen mendefinisikan sadd al-żari‟ah sebagai mencegah jalan atau sarana yang akan membawa kearah kerusakan dan kemafsadatan. Namun biasanya diartikan sebagai perbuatan atau perkara yang membawa kepada sesuatu yang dilarang dan mengandung kemudharatan. Perbuatan yang membawa pada kerusakan, marabahaya dan kecelaan yang harus dicegah, seperti dilarangnya mengkonsumsi sesuatu yang memabukkan karena dapat merusakkan akal[1].

Pada dasarnya segala hal boleh dilakukan selain tidak ada dalil nash yang melarangnya. Adanya sadd adz-dzariah ini menjadi sebuah benteng yang mencegah adanya kemungkinan terjadinya sebuah kerusakan. Dalam sadd adz-dzariah hal hal yang sebelumnya tidak di atur dalam nash menjadi di atur di dalam sadd adz-dzariah untuk mencapai kemaslahatan umat.

Baca Juga:  Agama, Filsafat dan Sains Setelah Pandemi (2)

Adapun pandangan Imam mazhab mengenai sadd Zariah apakah dapat dijadikan sebagai hujjah atau tidak,  yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum yaitu Imam Hambali dan Imam Maliki. Para ulama dikalangan Mazhab Hambali juga mengembangkan metode ini dalam beberapa pembahasan fiqh dan ushul fiqh mereka sehingga bisa di terapkan lebih luas. Yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, yaitu mazhab Syafi’i dan mazhab Hanafi.

Mereka menolak penggunaannya dalam kasus tertentu tetapi menggunakannya dalam kasus lain. Salah satu kasus dimana Imam Syafi’i menggunakan sadd zariah adalah ketika beliau melarang seseorang mencegah mengalirnya air ke perkebunan atau sawah, hal ini menurut beliau menjadi sarana kepada tindakan mencegah memperoleh sesuatu yang dihalalkan oleh Allah SWT dan juga dzariah kepada tindakan mengharamkan seseuatu yang dihalalkan oleh Allah SWT, sedangkan air adalah rahmat dari Allah yang boleh diperoleh siapapun. Sedangkan golongan ulama Dzahiriah, terutama Ibnu Hazm menolak sama sekali, artinya ia bukanlah hujjah syar’iyyah. [2]

Salah satu contoh dari sadd dzariah pada masa sekarang  adalah pengunduran hari libur Maulid Nabi Muhammad SAW pada masa pandemi. Sedangkan dalam nash memang tidak ada ayat membahas boleh atau tidaknya memundurkan hari libur Maulid Nabi Muhammad SAW.

Untuk memutus mata rantai penyebaran covid-19 pemerintah seringkali mengeluarkan peraturan yang membatasi aktivitas masyarakat. Salah satunya adalah pengunduran hari libur Maulid Nabi Muhammad SAW, pemerintah mengeluarkan keputusan ini dengan tujuan agar tidak melonjaknya penyebaran covid-19. Hari libur Maulid Nabi Muhammad SAW bertepatan pada hari selasa 19 Oktober 2020 di undur menjadi tanggal 20 Oktober 2021.

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan bahwa keputusan ini dibuat untuk mencegah masyarakat mengambil hari libur yang panjang, karena adanya hari ‘kejepit’ di antara hari libur dan hari libur reguler yaitu hari senin. Ketika peraturan ini tidak dibuat, tidak ada yang menjamin akan meningkatnya penyebaran covid-19, akan tetapi adanya kemungkinan akan meningkatnya penyebaran covid-19. Ketika masyarakat secara serentak mengambil cuti panjang, akan ada kemungkinan terjadinya penumpukan masyarakat di tempat atau acara tertentu yang berpotensi untuk meningkatkan penyebaran penyebaran covid-19. Dengan dikeluarkannya keputusan ini, kemungkinan terjadinya penumpukan masyarakat tersebut mengecil.

Baca Juga:  Covid-19 di Pesantren (5): Berlaku Moderat di Masa Pandemi

Sesuai penjelasan di atas, adanya sadd Adz-dzariah ini mencegah adanya kemungkinan terjadinya kerusakan, hal inilah yang menjadi dasar dari dikeluarkannya keputusan pengunduran hari libur tersebut. Keputusan ini menuai pro dan kontra di berbagai pihak. Seperti yang dilakukan oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, Cholil Nafis memprotes langkah pemerintah yang menggeser hari libur keagamaan. Beliau berpendapat bahwa alasan mengundur hari libur ini tidak lagi relevan karena kondisi covid-19 yang sudah mereda.

Bagi beberapa pihak memang alasan itu terasa janggal, kondisi sekarang mulai membolehkan kita untuk membuat pesta pernikahan, pengadaan pertunjukan musik, dan juga acara seremoni PON XX di Papua. Akan tetapi untuk hari libur keagamaan tetap di undur, bukankah ini terasa aneh? Beliau juga menjelaskan ketika daruratnya sudah tidak ada, kondisinya sudah berubah tentu hukumnya kembali kepada asalnya. Terlepas dari adanya pihak yang kurang setuju, atau mungkin adanya maksud lain dari pemerintah, yang pasti keputusan itu dikeluarkan demi menjaga kemaslahatan masyarakat indonesia. []

 

Sumber :

-Muhammad Hnif Bin Halilillah. 2021. KEHUJJAHAN SADD AL-ŻARI’AH SEBAGAI DALIL HUKUM ISLAM (Studi Perbandingan antara Mazhab Maliki, Syafi’i dan Zhahiri)   

-Yusuf Djamaluddin. 2016. Penerapan Sadd Al Dzariah dalam fatwa MUI NO 4/MUNAS VII/MUI2005 Tentang Perkawinan Beda Agama

-https://travel.tempo.co/read/1518251/hari-libur-maulid-nabi-muhammad-bukan-selasa-tetapi-rabu-20-oktober-2021/full&view=ok

[1] Muhammad Hnif Bin Halilillah. 2021. KEHUJJAHAN SADD AL-ŻARI’AH SEBAGAI DALIL HUKUM ISLAM (Studi Perbandingan antara Mazhab Maliki, Syafi’i dan Zhahiri)

[2] Yusuf Djamaluddin. 2016. Penerapan Sadd Al Dzariah dalam fatwa MUI NO 4/MUNAS VII/MUI2005 Tentang Perkawinan Beda Agama

Hajarul Aswad Panggabean

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini